Mungkin Mama membuangku hari ini. Mungkin itu alasan kenapa ia mengajakku ke pasar yang sangat jauh dari rumah, dan selama di boncengannya aku berhitung sampai delapan ribu empat ratus tiga puluh enam sebelum motor tiba di area parkir; mungkin itu alasan kenapa ia mengajakku ke pasar yang belum pernah kudatangi, dan ia telah meninggalkanku berdiri di depan kios daging selama lebih dari tiga ribu enam ratus enam puluh dua detik. Ya, aku bilang lebih dari: aku gagal berhitung lebih lanjut sebab di sini terlalu berisik: si Penjual Daging terus memotong-motong daging di atas meja keramik berlumur darah dan tok tok tok dan ia tak berhenti bicara cepat pada para pembeli yang datang dan bla bla bla dan orang-orang berlalu lalang di jalan becek depan kios dan clak clak clak dan aku harus menyumpal telinga dengan jempol sebab keributan membuat ubun-ubunku hendak meledak!
Mungkin juga Mama tak membuangku hari ini. Mungkin, seperti kata Papa, aku hanya berpikir-terlalu-jauh karena terlalu sering menonton film, dan suatu hari aku menonton film tentang seorang gadis kecil yang dibuang ibunya, dan adegan di film itu seperti ini: Sang ibu mengajak si Gadis Kecil ke pantai yang sepi, dan menyuruhnya menunggu sejenak di tepi pantai karena ia hendak ke toilet, tapi sang ibu tak kunjung kembali dari toilet hingga matahari hampir terbenam, gadis kecil itu pun menangis karena tersadar dirinya dibuang—dan tadi Mama bilang ia hendak ke toilet. Aku menonton film itu di komputer Papa sambil menyusun potongan-potongan puzzle bergambar Pippi si Kaus Kaki Panjang dan memakan semangkuk es krim vanila dan mulai menyuap es krim dengan potongan puzzle ketika sang gadis kecil menangis.
Tapi mungkin Mama memang membuangku hari ini. Kemarin malam, di ruang makan, saat Papa menyeruput sup dan Mama meletakkan nasi ke piringku, aku berkata bahwa besok aku tak ingin sekolah dan hanya ingin menonton film di komputer dan Papa menamparku. “Kau sudah bodoh, dan kau akan semakin bodoh tanpa sekolah,” kata Papa, suaranya bergetar, bibir bawahnya bergetar, dan tanganku jadi bergetar—aku tak suka disebut bodoh, dan aku mendorong Papa hingga terjungkal dari kursi dan kepalanya menghantam tepi kabinet dapur dan Mama mungkin membuangku hari ini.
Kios daging mulai sepi, terik meruapkan bau amis memualkan dari jalan yang becek. Si Penjual Daging mengelap mata pisau besar dengan gombal, lalu menyulut sebatang rokok, dan tiap ia mengembuskan asap, sebagian asap terperangkap di kumis lebatnya dan tampak seperti kabut yang merayap di antara rerumputan, sebelum akhirnya terbebas ke udara lepas.
Sementara itu, kios sayur di seberang sedang diserbu para pembeli, sebagian besar adalah ibu-ibu dengan daster menempel ke punggung karena keringat dan menampakkan tali bra mereka. Jika aku mendekat, bau keringat mereka pasti tercium seperti mayones basi.
“Di mana orang tuamu?” tanya si Penjual Daging, tahu-tahu sudah berdiri di sampingku, celemek cokelatnya terciprat darah di puluhan titik. “Kutebak kau kelas 6 SD atau 1 SMP …?”
Aku tidak menjawab sebab aku tidak mau diculik. Mama bilang sebaiknya aku tidak berbicara pada pria berwajah seram—apalagi sampai membiarkan diriku disentuh—sebab bisa-bisa aku diculik, dan si Penjual Daging tampak sangat cocok menjadi seorang penculik: matanya lebar dan seram, telapak tangannya lebar dan seram, tubuhnya jangkung dan seram. Karena aku tidak menjawab, ia mendekat selangkah dan mengulangi pertanyaannya. Aku pun menahan napas, jantungku berdentum-dentum—aku harus mengalihkan pikiran agar tak menjerit, mungkin aku harus berhitung—tapi untung datang seorang pelanggan yang membuat Si Penjual Daging kembali ke balik meja keramik, menghadap potongan-potongan daging, dan tok tok tok bla bla bla.
Mama menyuruhku tetap menunggu di sini. Tapi bukankah tak masalah jika aku berpindah sedikit? Misalkan, bagaimana jika aku menunggu di kios sayur di seberang sana? Si Penjual Sayur tampak ramah: ia wanita dan ia berjilbab dan seorang wanita berjilbab jelas tidak seperti penculik, dan aku akan menjawab apa pun yang ia tanyakan.
“Di mana rumahmu?” tanya si Penjual Daging, tahu-tahu sudah di sampingku lagi, suaranya agak tak jelas karena rokok terselip di bibirnya. “Atau kau ingat nomor telepon orang tuamu?”
Aku tidak menjawab dan pura-pura tidak mendengarnya dan pura-pura tidak melihatnya: tatapanku terpaku pada si Penjual Sayur yang berkali-kali terhalang para pembeli, yang tak sekali pun menoleh padaku, yang dengan gerak cepat memasukkan sayur-mayur ke kantung plastik dan menyerahkannya ke pembeli dan menerima uang dan memberikan kembalian dan memasukkan sayur-mayur lagi ke kantung plastik dan berulang terus seperti sebelumnya. Si Penjual Daging menarik sebuah kursi plastik dan duduk, lalu ia menarik kursi plastik kedua dan meletakkanya di sampingku dan menyuruhku duduk. Penculik selalu menawarkan permen, bukannya kursi plastik, jadi aku pun duduk.
“Apa orang tuamu menyuruh kau menunggu di sini, tapi tak kunjung kembali?” tanya si Penjual Daging lagi.
Aku tetap pura-pura tidak mendengarnya dan melihat sekeliling; orang-orang terus berlewatan, lumpur terciprat ke ujung kakiku, ketiak dan selangkanganku lengket oleh keringat, dan Mama tak tampak di mana pun.
Apa Mama benar-benar membuangku? Kemarin malam, setelah aku mendorong Papa hingga kepalanya menghantam tepi kabinet dapur, ia tak terbangun dan darah menetes ke lantai—tapi tak banyak, demi Tuhan—dan ambulans datang menjemputnya. Papa tidak mati: ambulans yang menjemputnya adalah ambulans untuk orang sakit, dan aku pernah melihat ambulans untuk jenazah, dan Mama tak mungkin membuangku karena aku bukan pembunuh. Lagi pula, Mama mengatakan bahwa kami harus ke pasar ini karena di sini menjual bumbu rendang terenak menurut Papa, dan Mama hendak memasakkan Papa rendang sebelum kami menjenguknya di rumah sakit—dan mungkin Mama membuangku karena aku anak nakal dan tak berhak mencicipi rendang buatannya.
Tahu-tahu si Penjual Daging menyentuh pundakku dan berkata, “Hei, kau dengar aku?” dan sentuhan orang asing membuat banyak titik dalam tubuhku meledak dan aku menjerit dan aku berlari memasuki kiosnya dan dari meja keramik di mana tergeletak potongan-potongan daging kuambil sebilah pisau besar dan kutodongkan pada si Penjual Daging saat ia mendekat dan aku menyalak seperti anjing galak.
“Hei, hei, tenang!” si Penjual Daging memekik, mundur perlahan hingga melewati jalur pintu bergulir. Di belakangnya orang-orang berkumpul, beberapa mengeluarkan ponsel dan mulai merekamku, dan aku tidak suka kamera mengarah padaku, dan aku pernah membanting kamera seorang fotografer saat murid-murid difoto di sekolah untuk membuat foto rapor. Tepatnya, aku tak suka orang lain memandangi wajahku, dan dengan difoto atau direkam orang lain bisa memandangi wajahku tanpa aku sadari—dan membayangkan hal itu membuatku seketika mual.
Dan, terdengar tangis seorang bocah. Aku baru sadar bahwa, dua langkah di sampingku, duduklah seorang bocah perempuan di lantai, memeluk boneka beruang yang bagian tengah perutnya robek dan menampakkan serat kapas di dalamnya. Dari luar kios tadi, aku tak melihat sang bocah, ia terhalang kotak-kotak gabus di kolong meja keramik.
“Jangan sentuh dia,” kata si Penjual Daging, suaranya gemetar.
Di seberang kios daging, si Penjual Sayur mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Ia pasti menelepon polisi dan di sebuah film para polisi menyiksa seorang tahanan dan aku melempar pisau ke arah si Penjual Sayur—dan orang-orang lain refleks menghindar: ponsel si Penjual Sayur pun terjatuh dan ia menjerit kesakitan dan tangannya berdarah—tapi tak banyak, demi Tuhan!
“Tahan tangannya!” pekik seseorang dan si Penjual Daging berlari ke arahku dan dengan tangan kanan aku cepat-cepat menyambar pisau lain dari meja keramik dan menempelkannya ke leher si Bocah Perempuan. Si Penjual Daging refleks berhenti; tangis sang bocah semakin nyaring. Agar lebih seram, tangan kiriku menjambak rambut bocah itu, dan si Penjual Daging mundur perlahan ke titik semula, dan orang-orang di belakangnya meneriakiku.
Saat itulah aku melihat, di belakang salah seorang perekam, Mama datang dari arah perginya ia. Matanya sembap seperti habis menangis karena mengurusi kenakalanku, dan ia menoleh ke sekeliling dengan heran, sebelum tatapannya mengikuti arah kamera si Perekam, dan ia terbelalak: pasti aku telah melakukan hal nakal.
Setidaknya, Mama tak membuangku hari ini.
Tapi, sebelum aku memanggilnya, Mama berlari menjauh. Aku menjerit dan melepaskan pisau berikut si Bocah Perempuan dan aku berlari mengejar Mama, tapi si Penjual Daging menjegal kakiku hingga wajahku menghantam lantai kios, dan entah berapa pasang tangan menahan punggung dan tangan dan kaki dan belakang kepalaku, persis yang dilakukan para murid perundung di sekolah lamaku, di halaman belakang, tiap jam pulang sekolah jika Mama atau Papa terlambat menjemputku. Hidungku memanas dan hendak patah terhimpit ke lantai. Aku tidak bisa bernapas. Aku mengerang dan mataku basah dan aku berusaha menoleh ke arah perginya Mama: ia berdiri di kejauhan, terhalang orang-orang, menoleh ke arahku dan menutup mulut dengan telapak tangan, menangis, lantas pergi dan segera tak lagi terlihat.
“Kau apakan anakku, hah?!” jerit si Penjual Daging, menendang samping perutku. “Kau apakan anakku?!”
Apa yang harus kulakukan sekarang adalah tenang. Bu Guru bilang, jika situasi membuatku tak nyaman, aku harus mengatur napas agar tenang, meski mengatur napas dalam situasi terjepit sama sekali tak mudah. Tapi aku harus tenang. Toh, setelah kupikir-pikir, Mama tak mungkin membuangku hari ini. Aku baru membuat orang lain berdarah sebanyak dua kali: Papa dan si Penjual Sayur. Dan Mama selalu bilang, jika aku melakukan kenakalan yang sama sebanyak tiga kali, ia akan marah besar padaku. Jadi, karena ini baru dua kali, Mama tidak mungkin marah besar padaku hari ini, tidak mungkin membuangku hari ini, terlebih minggu lalu aku mendapat nilai tujuh puluh untuk ulangan budi pekerti.
*) Cerpen ini dimuat di Kalam Sastra pada 6 Oktober 2024.