Saya langsung mengincar sofa panjang
berwarna hijau itu begitu istri saya mengajak memasuki butik ini. Di sofa hijau
yang sama, beberapa sentimeter di sebelah kiri saya, duduklah seorang lelaki
remaja yang sedang sibuk dengan novel bacaannya. Sampul novel itu berwarna
merah, dan tertulis Kerajaan Putih yang
Terbakar sebagai judul, serta nama pena saya sebagai penulisnya—jika lelaki
remaja itu menoleh ke arah saya, saya tak tahu apakah ia akan mengenali saya, sebab
di halaman Tentang Penulis tak
terdapat foto saya, lebih-lebih saya bukanlah penulis terkenal. Saya lihat
lebih detail, rupanya ia telah mencapai bagian tengah novel itu, di mana sang
ratu sedang sayang-sayangnya pada sang raja, karena suatu hal yang lebih baik
kaubaca sendiri untuk mengetahuinya.
“Sayang,
apa gaun ini cocok untukku?” tiba-tiba seorang remaja perempuan, di samping
salah satu rak gantung, berkata sembari menempelkan gaun pilihan di tubuhnya,
pastilah kepada lelaki remaja yang sedang membaca novel saya, karena perempuan
itu sedang menoleh ke arahnya. Namun karena kekasihnya (begitulah saya tebak,
karena mereka tampak terlalu muda untuk ukuran pasangan-menikah) tak menyahut
dan tetap sibuk dengan novel di tangannya, perempuan itu pun berteriak dengan
marah, “Lihat aku!”
Tak
ada yang tak terkejut saya rasa, termasuk diri saya dan istri saya sendiri. Remaja
lelaki itu sampai-sampai terlompat dari sofa dan menjatuhkan novel di
tangannya—sungguh seperti adegan di banyak film komedi. Ia langsung menoleh ke
arah kekasihnya dan berkata, “Sangat cocok, Khesya!” jelas tanpa
menimbang-nimbang gaun pilihan itu terlebih dahulu.
Oh,
raja dan ratu yang berbahagia ....
***
Saya dan istri saya berpisah seusai
urusan di butik; ia pergi ke tempat lain karena sudah membuat janji dengan
beberapa rekan bisnisnya, sedangkan saya, yang kebetulan sedang bebas, memutuskan untuk tetap berada di
mall ini, dan iseng memasuki toko buku. Di toko buku, saya langsung mencari novel
saya, sekadar mencari tahu berapakah sisa stok novel saya di sini.
Beberapa
langkah dari rak yang menampung novel saya, langkah saya pun terhenti. Pasalnya,
saya melihat seorang perempuan yang tak asing, yang tadi memarahi kekasihnya di
butik, yang berdiri persis di depan barisan novel saya. Kalau saya tidak salah
dengar, nama perempuan itu Khesya. (Eh, di manakah kekasihnya?) Jelas sekali
tatapan Khesya terarah ke barisan novel saya; tatapannya menyiratkan kebencian.
Apa ia membenci novel saya karena novel itulah yang sempat membuat sang kekasih
tak menaruh perhatian padanya—di butik tadi?
Satu
menit. Tiga menit. Lima menit. Khesya masih tetap menatap benci novel saya. Selama
lima menit itu pula saya berhenti di titik ini, tak berani mendekatinya—entah
kenapa—dan mencoba menghitung jumlah novel saya yang tersisa di sana—yah, tidak
banyak dan tidak sedikit.
Akhirnya
saya bergerak menuju rak lain, melihat-lihat sembarang buku, dan tertariklah
perhatian saya pada sebuah buku nonfiksi berjudul Cara Memperlakukan Wanita dengan Luar Biasa. Saya pribadi merasa
yakin bahwa saya sudah cukup luar biasa (romantis
dan sebagainya) terhadap istri saya, tapi saya tetap penasaran dengan isi buku
itu, sehingga kemudian saya mengambil dan membawanya ke kasir. Saat berjalan ke
kasir, saya mencuri pandang ke rak di mana stok novel saya dipajang; Khesya
rupanya masih berdiri di sana, masih dengan tatapan bencinya yang sama kepada
novel saya.
***
Sehabis dari toko buku, saya pergi ke food court. Saya memilih sembarang meja,
yang ternyata terletak bersebelahan dengan meja di mana Khesya dan kekasihnya
duduk. (Wah, saya tak menyadari pergerakan Khesya dari toko buku.) Kekasih
Khesya sibuk membaca novel saya, mengabaikan Khesya yang menatap benci entah ke
arah novel itu atau wajah sang kekasih.
Makanan
yang saya pesan tiba bersamaan dengan makanan pesanan Khesya dan kekasihnya. Tapi
tampaknya makanan di meja mereka tak akan tersentuh dalam waktu yang relatif lama;
kekasih Khesya masih sibuk dengan novel saya, sementara Khesya masih sibuk
melemparkan tatapan bencinya.
Saya
memutuskan untuk berhenti memerhatikan mereka dan mulai menikmati makanan saya.
Saat makanan saya sudah tinggal kira-kira seperempat piring, tiba-tiba terdengar
Khesya berteriak marah, amat kencang! Saya, kekasih Khesya, serta orang-orang
lainnya jelas saja terkejut dan langsung menoleh ke sumber suara. Rasanya belum
ada sang kekasih melemparkan tatapan bertanya-tanya selama satu setengah detik,
Khesya telah merenggut novel dari tangannya, melemparkannya jauh-jauh, lantas
menampar keras-keras lelaki itu sebelum menutup wajah sendiri dengan kedua
tangan dan menangis tersedu-sedu!
Selama
beberapa jenak kekasih Khesya hanya diam menganga. Barulah kemudian ia
melontarkan kalimat-kalimat penyesalan dan permintaan maaf, yang malah membuat Khesya
semakin murka: perempuan itu meraih sebilah pisau dari tempat sendok di mejanya
dan menodongkannya pada sang lelaki! “Pergi!” teriaknya, dan langsunglah kekasihnya
itu berlari terbirit-birit, entah ke mana.
Begitu
lelaki itu menghilang dari jarak pandang saya—mungkin juga dari jarak pandang
Khesya—Khesya segera meletakkan pisau itu pada tempatnya semula dan kembali
menangis sembari menutup wajah dengan kedua tangan. Saya dan orang-orang lain
yang memerhatikan adegan itu pun berusaha untuk kembali bersikap normal,
kembali fokus pada kegiatan masing-masing, kecuali seorang wanita paruh baya,
yang memungut novel saya dan meletakkannya di meja Khesya, tapi toh setelah itu
ia kembali menjalankan kesibukannya di meja makan sendiri.
Beberapa
saat kemudian, sesudah makanan saya habis, Khesya masih saja menangis seperti
itu. Saya pun, atas inisiatif yang entah berasal dari mana, memutuskan untuk
berpindah ke hadapan Khesya. Saat saya mendaratkan bokong di hadapannya, ia
tetap menangis, seolah tak menyadari keberadaan bokong saya yang mendarat di
kursi di mana kekasihnya duduk beberapa saat lalu. Saya lantas berdeham ....
***
Saya memesankan sebuah taksi online untuk mengantar Khesya pulang ke
apartemennya. Tepatnya, ke apartemen tempat ia dan kekasihnya tinggal. Sopir
taksi itu tak sendirian mengantarkan Khesya; ada saya, yang duduk bersama gadis
itu di jok belakang. Saya merasa mesti ikut sebab Khesya masih saja menangis,
dan saya berfirasat, ketika taksi ini melaju cepat, ia mungkin melompat ke
tengah jalan raya jika tak ada yang mengawasi. (Sopir taksi sendiri pastilah terlalu
sibuk mengawasi jalanan di depan-samping-belakang mobilnya, sehingga tak sempat
mengawasi Khesya.)
Apartemen
Khesya terletak tak jauh dari rumah saya. Ketika kami turun dari taksi di
halaman parkir apartemen—sudah pukul 9 malam, padahal kami memulai perjalanan
dari mall sekitar pukul 6 sore—Khesya berkata pada saya dengan sisa tangisnya,
“Ikut saya masuk.”
Hening
beberapa jenak, saya bingung mesti menjawab apa. Pertama, karena saya baru saja
berniat mengatakan, “Dari sini, saya akan berjalan kaki ke rumah saya.” Kedua, saya
sudah lelah mendengarkan sedu-sedannya—yang berusaha menyaingi bising
kemacetan—di dalam taksi selama kurang lebih 3 jam. Sayangnya, saya tak tega
meninggalkannya.
“Saya
takut ia memukul saya,” lanjut Khesya. “Maksudnya, kekasih saya. Ia hanya
pura-pura tak berdaya setiap kami bertengkar di tempat umum.”
Tapi,
ketika saya sudah masuk ke apartemennya, ternyata kekasih Khesya belum pulang.
(Apa istri saya sudah pulang?) Dan tiba-tiba Khesya mengunci pintu di belakang
saya, mencium bibir saya dengan liar, memeluk tubuh saya dengan ganas, menggiring
saya ke tempat tidur dengan beringas, lalu ....
Saya
tiba-tiba teringat bahwa kami belum berkenalan—tentu Khesya tak tahu nama saya
dan lain-lainnya, termasuk ia tak tahu bahwa sayalah penulis novel yang, secara
tak langsung, membuat hubungan antara ia dan kekasihnya “retak”, bahkan
sebentar lagi saya akan menjadi penyebab langsung bagi “keretakan” tersebut.
Namun, apakah persetubuhan yang hebat hanya bisa terjadi di antara dua orang
yang saling mengenal?
***
Setelah saya mengatakan bahwa saya akan orgasme,
Khesya langsung melepaskan diri dari saya, meraih tasnya yang tergeletak di
lantai—bersama pakaian kami—dan mengeluarkan novel saya yang beberapa jam lalu
adalah bacaan kekasihnya. Ia lalu meraih pistol
saya, menodongkannya ke novel saya sendiri, dan tangannya melakukan gerakan
lincah yang menyenangkan, disertai senyum kejam yang menggoda.
Apakah menodai anak rohani sendiri bisa disebut inses? tiba-tiba saya berpikir
demikian.