*Sumber Gambar: Pinterest
Minggu Pucat. Dan seperti biasa, doa-doa
serta tenaga pun melintas di sebuah sungai yang ada di tubuh Ibu; itulah
doa-doa dan tenaga yang Ibu hasilkan berkat kerja kerasnya dari hari Senin
Tertawa, Selasa Gembira, hingga Sabtu Khawatir. Seperti biasa pula, aku dan
Ayah berangkat memancing ke tubuh Ibu, tanpa persediaan umpan sama sekali—kail
mahatajam sudahlah cukup untuk mendapatkan doa-doa dan tenaga itu.
“Bagaimana
cara kalian pergi ke tubuh Ibu?” kau bertanya.
Caranya
gampang saja: mintalah ia telanjang terlebih dahulu—ia pasti mau!—lantas
melompatlah ke permukaan tubuhnya.
“Bukankah
biasanya tubuh wanita lebih kompleks ketimbang tubuh lelaki? Apakah kalian
tidak takut tersesat di sana?” kau bertanya lagi.
Di
tubuh Ibu, tak mungkin ada yang tersesat, karena di sekujur permukaan kulitnya
terdapat peta yang akan mengarahkan kau ke mana pun kau hendak menuju, selama
itu masih berada di area tubuhnya. Kecuali, kau memang tak bisa membaca peta.
“Hmm
… sungguh penjelasan yang menarik. Oh ya, kenapa Ibu sudi doa-doa dan tenaganya
kalian pancing tanpa umpan sama sekali?”
Cinta
dan patriarki. Sesederhana itu, Kawan.
***
Kail mahatajam kami merobek muka aliran
air. Tongkat pancing kami masing-masing disandarkan pada sebongkah batu yang
berdiri di tepi sungai. Di tepi sungai yang sama, di samping batu itu tepatnya,
aku dan Ayah tinggal duduk menunggu. Tidak perlu takut tongkat-tongkat pancing tersebut
terseret ke sungai, sebab doa-doa dan tenaga yang tersangkut di kailnya tak
mungkin senakal itu; sekali tertancap, doa-doa dan tenaga itu pasti akan
pasrah, bahkan saking pasrahnya mereka akan menancapkan diri di kail mahatajam
kami.
“Tolong
pijati pundakku,” pinta Ayah, seperti biasa. Seperti biasa pula, kemudian ia
menambahkan, “Gunakanlah tenaga laki-lakimu.”
Aku,
sebagai anak lelakinya yang patuh, pun mulai memijati pundaknya, sampai ia meminta
berhenti. Tepatnya, sampai tak ada bagian tubuh kail yang tersisa untuk
ditancapi doa-doa dan tenaga Ibu, sehingga kami mesti mengeluarkannya dari
aliran air sungai, dan menelan doa-doa serta tenaga yang menancapkan diri itu—sebut
saja momen ini “waktu jeda”—sebelum mengembalikan kail kami ke aliran air sungai.
Dan biasanya, sambil menunggu untuk kedua kalinya, Ayah akan memintaku memijati
pundaknya lagi. Pola serupa akan terus berulang, hingga kami merasa puas
memancing doa-doa dan tenaga Ibu hari ini.
“Apa
kau tidak kelelahan saat memijati pundak ayahmu di kali kedua, atau setelahnya?”
kau bertanya.
Tentu
tidak. Karena, seperti yang barusan kujelaskan, ada “waktu jeda”.
***
Tapi aku sudah sangat kelelahan saat
memijati pundak Ayah untuk ketiga kalinya hari ini. Pasalnya, selama dua kali
“waktu jeda”, tak ada sedikit pun tenaga Ibu yang kumakan. Pasalnya, selama dua
kali “waktu jeda”, di kailku maupun kail Ayah tak ada tenaga Ibu yang
menyangkutkan diri sama sekali. Hanya doa-doa yang ada. Sampai-sampai Ayah yang
kupijati pundaknya pun kelelahan duduk menunggu.
“Apa
tenaga Ibu tak mau lagi menyangkutkan diri lagi ke kail kita?” ucapku pada
Ayah. “Apa kita tak bisa tinggal duduk menunggu lagi untuk mendapatkan tenaga
Ibu?”
“Atau,
Ibu tak punya tenaga untuk dialirkan di sungainya hari ini?” sahut Ayah.
Dugaan
siapa pun yang benar, tetap saja ini adalah situasi paling ganjil yang pernah
kami alami di tubuh Ibu.
“Apa
boleh aku berhenti memijati Ayah?” tanyaku. “Aku jadi lelah.”
“Apa
di sekitar sini kau ada melihat papan bertuliskan, ‘Silakan berhenti memijati
ayahmu jika kau lelah’?”
Beberapa
jenak kemudian, kail kami sudah penuh. Kami pun mengangkatnya, dan mendapati
lagi-lagi kail kami hanya dipenuhi oleh doa-doa.
“Sungguh
aneh,” komentar Ayah. “Kupikir sebaiknya kita berhenti memancing sekarang. Aku
sudah lelah.”
Kami
pun berkemas-kemas. Mendadak kudengar semak-semak di tepi seberang sungai
bergemerisik. Aku reflek menoleh ke sumber suara, dan kulihatlah dari balik
semak-semak itu muncul sesuatu yang panjang, berwarna keperakan, berbentuk
mirip pipa. Lubang dari sesuatu yang mirip pipa itu mengarah tepat ke Ayah.
“Apa
di sekitar sini kau adalah melihat papan bertuliskan, ‘Silakan berhenti
berkemas-kemas jika kau ingin bengong’?” tahu-tahu Ayah menegurku. Jelas ia tak
menyadari gemerisik semak-semak tadi serta sesuatu yang muncul dari balik sana.
Tiba-tiba
lubang dari sesuatu yang muncul dari balik semak-semak itu memuntahkan sebutir
peluru, diiringi suara ledakan yang mengiris gendang telinga. Rasanya belum
sempat Ayah menunjukkan ekspresi terkejut, tubuhnya yang tersambar peluru itu
sudah terlebih dahulu terpental. Cipratan darahnya mengenai air sungai, tanah,
tongkat pancing dan kail kami, tak ketinggalan tubuhku!
Aku
menjerit ketakutan. Ayah pula menjerit, namun bukan hanya karena ketakutan,
tentu juga karena kesakitan.
Sehabis
memandang luka tembak Ayah—di perutnya—yang mengerikan, aku langsung
mengalihkan pandangan ke seberang sungai, dan tampaklah seorang wanita berdiri perlahan-lahan
dari balik semak-semak itu, dengan sepucuk senapan di tangannya, dengan senyum
jahat di bibirnya, sebuah senyum paling jahat yang pernah aku lihat.
Hei!
Wanita itu adalah Ibu!
Tidak
mungkin!
Bagaimana
bisa ada Ibu di tubuh Ibu?!
“Hati-hati!”
teriak Ayah. “Itu adalah alter ego Ibu!”
“Apa
di sekitar sini kau adalah melihat papan bertuliskan, ‘Silakan memancing di
sungai sesuka hati’?” tanya Ibu-yang-di-seberang-sana.
Ayah
lalu perlahan bangkit dari tanah. “Tidak perlu ada papan bertuliskan apa pun agar
para lelaki dapat menerima haknya!”
“Apa
kau tahu, kau terlihat seperti apa sekarang?”Hening
sejenak. Ayah pasti tak tahu mesti menjawab apa.
“Kau
terlihat seperti antifeminis yang sebentar lagi akan pecah kepalanya.” Dan
Ibu-yang-di-seberang-sana pun menembak lagi, kali ini pelurunya mengenai kepala
Ayah.
***
Aku cepat-cepat melompat pergi dari tubuh
Ibu, meninggalkan mayat Ayah bersama Ibu-yang-lagi-satu di sana. “Bu!” pekikku,
kepada Ibu yang berbaring telanjang di kasur. “Kenapa Ibu tega membunuh Ayah?!”
Ibu
tampak terkejut mendengar pertanyaanku. “Jadi, benar bahwa ada aku-yang-lagi-satu
di tubuhku?”
Giliran
aku yang terkejut mendengar pertanyaan Ibu, lalu aku mengangguk pelan sebagai
jawaban untuk pertanyaan itu.
Ibu
pun cepat-cepat bangkit dari kasur dan menggandengku keluar dari rumah. Ya, kau
benar, Ibu keluar dari rumah tanpa mengenakan pakaian sama sekali. “Kita akan
pergi ke mana, Bu?” tanyaku, tapi Ibu tak menjawab; ia menggandengku memasuki
sebuah hutan berkabut yang terletak tak jauh dari rumah.
Kami
memasuki hutan berkabut itu semakin dalam, semakin dalam, dan semakin dalam. Tak
terasa, kami sudah berjalan selama satu hari penuh, tanpa istirahat sedikit
pun, hingga sampailah kami di tepi sebuah sungai yang terletak di dalam hutan
itu. Aku dan Ibu tak sendirian; ada banyak wanita telanjang yang memancing di
tepi sungai itu, bersama—sepertinya—anak-anak mereka, laki-laki maupun
perempuan.
“Jika
kalian berdua mau memancing di sini,” tiba-tiba terdengar ada yang berkata dari
arah samping kami, “aku akan memberikan alat-alat pancingku secara gratis
kepada kalian.”
Kami
menoleh ke sumber suara: seorang lelaki tampan—telanjang—yang berdiri di
samping sebuah keranjang berisi pelbagai perlengkapan memancing. Di samping
laki-laki itu berdirilah sebuah papan bertuliskan, “Silakan memancing hak-hak
kalian.”
*) Cerpen ini dimuat di Litera.co.id pada 24 Maret 2019.