*Sumber Gambar: Pinterest
Salah satu mercon berbentuk roket meluncur terlalu tinggi hingga mengenai bulan. Bulan pun bergetar begitu mercon itu meledak, dan kami yang berada di taman ini sontak waswas. Bulan bergetar semakin hebat, semakin hebat, dan semakin hebat. Langit mendadak sepi dari ledakan-ledakan mercon dan terompet-terompet berhenti ditiup, mungkin sebab setiap orang di bagian lain pulau ini, yang juga merayakan malam tahun baru, turut waswas mengamati bulan. Untungnya, perlahan getaran bulan berkurang hingga berhenti sama sekali; tidak terjadi hal yang lebih aneh lagi di perayaan ini.
“Maaf,”
ucap orang yang tadi meluncurkan mercon berbentuk roket yang mengenai bulan,
dengan wajah tertunduk. Ia lantas pergi meninggalkan taman ini, entah karena
merasa tidak enak hati atau apa, yang jelas tak ada yang mengusirnya pun
menyalahkannya atas insiden barusan.
Suasana
kembali ramai setelahnya. Orang-orang kembali bersorak-sorai, sebagaimana
mercon-mercon di atas sana. Terompet-terompet pun mulai menjerit keras sekali,
seolah meneriakkan ucapan terima kasih pada langit yang telah menjaga bulan.
Aku
merasa ada trauma yang membekas di dada Josef berkat insiden barusan; lelaki
itu jadi berhenti meluncurkan mercon-merconnya yang berbentuk roket—padahal
masih tersisa banyak di dalam tasnya—dan hanya meniup terompet untuk
menyumbangkan kesan meriah, sementara para peledak mercon berbentuk roket
lainnya kembali meluncurkan mercon masing-masing.
“Lawan,
Josef,” kataku, “lawanlah!”
“Lawan?”
Josef mengernyit. “Apa yang mesti kulawan?”
“Rasa
takutmu.”
***
Josef berhenti belajar mengemudikan
mobil. Josef tak mau lagi menggendong adik kandungnya yang masih bayi. Josef
keluar dari sekolah kedokteran dan menutup cita-citanya untuk menjadi dokter. Josef
berhenti mempelajari agama. Lebih aneh (untuk tak menyebut “bodoh”) lagi, ia jadi
tak kunjung memiliki keberanian untuk menikahiku. Semua hanya karena masalah
milik orang lain yang tak ada hubungannya dengan ia.
Kurang
lebih pada latihan mengemudinya yang keempat, Josef menyaksikan kecelakaan
mobil beberapa ratus meter di depannya. Kata Josef, kejadian yang disaksikannya
itulah yang membuatnya takut untuk mengemudi lagi. “Aku tidak mau menewaskan pengemudi
lain, seperti yang dilakukan oleh pengemudi mobil yang sembrono itu,” aku
Josef. Dalam kasus ini, aku masih bisa memaklumi ketakutannya.
Seminggu
setelah kecelakaan mobil itu, Ibu Josef melahirkan. Kata Ibu Josef kepadaku,
“Josef benar-benar menyukai bayi itu. Bahkan, rasanya, ia lebih sering
menggendong bayi itu ketimbang aku maupun suamiku.” Saat Adik Josef berusia
tiga bulan, ada salah satu tetanggaku yang dilanda kesedihan hebat. Kesedihan
itu disebabkan oleh meninggalnya bayi mereka yang baru berusia lima bulan. Penyebabnya,
saat si Ayah menggendong sang bayi, ia tak sengaja menjatuhkan makhluk mungil
itu dari gendongannya. Sehari setelah mendengar kabar itu, saat aku sedang
berada di sebuah restoran bersama Josef, aku menceritakan kabar tersebut padanya,
benar-benar sesuai dengan apa yang aku dengar. Lalu, beberapa hari kemudian,
saat aku berkunjung ke rumah Josef untuk merayakan ulang tahunnya, Ibu
Josef—yang sedang menggendong sang bayi—berkata, “Entah kenapa ia tidak pernah
lagi menggendong adiknya. Kalau aku tidak salah mengamati, itu dimulai sepulangnya
ia dari kencan terakhirnya denganmu. Biasanya, begitu pulang, ia langsung
mencari bayi ini dan menggendongnya. Tapi, waktu itu ia tak melakukannya sama
sekali. Malah malam harinya ia menolak-dengan-panik saat kumintai tolong untuk
menggendong bayi ini sebentar saja.” Aku memaklumi Josef untuk kedua kalinya. Walaupun
tidak semudah yang pertama.
Kurang
lebih dua minggu kemudian, Josef memutuskan untuk keluar dari sekolah kedokteran.
Aku maupun ayah dan ibunya tentu terkejut. Setelah diselidiki, Josef sama
sekali tak mempunyai masalah dengan warga kampus. Tidak juga ada masalah dengan
nilai mata kuliah maupun kelakuan buruk. “Dua hari lalu, aku membaca sebuah
berita mengerikan di koran,” jelas Josef akhirnya. “Seorang dokter gagal
menyelamatkan nyawa pasiennya!” Kami—aku dan kedua orang tua Josef—yang
mendengarkannya tetap diam, lantas Josef melanjutkan, “Dan aku tidak mau
melakukan hal yang sama dengan dokter gagal itu! Maka aku tidak mau menjadi
dokter, dan akan percuma saja kalau aku melanjutkan kuliahku!” Dan alasan itu, bagi
kami, sama sekali tak bisa dimaklumi! Kami pun mati-matian berusaha membujuknya
agar menghapus pemikiran konyol itu, tapi masih gagal hingga sekarang. Yang
paling membuat kami bingung—dan tak kunjung dijawab oleh Josef—adalah, kenapa
baru kali ini Josef begitu ketakutan dengan berita
kegagalan-dokter-menyelamatkan-nyawa-pasien, sementara berita-berita semaca itu
sudah sejak lama bertebaran?
Sekitar
lima hari kemudian, Ibu Josef mendapati Josef membakar seluruh buku agama yang
ada di rumahnya. Katanya, “Aku tidak mau kita menjadi seorang teroris! Kita
mesti berhenti mempelajari agama!” Rupanya keputusan tolol itu diambilnya
setelah semalam, di televisi, ia menonton berita tentang pengeboman yang
dilakukan di pusat kota oleh seorang tokoh agama yang selama ini terkenal amat
baik. Ibu Josef menceritakan kejadian itu padaku setelah aku bertanya kepadanya
melalui telepon. Aku sendiri bertanya pada Ibu Josef karena, beberapa jam lalu,
Josef tiba-tiba datang ke rumahku dan langsung meluncur ke rak buku untuk
mengambil buku-buku agama, lantas membakarnya di halaman belakang. (Jika waktu
itu ayah atau ibuku ada di rumah, sudah pasti Josef akan dilaporkan ke polisi.)
Saat kutanyai Josef perihal alasannya, ia mengatakan hal serupa dengan yang
dikatakannya pada Ibu Josef. Begitu Josef pergi, aku cepat-cepat membersihkan
abu dari buku-buku agama itu dan meluncur ke toko buku secepat mungkin untuk
membeli buku-buku agama yang sama dengan yang Josef bakar. Bukan karena aku
religius atau benar-benar memerlukannya, tapi demi menyelesaikan “masalah
tambahan” yang mungkin terjadi andai kedua orang tuaku menyadari lenyapnya
buku-buku agama itu.
Keesokan
harinya, Josef mulai memasuki rumah teman-temannya untuk membakar buku-buku
agama mereka. Maka tak heran jika akhirnya Josef kehilangan sangat banyak teman
dan digebuki di lebih dari satu rumah.
Dua
hari kemudian, kedua orang tua Josef memutuskan untuk mengawasi anak mereka
secara “penuh” dan membawanya ke psikolog—sebuah keputusan yang sangat
kusetujui. Di kemudian hari agenda itu menjadi rutin, dan rutin pula Josef
memprotes karena merasa tak ada kesalahan sedikit pun pada jiwanya. Setelah
agenda rutin itu berjalan selama kurang lebih dua bulan, sang psikolog
langganan meninggal karena alasan yang tak jelas. Untungnya saat itu Josef
sudah tidak berniat membakar buku-buku agama milik orang lain lagi, meski
kejiwaannya belum sembuh benar—terbukti dari belum bersedianya ia untuk kembali
mengemudikan mobil, menggendong adiknya yang masih bayi, bercita-cita menjadi
dokter, dan mempelajari agama. Bagaimanapun, kedua orang tua Josef sudah tak
perlu khawatir untuk meninggalkannya sendirian di rumah saat mereka pergi buat
mencari psikolog lain.
Aku
memutuskan untuk menemani Josef saat ia sedang sendirian di rumah. Aku
membelikannya sebuah novel agar ia tak terlalu bosan lagi nantinya—saat benar-benar
sendirian. Ternyata, di sanalah timbul masalah lagi. Maksudku, berkat novel itu
....
“Kupikir
aku tidak akan pernah menikahimu, Sayang,” ucap Josef melalui telepon, beberapa
hari kemudian, setelah usai membaca novel yang kuberikan itu. “Aku takut upacara
pernikahan kita akan berlangsung secara tragis, seperti yang dialami oleh si
Protagonis dalam novel pemberianmu itu!” Dalam kasus ini, aku tidak tahu
bagaimana cara merespon kalimat Josef, selain dengan basa-basi penenang yang
“kosong”. (Setidaknya, Josef tidak sampai mencegah orang-orang lain untuk
melamar kekasih masing-masing.)
***
Ledakan salah satu mercon yang sangat
keras menyadarkanku bahwa sempat terjadi keheningan selama beberapa menit di
antara aku dan Josef.
“Apa
kau sadar bahwa insiden mercon-mengenai-bulan barusan bukanlah salahmu?” aku
kembali membuka percakapan.
Josef
menatap mataku lekat-lekat sejenak, sebelum berkata, “Tentu aku sadar.”
Aku
menarik napas panjang. “Dan kecelakaan mobil yang kau saksikan, dan bayi yang
tewas karena terjatuh dari gendongan ayahnya, dan dokter yang gagal
menyelamatkan nyawa pasiennya, dan tokoh agama yang meledakkan bom, dan upacara
pernikahan si Protagonis yang berlangsung secara tragis .... Semua itu bukan
salahmu, Josef!”
Lagi,
Josef menatap mataku lekat-lekat sejenak, sebelum berkata, “Itu aku juga sadar.”
Kami
saling diam lagi. Jika tidak ada ledakan mercon-mercon dan bunyi
terompet-terompet, mungkin sudah akan tercipta keheningan yang ganjil di antara
kami berdua.
Lantas
aku mencium bibirnya. Sepuluh detik. Dua puluh detik. Tiga puluh detik.
Orang-orang
menghitung mundur dari sepuluh, sebelum terdengar teriakan, “Selamat tahun
baru!!!”
Ciuman
Josef turun ke leherku. Dan di telinganya aku berkata lirih, “Nyalakan
merconmu, Josef. Nyalakan merconmu.”
***
Pesawat alien itu meluncur menuju Bumi
dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba ia menghentikan laju pesawatnya sebab
dilihatnya bulan terjatuh ke Bumi, setelah sebelumnya bergetar semakin kencang,
semakin kencang, dan semakin kencang. Dan, insiden itu sangatlah traumatis bagi
sang alien. Alien itu pun tak pernah lagi mengunjungi planet-planet lain yang
bersatelit!
*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada Oktober 2018.