Orang-orang mengira bahwa aku adalah
sebatang pohon. Padahal, aku adalah seekor binatang.
Dua
bulan lalu, pada tengah malam, aku muncul begitu saja di lapangan ini—entah
karena apa. Sedari muncul, batangku sudah setinggi 10 meter dan berdiameter 2
meter. Ketika pagi tiba dan aktivitas orang-orang dimulai, tak ada seorang pun
yang tak terkejut begitu melihatku. Keterkejutan itu pun membuat mereka segera
mengerubungiku.
“Oh,
besar sekali!” seru seseorang. “Pohon apa ini?!”
“Aku
bukan pohon!” sahutku. “Aku adalah binatang!”
“Hei!
Kalian dengar suara itu?”
“Suara
apa?”
“Ya
suara itu!”
Aku
menyahut lagi, “Itu suaraku!”
“Suara
itu terdengar lagi!”
“Ah!
Aku mendengarnya!”
“Yang
mirip serdawa itukah?”
“Ya!
Suara yang itu!”
Aku
lantas menyadari: orang-orang itu tak mengerti bahasaku—sedangkan aku mengerti
bahasa mereka. Maka, dapat disimpulkan, memberitahukan mereka bahwa aku ini
adalah seekor binatang tidaklah mudah.
“Aku
juga mendengarnya! Dan, kuyakin suara itu berasal dari pohon ini!”
“Bagaimana
bisa sebatang pohon bersuara?”
“Bagaimana
bisa pohon ini berada di sini?”
“Ini
pohon pasti bukan sembarang pohon!” tiba-tiba si Tetua berkata. “Ini pohon
pasti titisan Dewa!”
Berkat
kalimat si Tetua itulah aku jadi dipuja-puja oleh banyak orang setiap hari. Di
kemudian hari, aku dinamai Pohon Dewa oleh mereka.
Kalau
kupikir-pikir, tak bisa aku menyalahkan mereka karena menyangka aku adalah
sebatang pohon. Sebab, bukan hanya mereka saja yang menyangka demikian,
melainkan ....
“Sejak
kemarin, kuperhatikan kau berdiri terus di dekatku,” ucapku kepada si Makhluk
Halus—entah ia laki-laki atau perempuan. “Apa yang sebenarnya sedang
kaulakukan?”
“Sejak
kemarin, aku adalah penunggumu,” sahutnya. “Yah, ini semua gara-gara pohon yang
sebelumnya kutunggui ditebang oleh seseorang. Jadi, terpaksalah aku berpindah tempat
dan menungguimu, meski aku sendiri tak tahu pohon apakah kau ini.”
“Aku
bukan pohon! Aku adalah binatang!”
Si
Makhluk Halus pun terdiam beberapa jenak. Matanya menatapku lekat-lekat. “Tidak
mungkin,” ucapnya kemudian.
“Tapi
aku tak berbunga pun berbuah, Makhluk Halus! Sebab, aku ini binatang!”
“Tapi,
lihatlah, kau ini berbatang, bercabang, beranting, dan berdaun.”
“Tapi
aku bermulut! Mana ada pohon yang bermulut?!”
“Di
mana mulutmu? Aku tidak melihatnya.”
“Di
puncak batangku, tertutup oleh daun-daunku!”
“Kalau
memang ada, tapi tak terlihat, bisa saja dianggap tak ada, kan?”
Apakah semua Makhluk Halus semenyebalkan ini?
pikirku.
***
Saban pagi, aku selalu ditemani oleh orang-orang
yang berdoa—kepadaku—bersama. Setelah acara berdoa bersama usai, mereka akan
meninggalkan sesajen masing-masing di sini, di tanah yang terselimuti bayangan
daun-daunku. Kala siang tiba, mereka akan kembali kemari untuk membawa sesajen-sesajen
itu pergi.
Kutegaskan,
apa yang kupermasalahkan hanyalah kebinatanganku yang tak diakui. Aku tak
peduli mau seperti apa orang-orang memujaku.
Omong-omong, sebelum aku ada, siapakah yang
mereka puja?
“Orang-orang
itu pintar memilih sesajen, ya,” kata si Makhluk Halus suatu waktu, terdengar
agak tak jelas sebab ia berbicara sembari mengunyah wujud halus salah satu sesajen yang dipersembahkan buatku. “Eh, kau
yakin tak mau memakan sesajen-sesajen ini? Enak, lho.”
“Tidak.
Aku mempunyai makanan dan cara makanku sendiri.”
Perihal
cara makanku, akan kujelaskan padamu: Aku memiliki akar, tapi aku makan bukan
melaluinya—bagian itu hanyalah “alat untuk berdiri”—melainkan melalui mulut
yang terletak di puncak batangku. Mulut itu mengeluarkan aroma yang “menarik”
sehingga mangsaku akan memasukinya. (Biasanya, yang menjadi mangsaku adalah
kaum insek dan aves.) Dan, tentu saja mulutku akan langsung bekerja begitu ada
mangsa yang masuk.
“Kalau
tidak memakannya, bagaimana bisa kau menikmati-secara-utuh pemujaan yang
dilakukan orang-orang?”
“Aku
tak perlu dipuja-puja seperti itu, meski aku tak mempermasalahkan pemujaan yang
mereka lakukan!”
“Oh,
baiklah .... Setidaknya, Kawan, aku senang kau dipuja-puja. Karena dengan begitu,
aku bisa menikmati banyak sesajen setiap hari.”
“Oh
ya,” sambung si Makhluk Halus, “perihal kebinatanganmu itu … jangankan mereka, aku
yang belakangan ini terus bersamamu pun masih sulit memercayai bahwa kau adalah
seekor binatang.”
“Tapi,
seperti yang sudah kubilang, aku mempunyai mulut, Makhluk Halus! Mulut bukanlah
ciri fisik tumbuhan!”
“Tapi,
kan, mulutmu tak kelihatan, tertutup oleh daun-daunmu sendiri. Jadi, wajar saja
mereka tidak tahu kalau kau mempunyai ciri yang sah sebagai binatang.”
“Lantas,
aku mesti bagaimana?”
“Selain
mulut, apa saja ciri sahmu sebagai binatang?”
Aku
berpikir beberapa jenak. “Aku tidak berfotosintesis. Bukankah itu termasuk ciri
binatang?”
“Hmmm
… kurang memenuhi. Asal kau tahu, ada beberapa binatang yang berfotosintesis,
semisal Elysia chlorotica dan Anemonia viridis.”
“Ada
ciri yang lain?” sambungnya cepat.
“Aku
memiliki penis dan anus, di bawah tanah.”
Si
Makhluk Halus mengernyit. “Kau serius?”
“Ya.”
“Syukurlah
kalau memang di bawah tanah. Jadi, aku dan orang-orang tak perlu melihatnya.”
“Oh
ya, aku memiliki sistem saraf.”
“Hmm
… ada ciri yang lain?”
“Ciri
kebinatangan seperti apa lagi yang harus kumiliki?!”
“Tentu
saja ciri kebinatangan yang mudah dilihat dengan mata telanjang.”
Aku
merenung. Satu menit .... Tiga menit.
“Tak
ada,” jawabku pada akhirnya.
“Ya
sudahlah. Semoga hidupmu bahagia, Pohon.”
***
Tadi pagi, si Makhluk Halus tiba-tiba
saja berkata, “Aku mendapat ide! Aku tahu bagaimana cara agar kebinatanganmu
diakui!” dan terbang-pergi selama beberapa menit. Ketika si Makhluk Halus kembali—dengan
terbang pula—ia membawa sebuah benda pipih dan menyangkutkannya di rantingku.
“Apa
yang kaulakukan, heh?!” tanyaku.
“Lihat
saja nanti, Kawan. Aku mencuri benda ini dari langit.”
Tak
lama kemudian, datanglah dua orang laki-laki: bocah dan dewasa.
“Di
sana!” si Pria berkata sembari menunjuk ke arah benda pipih yang disangkutkan di
rantingku.
“Apa
yang harus kita lakukan, Ayah?” ucap si Bocah. “Itu layangan kesayanganku!” Ia
pun jatuh-terduduk di tanah dan menangis tersedu-sedu. “Ayah, panjatlah Pohon
Dewa! Ambilkan layanganku! Kumohon!”
“Memanjat
Pohon Dewa?!” Si Pria mendelik. “Itu adalah perbuatan yang sungguh tidak sopan,
Nak! Bisa-bisa Pohon Dewa marah!”
“Pokoknya
ambilkan, Ayah!”
Mungkin
sebab tidak ingin mendengar tangisan si Bocah lebih lama lagi, si Pria akhirnya
memanjati tubuhku. “Maafkan aku, Pohon Dewa,” ucapnya lirih. Tak butuh waktu
lama baginya untuk menggapai layangan itu.
Tangisan
si Bocah usai sudah.
Tiba-tiba si Pria tertegun. Tatapannya
terpaku pada mulutku. “Apa itu?” gumamnya. Pria itu pun berjalan perlahan
di dahanku, mendekati mulutku. “Bau ‘menarik’ itu ternyata berasal dari situ,
toh.”
“Nah!
Momen inilah yang kutunggu-tunggu, Kawan,” ucap si Makhluk Halus dengan
antusias. “Sebentar lagi ia akan menyadari kebinatanganmu! Dan, saat ia sudah menyadari
kebinatanganmu, semoga saja ia akan memberitahukan apa yang baru disadari-dirinya-seorang
itu ke banyak orang!”
Si
Pria lalu berjongkok di samping mulutku. Aku segera bersuara, berharap si Pria ketakutan
dan segera turun.
“Eh?
Dari situ juga, toh, sumber suaranya?” Tangan kanannya kemudian bergerak ... memasuki
“jebakan”-ku.
Sayangnya,
mulutku tak bisa berhenti bekerja—karena memang begitulah mulutku.
“Tolong!!!”
pekik si Pria, seraya berusaha menarik tangan kanannya dari mulutku.
Si
Bocah pun berlari menjauhiku, menghilang entah ke mana. Beberapa saat kemudian,
si Bocah kembali kemari bersama begitu banyak orang. (Mereka tak membawa sesajen
sama sekali.)
“Ayah
di sana!” pekik si Bocah—ia menangis lagi.
“Tolong!
Pohon ini bermulut!” pekik si Pria.
“Mungkin
itu hukumanmu karena berani-beraninya memanjati Pohon Dewa!” kata seseorang.
“Kasihan
suamiku!” ujar seorang wanita, sesenggukan. “Berikanlah ia pertolongan!”
Tangan
kanan si Pria makin hancur di mulutku. Ia pun terjatuh—ke belakang—dariku begitu
disentakkannya tangan kanannya dengan kuat hingga terputus. Segeralah tubuhnya
menghantam tanah, lantas ia tak bergerak-bersuara lagi.
Orang-orang
menjerit.
“Ini
semua gara-gara kau, Makhluk Halus!” hardikku.
“Orang-orang
akan segera sadar bahwa kau adalah seekor binatang!” balas si Makhluk Halus,
bangga.
Beberapa
orang lantas mengangkat jasad si Pria dan mengaraknya entah ke mana, diikuti
oleh yang lainnya.
“Dewa
tidak mungkin sebrutal itu!” samar-samar kudengar salah seorang dari mereka
berkata, ketika jarak mereka sudah agak jauh dariku.
“Apakah
tadi kalian dengar? Sebelum tewas, pria ini berkata bahwa Pohon Dewa mempunyai
mulut,” kata seseorang yang lain. “Mana ada pohon yang bermulut?!”
“Kalau
bukan pohon, lantas apa?”
“Jangan-jangan,
sebenarnya Pohon Dewa itu adalah seekor binatang!”
“Kau
dengar itu?” ucap si Makhluk Halus padaku, dan tersenyum puaslah ia.
***
Malamnya—masih pada hari di mana si Pria
tewas—orang-orang dewasa, termasuk si Tetua, datang mengerubungiku entah buat
apa. Masing-masing dari mereka membawa obor. Dan tampak marah.
*) Cerpen ini dimuat di Balipost pada tanggal 12 November 2017.