Kedua manusia itu sungguh lucu. Maksudku,
si Ibu dan si Anak. Di meja makan, terdapat sepotong kue. Dan, mereka saling
mengalah untuk tidak memakannya.
Kelucuan
itu bermula dari dirayakannya ulang tahun si Bapak—tiga hari yang lalu—dengan
sebuah kue yang dipotong menjadi enam bagian sama besar—jadi, si Ibu, si Anak,
dan si Bapak masing-masing mendapat jatah dua potong kue.
Sebelum
berangkat ke kantor, si Bapak telah menghabiskan seluruh kue jatahnya. Si Anak
pun demikian sebelum berangkat ke sekolah. Tetapi, si Ibu hanya memakan satu
potong untuk sarapan, sementara sisanya, rencananya, akan ia makan nanti
malam—agar ia tak perlu makan nasi; agar program dietnya berhasil.
Sepulangnya
si Anak dari sekolah, ia mendapati sisa kue jatah si Ibu ketika membuka lemari
es. Si Ibu, di saat yang sama, mendapati si Anak sedang menatapi kue jatahnya
di lemari es, dengan raut wajah yang menunjukkan
bahwa ia sangat ingin memakannya. Kemudian si Anak menutup lemari es dan
berusaha untuk melupakan kue itu; bila ia memakannya, ia berpikir bahwa dirinya
begitu jahat kepada si
Ibu. Sementara itu,
si Ibu berpikir bahwa dirinya begitu berdosa jika tak menyerahkan sepotong kue
jatahnya kepada si Anak yang tampak begitu menginginkannya.
***
Usai makan malam tanpa si Bapak—yang
rupanya lembur hari itu—si Ibu mengeluarkanku dari lemari es. “Makanlah,”
ucapnya seraya meletakkanku di hadapan si Anak. “Tinggal satu potong lagi. Nanggung.”
“Tapi
ini bukan jatahku,” balas si Anak, pura-pura kurang senang. “Bukankah Ibu baru
makan sepotong?”
“Tapi
potongan terakhir ini untukmu.”
“Tidak.
Ini buat Ibu saja.” Si Anak merasa tergelitik oleh kebohongan dirinya sendiri.
Si
Ibu terdiam sejenak. Ia enggan merasa berdosa; karena itu, ia akhirnya berkata,
“Kalau begitu, biar Bapak yang memakan ini. Bukankah orang yang berulang tahun
berhak mendapat jatah lebih?”
Bapak tidak mungkin menolak jika ditawari
potongan terakhir ini, batin si Anak. Otaknya lalu berputar cepat.
“Berarti,
kue ini harus menunggu lama, kan, Bu? Apa kue ini tidak keburu
rusak?”
“Seharusnya,
sih, tidak jika disimpan di lemari es.”
Otak
si Anak berputar cepat lagi.
“Bu,
bagaimana kalau kue ini kita bagi jadi dua, lalu kita habiskan bersama?” Walaupun sedikit jahat, setidaknya aku tidak
jahat-jahat amat terhadap Ibu.
“Tidak
ada bagian untuk Bapak?”
“Kalau
dibagi tiga, Bu, pasti jadinya akan sangat kecil. Bukankah kita jadi tidak enak
terhadap Bapak jika cuma memberinya bagian yang sangat kecil, sehingga terkesan kita membagikan ampas saja?”
Tapi aku akan tetap merasa berdosa kalau
mengambil setengah dari keinginan
anakku. “Kalau begitu, kau bagi sepotong kue ini dengan Bapak saja.”
***
Pada pagi sepulangnya aku dari
kantor—setelah semalam lembur—kudapati istri dan anakku duduk berhadap-hadapan
di meja makan, dengan sepotong kue—kue ulang tahunku!—di antara mereka.
“I’m home!” ucapku sambil duduk di meja
makan.
Mereka
diam. Mereka diam. Seperti tak
menyadari kehadiranku di sini.
“Kalian
sudah selesai sarapan?” ucapku lagi.
Mereka
diam. Mereka diam. Seperti tak
menyadari bahwa ada suara yang memasuki lubang telinga mereka.
“Hei!
Kenapa kalian seperti patung?”
Mereka
diam. Mereka diam.
Baru
kusadari, cream di sepotong kue itu
sudah lumer—menjadi seperti kuah di piring—layaknya sudah berjam-jam dibiarkan
tidak di dalam lemari es.
“Kalau
kalian tidak berminat dengan sepotong kue itu, boleh aku memakannya?”
Mereka
diam. Mereka diam.
Ah!
Kenapa baru kusadari sekarang?! Mereka pasti seperti itu karena ingin
memberikanku kejutan lagi!
“Baiklah,”
kataku, pura-pura kesal. “Kalau kalian tidak mau bicara padaku, aku akan diam
di kamar dan tidur saja.”
***
Sebangunnya aku pada pukul 3 sore,
kudapati istri dan anakku masih duduk di meja makan, berhadap-hadapan, saling
diam. Kejutan macam apa yang akan mereka
persembahkan untukku? pikirku.
Ah,
tidak mungkin mereka bertahan dengan posisi seperti itu lebih dari satu jam!
Sebelumnya, pasti mereka dapat bergerak, hanya saja kembali ke posisi itu
ketika mendengar suara aku yang terbangun. Tapi, kuakui niat mereka yang besar.
(Pakaian yang melekat di tubuh mereka pun masih sama seperti yang mereka
kenakan ketika aku baru pulang dari kantor.)
Sepotong
kue itu masih berada di meja makan, di antara mereka.
“Aku
mandi dulu,” ucapku, pura-pura tak memedulikan apa yang mereka berdua perbuat.
***
Istri dan anakku sudah tak berada di
meja makan lagi sekeluarnya aku dari kamar mandi. Mereka menghilang entah ke
mana—kemungkinan besar mereka nanti akan muncul dari titik yang tidak terduga
untuk mengejutkanku, mungkin sambil meneriakkan, “Kejutan kedua!!!”
Dan,
sepotong kue itu masih berada di sana. Seperti
tadi. Hanya saja cream-nya tidak lagi
menjadi kuah di piring. Cream-nya
telah kembali melapisi tubuh kue itu, seakan kue tersebut baru beberapa detik
berada di luar lemari es.
Setelah
meletakkan handuk di jemuran, aku duduk di meja makan, menghadap sepotong kue
itu.
“Aku
makan kuenya, ya!” ucapku dengan lantang.
Tiba-tiba
ponselku berbunyi. Aku pun melangkah ke kamarku, meraih ponselku yang berbunyi,
menatap layarnya selama beberapa detik—Ah!
Kekasihku menelepon! Ia pasti mengajakku bertengkar lagi!—memutuskan
panggilan, mematikan ponsel, dan kembali ke hadapan sepotong kue itu.
Aku
pun memakan kue itu. Aku pun memakan kue
itu.
Aku
pun muntah di tempat. Aku pun muntah di
tempat.
“Hei!
Apa yang telah kalian campurkan ke kue ini?!” teriakku pada anak dan istriku
yang entah di mana. “Ini tidak lucu, tahu!”
Sekonyong-konyong
ingatlah aku akan rasa menjijikkan macam apa yang bersemayam di sepotong kue
itu.
“Jangan
kalian mengerjaiku seperti ini!” aku berteriak lagi kepada anak dan istriku—aku
begitu marah. “Sudah bagus aku mengizinkan kalian untuk bergentayangan di sini!
Sudah bagus pula aku masih menganggap kalian berdua sebagai bagian dari
keluargaku!”
Tak
ada jawaban dari siapa pun. Tak ada
jawaban dari siapa pun.
Mudah-mudahan,
pacarku yang sekarang tak perlu bernasib seperti anak dan istriku hanya
gara-gara kami bertengkar. (Mudah-mudahan pula aku sanggup mengendalikan diri
kali ini.) Sebab, aku tak ingin merasakan busuk darahnya di kue ulang tahunku
tahun depan!
*) Cerpen ini dimuat di Bali Post edisi 16 Juli 2017.