Ilustrasi oleh: Citra Sasmita
Hantu itu terlihat menyusuri jalanan Kota
Daging pada suatu sore. Orang-orang di kota itu pun pada ketakutan. Bergegaslah
para suami mengurung istri masing-masing di kamar tidur, kamar mandi, loteng, gudang,
atau di ruangan lainnya. Ada pula beberapa orang istri yang berinisiatif untuk
mengurung diri mereka sendiri. Hal itu orang-orang Kota Daging lakukan demi
menghindari terulangnya tragedi yang terjadi dua puluh lima tahun silam di kota
mereka.
***
Dua puluh lima tahun yang lalu, pada
sore hari pula, untuk pertama kalinya hantu itu terlihat menyusuri jalanan Kota
Daging. Tak ada seorang pun yang takut sebab mereka merasa mempunyai Tuhan yang
mahapelindung. Kemudian, hantu tersebut terlihat memasuki Hutan Sumsum.
Pada
pagi keesokan harinya, pukul sembilan, tahu-tahu saja dari Hutan Sumsum terdengar
sebuah puisi yang dinyanyikan dengan begitu indah, memenuhi sekujur Kota Daging.
Puisi yang dinyanyikan itu mengisahkan tentang cinta seorang ibu yang begitu sia-sia,
namun mahaagung. Dan, efek dari puisi tersebut sungguhlah mengerikan: seluruh
ibu di Kota Daging kehilangan kendali atas diri sendiri dan dengan sendirinya
mereka bergerak menuju sumber suara, sementara yang bukan-ibu mendadak
mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh sehingga tak bisa mencegah kepergian para
ibu.
“Kami,
para ibu, akan pergi ke Hutan Sumsum untuk mencari puisi, mencari kemerdekaan,”
kata para ibu, seperti kepada diri sendiri, dengan ekspresi dan nada yang datar
sebelum meninggalkan orang-orang yang mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh itu.
Ketika
siang tiba, kelumpuhan-sekujur-tubuh itu lenyap. Para suami dan para anak lantas
segera pergi ke Hutan Sumsum sebab para ibu belum kembali. Tepat di titik
tengah hutan itu, mereka menemukan hantu yang kemarin sempat terlihat menyusuri
jalanan kota sedang duduk di atas sebongkah batu.
“Apakah
kau yang tadi menyanyikan puisi itu?” tanya salah seorang pria.
“Ya,”
sahut si Hantu. “Dan, seperti yang sudah kalian duga, dengan puisi itulah aku menyihir
para ibu dan kalian semua.”
“Di
mana ibuku sekarang?!”
“Di
mana istriku?!”
“Di
mana nenekku?!”
Keriuhan
pun tak dapat dihindari. Si Hantu hanya terdiam, sampai ketika ada seseorang
yang maju hendak menyerangnya. Apa yang kemudian dilakukan oleh si Hantu,
sebelum serangan dari seseorang itu mengenainya, adalah menyanyikan sebuah
puisi mbeling yang menyebabkan orang-orang yang mengerubunginya pada mengantuk
… lalu jatuh-tertidur. Ketika mereka semua terbangun, pada sore hari di hari
yang sama, mereka mendapati diri telah berada di kamar tidur masing-masing.
Segeralah
para suami dan para anak kembali ke Hutan Sumsum, tepatnya ke titik di mana sebelumnya
mereka menemukan si Hantu, tetapi mereka tidak mendapatinya lagi di sana.
Pencarian-terhadap-si Hantu pun beralih ke pencarian-terhadap-para ibu. Namun
hasil dari pencarian-terhadap-para ibu pada hari itu nihil, sebagaimana
pencarian-terhadap-para ibu di hari-hari berikutnya, hingga akhirnya mereka
pasrah.
Entah
siapa yang kemudian menamai hantu itu Hantu Puisi. Yang jelas, nama itulah yang
hingga kini digunakan oleh orang-orang untuk menyebutnya.
Dan,
tentu saja tak ada yang menyangka bahwa Hantu Puisi bakal muncul lagi …
***
Suamiku mengurungku di kamar tidur. Ia
tak ingin aku pergi-menghilang—jika pagi nanti Hantu Puisi terdengar menyanyikan
puisinya—sebagaimana ibunya, ibuku, neneknya, dan nenekku dua puluh lima tahun
silam.
Tentu
saja bukan suamiku seorang yang melakukan hal ini kepada istrinya. Bahkan, aku
yakin bahwa ada saja suami yang “menahan” istrinya secara jauh lebih ketat,
sampai sang istri merasa tersiksa.
Tapi,
apakah yang lebih menyiksa ketimbang terpisah dari keluarga?
***
Tatkala udara pagi akhirnya menghantarkan
puisi—tentang cinta seorang ibu yang begitu sia-sia, namun mahaagung—yang
dinyanyikan oleh Hantu Puisi di Hutan Sumsum ke sekujur Kota Daging, segeralah para
anak dan para suami mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh. Tapi mereka yang mengalami
kelumpuhan-sekujur-tubuh itu merasa sedikit tenang sebab para ibu telah “ditahan”.
Sayangnya, ketenangan mereka yang sedikit itu taklah bertahan lama; rupanya, para
ibu yang “ditahan” itu, entah mendapatkan kekuatan dari mana, berhasil
melepaskan diri dari “tahanan” masing-masing—segala macam pintu-yang-terkunci
yang menghalangi pada mereka robohkan dengan begitu mudahnya. Benda-benda yang
digunakan untuk menyumpal telinga pun taklah berguna sama sekali karena puisi
yang dinyanyikan oleh Hantu Puisi dapat didengar bukan melalui telinga saja.
Alhasil,
pagi itu, jalanan Kota Daging kembali dipenuhi oleh para ibu yang bersama-sama
berjalan ke Hutan Sumsum.
***
Puisi yang dinyanyikan oleh Hantu Puisi
itu mulai terdengar. Indah sekali. Saking indahnya, sampai-sampai kegelapan dan
keapakan di gudang ini lenyap. Dan, aku yakin bahwa, di luar sana, suami dan
kedua anakku mendadak mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh.
Satu
detik. Dua detik. Tiga detik. Puisi yang dinyanyikan itu tak menyebabkan apa-apa
pada diriku.
Empat
detik. Lima detik. Aku harus mencabut kalimatku yang barusan.
Ada
semacam keindahan yang menyusup ke dalamku. Tapi, entah bagaimana, keindahan
itu menyebarkan suatu perasaan ganjil ke sekujur badan dan mengambil alih
otakku. Lalu, dengan sendirinya, aku melangkah. Pintu gudang—terkunci—yang
menghalangi langkahku kurobohkan dengan begitu mudahnya …
***
Siangnya, sebagaimana dua puluh lima
tahun silam, kelumpuhan-sekujur-tubuh yang menghinggapi para anak dan para
suami sontak lenyap. Mereka pun langsung pergi ke Hutan Sumsum—beberapa orang
dewasa membawa senjata.
Sebagaimana
dua puluh lima tahun yang lalu, Hantu Puisi ditemukan sedang duduk di atas
sebongkah batu di titik tengah Hutan Sumsum.
“Kembalikan
para ibu!” teriak beberapa orang, nyaris bersamaan.
“Tidak,”
jawab Hantu Puisi.
“Kalau
begitu, kami akan menyerangmu!”
“Silakan.”
Rupanya
mereka malah saling menunggu untuk menyerang Hantu Puisi.
“Ayo!
Langsung saja kita bunuh ia!” seru seorang pria, begitu kesal karena semuanya,
termasuk dirinya, tak kunjung menyerang.
“Kalau
ia langsung kita bunuh, apakah para ibu sudah pasti bakal kembali?” sahut pria
yang lain, agak lirih. “Lagi pula, kalau ada yang coba-coba menyerangnya,
bukankah hantu itu akan segera menyanyikan puisi mbeling yang membuat kita
semua tertidur, lantas berada di kamar masing-masing ketika terbangun,
sebagaimana yang dilakukannya dua puluh lima tahun silam?”
“Dasar
pengecut! Bilang saja kalau kau takut!”
“Tapi
apa yang dikatakannya itu benar!”
“Nah!
Kau juga pengecut!”
“Ayahku
tidak pengecut!”
“Hei!
Ayahmu memang pengecut!”
“Tidak!
Ayahmu yang pengecut!”
Adu
mulut yang panas pun terjadi di kerumunan itu.
“Aku
tidak akan mengembalikan para ibu sebab kini mereka telah merdeka,” mendadak
Hantu Puisi berkata lantang, membuat orang-orang yang mengerumuninya seketika
berhenti beradu mulut.
“Merdeka?!
Apanya yang merdeka kalau kauculik?!” teriak seorang perempuan remaja, disusul
oleh teriakan-teriakan dari yang lainnya.
Kemudian,
Hantu Puisi bersiul nyaring.
Orang-orang
pun terpana …
Tahu-tahu
saja para ibu, yang menghilang pagi tadi dan dua puluh lima tahun silam, sudah
berada di sekeliling mereka. Ya! Di sekeliling mereka, berbaur dengan kerumunan
itu! Ajaibnya lagi, para ibu yang menghilang dua puluh lima tahun silam pada tampak
tak bertambah tua sama sekali!
“Ibu!”
“Nenek!”
“Istriku!”
“Mertuaku!”
Tapi para ibu tak tergerak hatinya oleh pekikan-pekikan
pun pelukan-pelukan penuh haru yang mereka peroleh. Sekonyong-konyong, warna
bola mata para ibu berubah menjadi merah menyala—begitu terang!—mengejutkan
para anak dan para suami sehingga mereka reflek bergerak mundur beberapa
langkah—dan terjadilah tabrakan-tabrakan kecil antara tubuh satu dengan tubuh
lainnya di dalam kerumunan itu. Lalu, para ibu berteriak, “Biarkan kami tetap
merdeka!!!”
*) Cerpen ini dimuat di Bali Post pada tanggal 6 November 2016.