Aku ingin membunuh sang malaikat kematian. Malaikat itu merenggut nyawa Ayah saat
aku berusia tujuh tahun. Kala itu seharusnya Ayah bisa sembuh dari suatu
penyakit yang hinggap di jantungnya, kalau saja malaikat kematian tidak turut
campur dan tidak terburu-buru mencabut nyawanya. Aku yakin seharusnya Ayah
belum mati.
Aku ingin menghabisi sang malaikat
kematian. Berkat malaikat itu pula, adikku, saat aku berusia delapan tahun,
tewas akibat dipukuli oleh teman-teman sepermainannya—yang sebagian besar lebih
tua satu-dua tahun darinya—hanya karena dianggap melakukan kecurangan dalam
bermain petak umpet. Seharusnya Adik tidak mati, dan aku seharusnya bisa
menyelamatkannya, kalau saja sang malaikat kematian tidak buru-buru turut campur,
sehingga kini aku hanya memiliki dua orang adik.
Aku ingin mencingcang-cincang sang
malaikat kematian. Kini, ketika aku menginjak usia dua puluh enam tahun,
malaikat itu pasti sedang mencari kesempatan untuk mencabut nyawa Ibu,
mentang-mentang wanita itu hanya bisa tergeletak lemah di kasur sembari
mengerang kesakitan.
Aku ingin sang malaikat kematian
mati. Tapi bisakah pembawa kematian itu mengalami kematian?
***
Di
kantor, aku menerima telepon dari Imran, salah satu adik kandungku. Katanya
penyakit Ibu semakin parah lagi setelah baru saja kemarin semakin parah. Aku
dimintanya untuk segera menuju ke rumah sakit, sebagaimana Laksmi—adik
perempuanku—yang bekerja di kantor lain. Mudah saja aku minta izin pada Bos,
sebab sepertinya ia tahu bahwa sewaktu-waktu aku bakal harus meninggalkan
kantor karena ibuku.
Rupanya Laksmi telah tiba di rumah
sakit terlebih dahulu. Tangan adik perempuanku itu menggenggam erat tangan kiri
Ibu, sedangkan Imran menggenggam erat tangan kanannya. Sementara itu, sang
dokter, yang ditemani oleh dua orang perawat, sedang menyuntikkan suatu cairan
bening ke selang infus.
Sekonyong-konyong Ibu mengucapkan
sesuatu yang begitu lirih dan tak jelas dalam erangannya; tak satu pun dari
kami yang menangkap kalimatnya. Mudah-mudahan saja itu bukan salam perpisahan.
***
Aku
adalah tunggal. Namun aku bisa ada di banyak tempat dalam waktu yang bersamaan.
Tapi aku bukanlah Tuhan. Aku hanyalah ciptaanNya, sebagaimana para iblis, para
binatang, juga para manusia yang pada zaman ini mulai susah dibedakan dengan
kaum iblis maupun binatang-binatang yang buasnya bukan kepalang.
Setiap hari, partikel-partikel
tubuhku selalu berserakan di dunia ini, tiada lain sebab setiap hari ada saja
orang yang mati; baik karena memang ajalnya sudah tiba, maupun karena ajalnya
dipaksakan untuk tiba. Tugasku hanyalah membantu mereka semua untuk keluar dari
tubuh masing-masing. Untuk masalah “mencari jalan pulang ke sana”, itu urusan tersendiri buat
mereka; jika memang sudah waktunya mereka mati, pintu itu akan terlihat jelas oleh mereka; jika mereka mati sebelum
waktunya mati, pintu itu tak akan
pernah terlihat oleh mereka, kecuali sudah tiba waktu yang sesungguhnya bagi
mereka untuk mati.
Pernah suatu malam kudengar seorang
bocah laki-laki berusia delapan tahun mengatakan, “Kalau aku adalah malaikat
kematian, aku tidak akan mencabut nyawa Nenek supaya Nenek bisa terus bersama
kita.”
Itu adalah ketika salah satu
partikelku sedang menunggui seorang manusia sekarat—dengan bersembunyi di
kolong ranjang—yang disebut “Nenek” oleh bocah itu. Berdasarkan apa yang
tertera di catatanku, ajal wanita tua itu akan tiba tak lebih dari semenit
lagi.
“Tapi, kalau Nenek hidup terus,”
balas seorang bocah perempuan—tampak lebih tua dari si bocah laki-laki.
“bukankah itu berarti seumur hidup ia harus merasakan sakit?”
Si bocah laki-laki tak bisa menjawab
apa-apa.
Benarlah apa yang dikatakan oleh si
bocah perempuan; andai orang yang seharusnya mati tak kunjung kubuat mati, maka
mereka akan merasakan sakit—yang luar biasa hebatnya—seumur hidup.
Sesungguhnya, mematikan tubuh-tubuh yang seharusnya mati itu adalah upayaku
untuk menyelamatkan mereka.
Saat waktu hidup wanita tua itu
tinggal sembilan detik lagi, kurapalkan sederet mantra dengan lirih agar kedua
bocah itu tertidur. Saat waktu hidup wanita tua itu tinggal tiga detik lagi,
aku keluar dari kolong ranjang, dan menarik nyawa sang wanita ketika waktu
hidupnya telah habis menggunakan sabit pencabut nyawa yang menjadi properti
wajib bagiku.
Pernah pula salah satu partikelku
mendengar seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun meneriakkan, “Ayah
seharusnya belum mati! Malaikat kematian yang terlalu buru-buru mencabut
nyawanya!”
Itu adalah ketika baru saja kucabut
nyawa ayahnya yang memiliki masalah besar pada jantung. Sesungguhnya, kalimat
bocah laki-laki itu sungguh mengiris-iris.
Apa dikiranya aku senang memiliki kekuasaan-atas-kematian? Apa dikiranya aku
senang mencabut nyawa orang? Apa dikiranya hatiku tidak luka setiap melihat reaksi orang-orang yang teman, keluarga, atau
kekasihnya kumatikan? Tapi, ketahuilah, hatiku akan lebih luka lagi kalau membiarkan orang-orang sakit itu digerayangi oleh
rasa sakit secara terus-menerus—dan itu bisa saja kulakukan kalau aku mau.
***
Sekarang,
taklah lebih dari tiga menit hidup wanita paruh baya itu. Jarang benar kutemui
orang sekarat di rumah sakit yang tak ditemani oleh seorang pun, seperti wanita
tersebut. Di kamar ini hanya ada aku—sang malaikat kematian dengan sabit
pencabut nyawa—serta dirinya yang tergeletak tiada daya di atas kasur. Entah
kenapa, wanita paruh baya itu tak asing di mataku.
Sekonyong-konyong ada yang
menghantam samping kepalaku dari belakang, membikinku terjatuh ke lantai, dan
sabit pencabut nyawaku tergeletak tak jauh di sampingku.
“Imran! Laksmi! Lihatlah, malaikat
kematian datang!” teriak pria itu, sebatang kayu di tangan kanannya menunjuk
tepat ke wajahku.
Seorang perempuan dan seorang lelaki
keluar dari kamar mandi; mata mereka sembap, menandakan bahwa mereka habis
menangis, sebagaimana si pria yang menghantam kepalaku dari belakang.
Aku
tertipu oleh mereka … Mendadak aku teringat kenapa wanita paruh baya itu
tak asing di mataku, juga pria yang menghantam kepalaku, dan si perempuan dan
lelaki yang barusan keluar dari kamar mandi.
Pria itu menginjak dadaku dengan
kaki kanannya dan menghantamkan sebatang kayu itu ke pelipisku. “Kau tidak
boleh mencabut nyawa Ibu!”
“Semua yang sudah waktunya mati
haruslah mati,” bantahku, berusaha untuk tetap tenang.
Lagi-lagi sebatang kayu itu
dihantamkannya ke pelipisku. Si lelaki dan perempuan—yang dipanggil “Imran” dan
“Laksmi”—itu kini tersedu-sedan. Sementara itu, dari luar kamar, tepatnya dari
koridor rumah sakit, kudengar suara langkah kaki yang berderap cepat, mungkin
tiga orang, yang mengarah tepat ke kamar ini. Sial …
***
Mulut
malaikat kematian itu komat-kamit, entah mantra apa yang sedang dirapalkannya,
tidaklah terdengar jelas. Dengan gerakan cepat, kusambar sabit pencabut nyawa
yang tergeletak tak jauh darinya dan segera menghunjamkan ujung dari sabit
tersebut ke dadanya.
Laksmi dan Imran sontak menjerit,
sebagaimana tiga orang perawat yang baru saja membuka pintu kamar ini.
Mulut sang malaikat tak lagi komat-kamit.
“Kalian tidaklah perlu repot-repot
lagi untuk merawat orang sakit,” ucapku. “Orang-orang sakit itu tak bakal mati,
sebab malaikat kematian telah mati di tanganku.”
***
Jalan
di malam kelam itu akan melompong oleh makhluk hidup kalau saja bukan karena
keberadaan seorang lelaki yang berjalan amat lambat di pinggir jalan. Senyum
terkembang di bibirnya, sebab ia baru saja melakukan sesuatu yang amat
membuatnya senang. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengoyak kesunyian kelam
malam.
Menempellah ponsel ia punya di
telinganya, sampai ketika seorang preman yang muncul dari sebuah gang sempit
berlari ke arahnya dan merebut ponselnya. Lelaki itu sempat melawan, tetapi tak
ada lebih dari sepuluh detik, sebab sang preman telah menusuk-nusuk perutnya
dengan pisau sebanyak enam kali. Pada tusukan yang ketujuh, pisau itu melubangi
lehernya. Preman itu melarikan diri bersama ponsel yang berhasil direbutnya,
dan si lelaki terjatuh … namun tak mati.
Rupa-rupanya
hidup abadi tidaklah menyenangkan,
meski segelintir orang menginginkannya. Seharusnya aku tak usah membunuh
malaikat kematian, sehingga kini, aku yang dijilati luka tusuk, tak akan pernah
mengalami kematian, dan akan kesakitan selama-lamanya.
*Catatan:
1) Cerpen ini pernah dimuat di Bali Post, 23 Agustus 2015, dengan judul Matinya Malaikat.
2) Sumber gambar: https://masshar2000.files.wordpress.com/2015/06/wpid-malaikat2bmaut2bkunjungi2bmanusia2bsetiap2b212bmenit2bsekali.jpg