Senin, 25 November 2024

SPA, KONTEN, DAN PERAMPOKAN -- Sebuah Cerpen

 
*Sumber Gambar: Solopos



Luxy Spa & Massage; ruang tunggu itu berwarna dominan krem dan beraroma lavender dan dipenuhi musik instrumental tenang. Di sofa panjang: Lea sedang mengatur posisi ponselnya di kepala monopod sebelum membuat vlog; Abeng sedang mengatur napasnya sebelum merampok.

Masker wajah Abeng basah oleh keringat dingin; kamera CCTV menatapnya tajam. Jendela menampakkan matahari kemerahan di langit barat, gumpalan awan yang lewat menyembunyikannya. Abeng pura-pura terbatuk agar tampak beralasan untuk terus bermasker. Pisau lipat di saku jinnya perlahan memanas.

“Hai, Leanicious!” Lea melambai ke kamera depan ponsel dan menjelaskan di mana ia berada dan lain-lain. Ada satu hal yang tak ia ucapkan: ia akan membuat konten prank.

Di samping meja si Resepsionis—yang sibuk menjawab telepon—terdapat koridor dengan tangga di ujungnya, dan dari sana turunlah dua orang terapis berpakaian krem dan bermasker wajah biru. Si Terapis Wanita, Glenda, mengajak Abeng mengikutinya; si Terapis Pria, Miko, mengajak Lea mengikutinya. Mereka berempat melangkah ke koridor dan menaiki tangga dan Lea terus merekam dengan ponsel di kepala monopod yang terjulur; Abeng terus menunduk sebab ia di belakang wanita itu dan tertangkap kamera depan ponselnya.

Musik instrumental tenang mencapai koridor lantai dua, di mana pintu-pintu ruang privat berjajar. Miko membuka pintu ruang nomor satu untuk Lea, paling dekat dengan tangga serta kamera CCTV; Glenda membuka pintu ruang nomor dua untuk Abeng, ruang bercahaya kuning remang selebar rentangan tangan dua orang dewasa, ruang yang ketenangannya tak menunjukkan tanda-tanda perampokan. Yang terpenting: tak ada kamera CCTV di dalam sana.

“Perampok tolol adalah perampok yang beraksi di bank,” kata pria kekar di sebuah film Hollywood, yang Abeng tonton lewat situs film bajakan di ponsel sambil sarapan di warteg bulan lalu. “Bank hanya akan membawamu ke penjara atau, paling untung, ke kuburan. Rampoklah tempat-tempat yang tak akan dirampok.”

Seketika Luxy Spa & Massage terlintas di kepala Abeng, tempat yang berkali-kali ia lewati saat menuju rumah sakit untuk menjenguk putrinya. Demikianlah ia berada di ruang privat nomor dua, melepas kemeja dan jin—segugup kali pertama menyewa pelacur—dan memindahkan pisau lipat ke balik boxer ketat, tepat di samping kemaluan yang mengerut karena dingin gagang pisau.

Glenda mengetuk pintu dari luar. “Sudah …?”

Abeng memasukkan pakaian ke laci di kolong ranjang, sebelum telungkup di kasur dan menyelimuti diri dengan selimut batik tipis dan mempersilakan Glenda masuk.

Miko memasuki ruang nomor satu dengan debar jantung bertalu-talu. Pertama, Lea adalah pelanggan ketiga sekaligus pelanggan perempuan pertamanya. Kedua, di balik selimut batik itu, Lea pasti hampir telanjang bulat. Ketiga, di sudut ruangan, berdiri monopod dengan ponsel di kepalanya, dengan kamera mengarah ke ranjang, dan akan menyaksikan kikuknya Miko. Apa ini yang Glenda rasakan waktu pertama kali, bertahun-tahun lalu, melayani lawan jenis? Untuk apa seorang perempuan meminta terapis pria? Apa akan terjadi adegan dari sebuah film porno, yang dimulai dari memijat daerah-daerah normal, berujung ke daerah-daerah sensitif?

“Maaf, bisa saya mulai?” tanya Miko, dan Lea mengiyakan.

Miko memijat punggung Lea dari luar selimut; Glenda memijat punggung Abeng dari luar selimut. Lea akan menunggu Miko memijat kakinya untuk memulai prank; Abeng akan menunggu Glenda memijat kakinya untuk memulai perampokan. Jantung Lea dan Abeng berdentum-dentum.

Akhirnya, Glenda memijat kaki kiri Abeng. Sejauh ini Glenda memijat sambil memikirkan putranya yang berusia tujuh tahun: dari kemarin, ia meraung-raung ingin meminjam ponsel Glenda untuk menonton YouTube, tapi Glenda menolak—ia tak ingin putranya bodoh. Tiba-tiba Abeng melepaskan kakinya dari pijatan, berdiri dan mengeluarkan pisau lipat dari boxer, lalu menghunus mata pisau.

“Jangan berteriak,” desisnya.

Glenda terbelalak. Ujung mata pisau yang dingin menyentuh kulit lehernya.

“Keluarkan ponsel, dompet, apa pun. Arlojimu juga.”

Dengan tangan gemetar, dengan gerak cepat, Glenda meletakkan ponsel dan dompet dan arloji di ranjang. Selama Glenda bergerak, Abeng memastikan ujung mata pisau tak lepas dari kulit leher sang terapis.

“Sesi kita berakhir pukul setengah delapan, benar?” kata Abeng. “Tetaplah di sini sampai setengah delapan. Jangan berbuat apa pun. Jangan bicara apa pun. Setelah sesi berakhir, aku akan keluar duluan. Kau baru boleh keluar lima belas menit kemudian. Paham?”

Glenda mengangguk. Abeng tak rugi berlatih dengan bicara di depan cermin kamar mandi berhari-hari.

Abeng pun menyuruh Glenda berjongkok di sudut dan menghadap dinding, sementara dirinya segera berpakaian lengkap dan mengantungi barang-barang sang korban dan duduk di kasur seraya terus memandangi wanita itu dengan pisau siaga di tangan. Tiba-tiba, terdengar jeritan dari ruang sebelah.

Lea menjerit-jerit seraya memegangi kaki kirinya. Barusan Miko menekuk kaki itu sesuai prosedur tapi entah apa yang salah: Lea seketika menjerit. Wajah panik Miko tertangkap kamera ponsel.

“Kau apakan kakiku, Tolol?!” pekik Lea.

Kata maaf tertahan di kerongkongan Miko. Entah apa yang menahan kata maaf di sana. Kakinya gemetar hebat, seakan bermasalah sehabis dipijat.

“Panggil atasanmu!” pekik Lea. “Kakiku patah!”

Tidak. Miko akan dipecat jika manajernya tahu. Ah—Glenda! Senior yang baik pasti akan menolong!

Glenda masih berjongkok mengadap dinding di sudut ruang nomor dua, keringat dingin membasahi kerah dan ketiak dan selangkangannya. Ia mengatur napas, ledakan tangisan akan membuatnya terbunuh. Apa yang perampok itu lakukan di belakangnya? Ketidurankah? Menodongkan pisau terus padanya? Diam-diam masturbasi sambil menunggu sesi berakhir? Glenda tak sekali pun menoleh—termasuk saat mendengar jeritan dari ruang sebelah.

Mendadak pintu digedor-gedor dari luar. “Glenda, tolong!”

“Siapa itu?” desis Abeng.

“Terapis junior. Dari ruang sebelah.”

“Glenda, buka pintunya! Aku mematahkan kaki pelanggan!”

Abeng cepat-cepat telungkup, menyelimuti diri, mengeratkan cengkeraman di gagang pisau. “Buka pintunya. Jawab yang cerdas.”

Glenda menelan ludah, melangkah dengan kaki dan tangan gemetar menuju pintu, memutar gagangnya yang dingin. Tampak wajah Miko pucat seperti mayat. Apakah wajah Glenda sepucat mayat sekarang? Seperti apakah jawaban cerdas yang akan mencegahnya menjadi mayat?

“A-Aku mematahkan kaki pelanggan. Entah, mungkin tak patah, mungkin sendinya hanya tergeser—bisa ikut ke ruang sebelah?”

“Aku tidak mungkin meninggalkan pelanggan.”

Jawaban cerdas, pikir Abeng.

“Maaf, Pak, Anda bersedia ditinggal sebentar?” kata Miko ke Abeng. “Demi Tuhan, ini darurat—saya akan memberi Anda cashback lima puluh persen!”

“Apa aku tampak butuh cashback?!” balas Abeng.

Lea menjerit dari ruang sebelah. Kulit pucat Miko bertambah pucat. Tak lama lagi ia akan pingsan.

“Saya mohon, Pak—lima menit saja!”

“Ayolah, Miko, belajarlah bertanggung jawab.” Glenda kembali memijati kaki Abeng. “Panggil ambulans. Atau apalah. Kalau kau dipecat, itu urusanmu.”

Tiba-tiba Glenda memuntir pergelangan kaki kiri Abeng—krak!—pria itu memekik singkat.

“Maaf, ini memang agak sakit.”

Glenda memuntir pergelangan kaki kanan Abeng—krak!—pria itu berhasil menahan pekikan.

“Glenda … kau benar-benar tak bisa menolong …?”

“Baiklah, Miko! Ayo ke sebelah!”

Glenda langsung keluar dari ruangan dan menutup pintu. Bajingan nekat! Abeng hendak mengejar, tapi, begitu berdiri, sekujur kakinya terasa tersetrum—terutama di pergelangan—dan ia terjatuh terduduk ke ranjang. Glenda telah melakukan sesuatu pada pergelangan kakinya!

“Dia merampokku,” bisik Glenda.

Miko mematung. Terlalu banyak peristiwa gawat yang harus kepalanya cerna. Air mata lolos dari mata Glenda. Wajahnya sepucat mayat.

Lea menguap. Ke mana terapisnya pergi? Sayang sekali jika pria itu kabur; Lea sudah menyiapkan satu juta Rupiah di tas, yang akan ia serahkan pada terapisnya di akhir nanti. Lea menjerit lagi, tapi tak terdengar apa pun dari luar. Ia melepas ponsel dari monopod—panas sekali ponselnya!—dan berpikir untuk mengecek ke luar.

Abeng melepas masker wajah, menyeka keringat di sekeliling bibir dengan kerah, dan kembali memakai masker. Ia menarik napas panjang, dan pelan-pelan menjejakkan kaki ke lantai, dan pelan-pelan berdiri. Sengatan dari pergelangan kaki seketika menyambar sekujur tubuh. Tapi ia tak jatuh. Ia mengembuskan dan menarik napas panjang. Terapis itu telah menipunya. Ia harus kabur sekarang dan menikam siapa pun yang mencegahnya kabur.

Tidak. Mungkin lebih aman jika ia pura-pura tak bersalah? Mungkin lebih aman jika ia menyembunyikan pisaunya dan keluar sebagai orang tak bersalah.

Tidak. Mungkin lebih aman jika ia mengambil jalan tak aman.

Lea keluar dari ruangan, ponsel di tangan, merekam gambar. Tak ada siapa pun di koridor. Musik instrumental tenang berakhir dan berputar dari awal. Ia baru akan turun ke ruang tunggu ketika Abeng membuka pintu ruang sebelah, keringat membasahi sekujur wajah pucatnya. Napasnya berat.

“Kau lihat terapisku?” tanya Lea, tanpa sadar kamera ponselnya mengarah ke Abeng. “Tadi kudengar ia mengetuk pintu ruanganmu.”

“Matikan kameramu,” desis Abeng.

“Maaf …?”

“Matikan kameramu, Anjing.” Abeng menunjukkan tangan kanannya yang dari tadi bersembunyi di balik punggung. Cahaya lampu terpantul di mata pisau. Masa bodoh pada kamera CCTV yang menatapnya tajam.

Lea menjerit.

Abeng berlari ke arahnya; Lea berlari ke tangga. Abeng langsung terjatuh karena pergelangan kakinya sakit; Lea langsung terjatuh karena tersandung kaki sendiri dan kepalanya menghantam anak-anak tangga. Abeng menjerit kesakitan; Lea tak menjerit sama sekali.

Terdengar sirine mobil polisi dari suatu jarak. Abeng menjerit dan menggebrak lantai bertubi-tubi. Lea masih diam. Genangan darah melebar dari kepala, menyentuh ponsel yang telungkup di lantai, merekam langit-langit, tak merekam apa pun yang berarti. Kamera-kamera CCTV merekam semua; esoknya semua viral.




*) Cerpen ini dimuat di Solopos pada 9 November 2024.

ODE UNTUK KATA-KATA KASAR; dan Puisi-Puisi Lainnya

 


*Sumber Gambar:
Angel of Death (Horace Vernet), dari WikiArt.org.




Ode untuk Kata-Kata Kasar

 

terima kasih kepada kata-kata kasar

yang tak mungkin kusebutkan satu pun di sini

yang tangan halusnya menyelamatkan

kepala atasan dari bogemku

kepala bawahan dari sol sepatuku

kepala teman dan keluarga dari pelorku

dan tangan lembut kata-kata itu

penuh kesabaran menggandengku

menjauh dari gerbang penjara

pun gerbang neraka

 

terima kasih kepada kata-kata kasar

yang tak mungkin kusebutkan satu pun di sini

yang ledakannya setia mengisi hati kosong

dan memelankan detak jantungku

mencegahku menyayat leher sendiri

lalu penuh sopan santun mengingatkanku

untuk terus menerima mereka

yang tak mungkin kuterima

 

terima kasih kepada kata

yang berawalan b dan berakhiran t

yang berawalan k dan berakhiran l

yang berawalan t dan berakhiran i

karena dengan kalian

yang cukup kuucapkan dalam hati

aku masih bertahan hidup

dan orang-orang lain masih kuizinkan hidup

 

(Jakarta, Desember 2023)




Musim yang Buruk untuk Berdoa

 

musim hujan bukan musim baik

untuk berdoa: kalimat-kalimat terbang

hanya untuk terempas ke bumi

dibawa hujan

 

mama yang bilang begitu

 

di musim hujan kalimat-kalimat terserak

di jalan, terseret ke selokan

hanyut di sungai bersama sampah dan tahi

dan sebaiknya kita hanya berdoa

di musim panas

 

tapi aku tetap berdoa di musim hujan

karena aku terbiasa berdoa

 

dan aku tak rugi:

suatu hari di musim panas

aku berlayar dan kapalku karam

dan mayatku terombang-ambing

 

tapi tak lama

 

doa-doaku di musim hujan

menunggu di laut

sebelum menguap

dan membawaku ke langit

 

(Jakarta, Desember 2023)




Maut Menunggu Waktu yang Tak Tepat

 

ketika ia nongol dari vagina ibunya

maut telah memantau dari balik pundak

perawat yang menariknya keluar

 

ketika ia menyesap puting ibu untuk pertama kali

maut berlutut di samping ranjang

mendekatkan wajah hingga napasnya

menyentuh pipi merah sang bayi

 

jangan sentuh aku dulu, ini terlalu cepat.

 

— tentu tidak sekarang, manis. aku menunggu ibumu

lebih bahagia lagi. begitulah cara mainnya.

 

ketika ia pulang, ayah telah menyiapkan satu kamar

untuknya: dinding biru dengan gambar awan-awan

dan kawanan pelikan; ranjang bayi dengan ikan-ikan

mainan menggantung di atasnya; salib di dinding

dan maut tersenyum di bawahnya

 

jangan sentuh aku dulu, jangan di sini.

 

tentu tidak sekarang, manis. tapi mungkin nanti di sini.

atau entahlah, aku masih berpikir. mari kita tunggu ayahmu

mengeluarkan belasan, puluhan, ratusan juta lagi untukmu.

begitulah cara mainnya.

 

ketika tengah malam, ia menangis dan ibu memasuki

kamarnya, lalu menggendong dan meletakkannya

di tengah ranjang yang lebih luas, di antara pelukan

ayah dan ibu dan tatapan maut yang nakal

 

jangan sentuh nanti, sekarang saja.

 

tentu tidak sekarang, manis. aku menunggu waktu

yang paling tak tepat. begitulah cara mainnya.

 

(Jakarta, Desember 2023)




Via Suara

 

evolusi kami tak pernah mampir di pikiran para ilmuwan

evolusi kami, mentok-mentok, hanya mampir di pikiran penulis

fiksi sains yang entah dipuji atau ditertawakan

 

pendahulu kami tak pernah berhenti berjalan

lewat bersinmu, lewat ciprat ludahmu

lewat lukamu, lewat segala sentuhanmu

 

pendahulu kami hanya sembunyi sejenak

dari badai pahit pil

dari jarum-jarum suntikan

sampai pelan-pelan—yang seolah tiba-tiba—lahirlah

jenis kami secara tak terduga

 

jenis kami melayang bersama halo

yang kau lontarkan ke tetanggamu

jenis kami melayang bersama aku cinta kau

yang pacarmu bisikkan atau teriakkan padamu

 

jenis kami menyebar bersama pengumuman, pengumuman

yang pak rt serukan lewat pengeras suara

jenis kami menyebar bersama selamat pagi, pemirsa

yang pembawa acara katakan di tv

 

dan tak cukup sampai di situ

 

kami menyusupi kupingmu bersama sambutan

yang vlogger itu ucapkan di awal video

bersama lirik lagu paling hit

yang musisi favoritmu lantunkan

bersama desas-desus samar

yang tak sengaja kau dengar entah dari siapa

 

ketika kau mulai tumbang

semua terlambat:

 

kami hadir bersama kata pertama

dari resepsionis rumah sakit

kami hadir bersama diagnosa-diagnosa

yang dokter ucapkan

 

dan ketika jalan satu-satunya hanyalah berdoa

kami menghantammu lewat allahu akbar

dari masjid terdekat

 

(Jakarta, Desember 2023)




Tabrakan Brutal

 

di perempatan itu, lampu lalu lintas korslet

dan kata-kata bertabrakansecarabrutraldar!dar!dar!

semuaterlukaparahsulitterbaca

 

beberapakatamengalami   patah tu

                                                     l

                                                     a

                                                     n

                                                     g

bebera  pa kata ters  e   r   a   k angg  ot a

            t

                        u

                b

     u

                                    h

                        n

y

a

hngga bbrp kta taklg mnja di kta

 

dan ambulans tiba

kata demi kata pun dibawa ke rumah sakit

 

tak sedikit dari mereka yang ingin bunuh diri

karena kata yang tak terbaca tak lagi ada artinya

tapi tak sedikit juga yang menerima kenyataan

karena, toh, meski kecacatan bersifat permanen

mereka msih mmpnyai a

                                      r

                                      t

                                      i

mrka mash bs dpahmi

 

(Jakarta, Desember 2023)

 

 

 

 Apa yang Bisa Puisi Lakukan?

 

puisi cuma pria tua dengan sebelah kaki ditelan ranjau

dan kantuk mengayun pelan kursi goyangnya

lalu ketakutan membakar ruang dalam mimpinya

 

puisi cuma wanita tua dengan doa setiap malam

agar almarhum anaknya pulang dengan selamat

dari medan penuh peluru melesat

 

demikianlah kenapa puisi tak mampu menolong kau

mendapatkan pujaan hatimu

apalagi meruntuhkan rezim itu

memberimu makan tiga kali sehari

apalagi membuatmu dikenang abadi

 

puisi cuma orang tua

yang tak bisa lagi kau harapkan

—atau sekilas terkesan begitu

 

tapi percayalah

orang tua dalam belenggu trauma

dalam satu atau dua kesempatan

mengalirkan cairan emas dari sudut matanya

 

(Jakarta, Desember 2023)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Bacapetra.co pada 20 Agustus 2024.

PEREMPUAN DI VIDEO YANG SEMPAT VIRAL -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar:




Dara hanya perlu bersikap tenang di meja makan ini, di hadapan keluarga Adam, sambil menyantap steik, dan menjawab pertanyaan kedua calon mertua soal seluk-beluk seorang pustakawan. Tapi, tatapan Birawan dari sisi seberang meja terus mengulitinya. Tatapan itu terlalu familiar, serupa tatapan dari banyak pria yang mengulitinya sejak lima tahun lalu—terutama lima tahun lalu—di mana pun perempuan itu berada. Ia berusaha tak peduli.

“Apa kita pernah bertemu?” tanya Birawan akhirnya.

Sisi kiri lidah Dara tergigit. Keringat dingin menuruni lehernya. Anyir darah segera bercampur dengan potongan steik di mulut. Di samping perempuan itu, Adam menatapnya bertanya-tanya; di hadapannya, kedua calon mertua menatapnya bertanya-tanya—dan di samping Calon Ayah Mertua, Birawan menatap Dara curiga, seraya membetulkan letak kaca mata yang berlensa tebal.

Tubuh tambun Birawan mengeluarkan bau kaus kaki berkeringat. Pipi kirinya bopeng dan berminyak, pipi kanannya tertutup sempurna oleh keloid luka bakar. Dara mual memikirkan bagaimana pria itu—pasti pernah—membayangkan menyentuhnya.

“Mungkin Kakak melihatnya di perpustakaan?” kata Adam.

“Aku tidak pernah ke perpustakaan pacarmu,” balas Birawan.

Hening sejenak, sampai Calon Ibu Mertua mengingatkan mereka untuk lanjut menyantap steik. Birawan mengatakan ia harus menjawab panggilan dari atasan—meski ponselnya tak berdering—dan tatapan Dara, diam-diam, mengikuti calon kakak iparnya ke balik bar dapur. Birawan mengeluarkan ponsel dari saku, menahan tombol untuk menurunkan volume suara, sebelum memerhatikan layar ponsel dengan dahi mengernyit. Sesaat kemudian, ia menatap lekat wajah Dara. Tatapan itu terlalu familiar, serupa tatapan dari banyak pria yang mengulitinya sejak lima tahun lalu—terutama lima tahun lalu—di mana pun perempuan itu berada.

 

***

 

Kau perempuan di video itu.

Ponsel terlepas dari tangan Dara, jatuh ke lantai. Pesan WhatsApp itu dikirim oleh nomor tak dikenal. Suatu gumpalan menyekat jalur napasnya mendadak. Tubuhnya gemetar, jatuh ke kasur, air matanya meleleh—jeritan tertahan di pangkal lidah.

Ponselnya berdering. Semenit. Dua menit. Dara tak sanggup bergerak. Ponsel berhenti berdering.

Dan terdengar pesan WhatsApp masuk.

Ketika Dara berhasil mengendalikan diri, ia mengambil ponselnya dari lantai. Nomor tak dikenal itu mengirim sebuah foto. Tangkapan layar dari sebuah video. Seorang perempuan, telanjang, terbaring di ranjang, dengan kain hitam membelit matanya, tali kabel membelit kedua tangannya di sandaran tempat tidur bermodel jeruji.

Dara menjerit dan membanting ponsel.

 

***

 

Dara tahu-tahu berada di sebuah kafe, tempat pertemuan pertamanya dengan Adam enam bulan lalu. Adam tak tampak di mana pun. Para Dara-yang-lain duduk di setiap meja, di sekelilingnya, dalam rangkulan pria-pria berbeda.

Mereka semua kompak berciuman.

Tiba-tiba Adam sudah duduk di depannya, menangis, menampar-nampar diri sendiri. Hentikan, pekik Dara. Adam terus menampar diri sendiri. Perempuan itu hendak menghentikannya, tapi tangannya terikat tali kabel ke lengan kursi.

 

***

 

Pergelangan Dara kembali berdenyut-denyut. Dengus napas lelaki itu kembali terdengar: awalnya hanya di dalam kepala, lama-lama seperti berasal dari antara rak-rak buku. Tak ada seorang pengunjung pun pagi ini. Dara berlari ke toilet dan muntah di wastafel. Wastafel mungkin akan mampet lagi, tapi masa bodoh.

Begitu ia keluar dari toilet, seorang pria telah berdiri di hadapan meja pustakawan yang kosong. Pengunjung pertama. Jantung Dara tercelos. Suatu gumpalan kembali menyekat jalur napas. Pria itu menoleh ke arahnya.

“Bisa bicara sebentar?” Suara Birawan bergetar.

Dara memaksakan senyum dan setenang mungkin kembali ke meja pustakawan. “Buku apa yang kau cari?”

“Perpustakaan selalu sepi, eh?” Birawan menoleh ke sekeliling, menyeka lensa kaca mata dengan ujung kemeja. Bau tubuhnya menyentak tenggorokan.

Satu hal yang paling Dara suka dari perpustakaan provinsi adalah jarangnya ada pengunjung. Jarangnya ada yang menemuinya. Jarangnya ada yang, kemungkinan, pernah melihat wajahnya—berbeda dengan di kafe dulu. Semakin sedikit orang yang suka membaca, semakin bagus.

“Maaf jika kedatanganku mengejutkanmu,” lanjut Birawan. Dari gemetar suaranya, ia tak siap untuk membicarakan topiknya. “Omong-omong, kenapa kau tidak membalas pesanku? Atau menjawab panggilanku?”

Mata Dara menghangat. Ia tak boleh menangis. Tangisan hanya membenarkan tebakan calon kakak iparnya. Dara hanya perlu bersikap tenang di meja pustakawan ini, di hadapan Birawan.

“Ponselku jatuh di tangga.” Dara mengeluarkan ponsel dari saku. Layarnya retak. “Lihat, aku tidak bisa menyalakannya. Akan kubawa ke tukang servis.”

Birawan menelan ludah. “Aku belum bilang apa pun ke adik atau orang tuaku. Tapi … boleh kita bicara sebentar?”

Dara mengangguk.

Dara telanjur mengangguk.

Kenapa ia harus telanjur mengangguk?

Birawan melangkah ke rak-rak buku. Dara mengikutinya, seperti melangkah di dasar sungai, melawan arus. Denyut di pergelangannya semakin menusuk. Rak buku setinggi dua ratus sentimeter di kedua sisinya semakin mengimpit dan mengimpit, bayangannya mengubur mereka berdua. Pria itu pun berhenti dalam apitan dua rak paling ujung, rak kategori teknologi dan budaya, dan terbatuk singkat.

“Aku tahu ini salah.” Birawan memijat-mijat jembatan hidung. “Tapi, aku hanya ingin merasa dicintai—sekali saja. Setelah itu, lupakan.

Pola kalimat itu familiar.

Tatapan Birawan tertuju ke barisan buku terbawah di rak budaya. “Aku tak setampan Adam. Adam sudah enam kali berpacaran—termasuk denganmu—sedangkan aku tak pernah. Tidak ada yang suka dengan pipi kananku, bukan begitu? Satu kesalahan di masa lalu, dan tak ada yang menyukai pipi kananku selamanya.” Ia menyedot ingus. “Selain itu, Ayah memilih Adam untuk memimpin perusahaan—dan bukan aku. Aku tak pernah dapat kesempatan untuk apa pun.”

Salah satu kamera pengawas berada di sudut langit-langit terdekat, menatap mereka. Dara tak bisa menampar Birawan. Dengus napas itu pun terdengar lagi. Semakin keras dan semakin keras. Setiap buku di sekelilingnya bernapas, hidup, memerhatikannya.

“Besok malam Adam dan kedua orang tuaku pergi,” lanjut Birawan. “Dan, aku bisa menyuruh pembantu kami pergi beberapa jenak.

Air mata Dara menetes. Ia langsung berbalik meninggalkan Birawan dengan langkah-langkah cepat, seolah lorong rak buku terus menyempit, hendak meremukkannya. Ia hampir terjatuh karena hak tinggi—tapi ia terus melangkah cepat. Ketika Dara lolos dari himpitan rak buku, tampak sepasang mahasiswa-mahasiswi berdiri bergandengan di depan mejanya.

“Hai, bisa bantu kami?” tanya si Mahasiswi. Ada cupang di lehernya.

 

***

 

Jalan termudah adalah meninggalkan Adam dan mencari pacar baru yang tak satu pun anggota keluarganya pernah melihat video itu. Tapi, tak ada jalan mudah dengan janin di rahim, dengan janji sang pacar untuk bertanggung jawab dalam waktu dekat—minimal hingga kedua orang tuanya benar-benar mengenal Dara.

Dara menekan tombol bel di samping gerbang. Sekitar lima menit kemudian, pintu beranda terbuka. Wajah Birawan pucat terkena cahaya lampu beranda. Tak tampak seorang tetangga pun di luar rumah.

“Kau belum memberi tahu mereka, bukan …?” tanya Dara.

 

***

 

Birawan menggandengnya ke kamar. Di samping ranjang, rak buku menutup satu sisi dinding, hampir menyentuh langit-langit. Dara familiar dengan beberapa punggung buku, semisal Kuasai Jalan Hidupmu. Birawan melepas gandengan dan menyalakan pendingin ruangan dan duduk di tepi kasur, keloid di pipi kanannya memantulkan cahaya, bau tubuhnya memenuhi ruangan. Di meja belajar: selembar masker penutup mata dan sebungkus tali kabel.

“Kau tidak perlu memakainya, jika keberatan.” Suara Birawan gemetar seperti kemarin.

Dara menatap wajah pucatnya di cermin. Sudah bertahun-tahun ia menolak cermin, sudah bertahun-tahun ia ingin menyayat wajah sendiri. Lekuk tubuhnya masih hampir sama seperti lima tahun lalu. Seperti di video. Seperti bentuk yang menguasai kepala banyak pria.

Ia tak ingin kabur lagi.

“Aku bersedia.”

Birawan menelan ludah. Dara mengambil masker penutup mata dan dua helai tali kabel. Ia tersenyum seraya menggigit bibir bawah—senyum yang pernah ia latih tanpa lelah. Birawan sekali lagi menelan ludah, dan Dara melepas kaca mata berlensa tebalnya—lantas memakaikan masker ke mata sang pria.

“Kenapa mataku …?” tanya Birawan.

“Sedikit variasi pasti lebih seru. Aku berpengalaman.”

Birawan cepat-cepat melepas pakaian, meletakkan kepala di bantal, merentangkan tangan. Ini pasti hari terindahnya. Dara mengikatkan kedua tangan pria itu ke sandaran tempat tidur bermodel jeruji seraya berbisik, “Nanti, usahakan sedikit melawan.”

“Terima kasih.” Birawan hampir menangis terharu.

Persiapan selesai. Tanpa suara, Dara melangkah ke rak buku. Ia tak bisa dibodoh-bodohi untuk kali kedua. Di antara buku Kuasai Jalan Hidupmu dan Menjadi Raja dalam Sehari, terdapat celah selebar setengah jengkal. Dalam keremangan celah, sebuah ponsel bersandar ke dinding dalam rak, kameranya mengarah ke tempat tidur. Dara sudah melihatnya dari awal. Pelan-pelan, ia mengeluarkan ponsel itu.

“Apa yang kita tunggu?” tanya Birawan.

Ponsel itu sedang merekam, kini memasuki menit keempat belas. Pasti rekaman dimulai sejak Dara menekan bel.

“Aku akan membuka pintu,” kata Dara. “Rasanya akan lebih menantang dan seksi.”

“Baik.”

Dara menghentikan dan menghapus rekaman, membuka Instagram Birawan, menggeser layar ke kanan. Live. Ia memastikan wajahnya tak tertangkap kamera, dan memberdirikan ponsel dengan menyandarkannya ke buku, kamera mengarah ke tempat tidur.

Dara membuka pintu kamar. Dan ia keluar.

 

***

 

Begitu Dara membuka pintu beranda, para Dara-yang-lain sudah menunggu di luar, menghadap ke arahnya. Mereka berjumlah belasan. Puluhan. Ratusan. Mereka memenuhi beranda. Memenuhi halaman. Memenuhi area di balik gerbang. Mau apa mereka? Ketika Dara melangkah meninggalkan ruangan, para Dara-yang-lain berbondong masuk, membuatnya berkali-kali terdorong kembali ke ruang dalam.




*) Cerpen ini dimuat di Janang.id pada 21 Oktober 2024.