Seorang penyihir, melalui bola kristalnya, melihat si Kucing Kurus mencuri laut yang mengelilingi Pulau Mungkaka pada suatu malam yang sepi.
“Jangan
mengada-ada!” protes salah seorang dari puluhan nelayan yang sudah sedari tadi
berkerumun di depan gubuk penyihir itu. “Mana bisa seekor kucing mencuri
laut?!”
“Kalau
begitu kalian lihat saja sendiri,” sahut Nenek Podapoda, sang penyihir, dengan kesal
sembari mempersilakan para nelayan buat masuk ke gubuknya—yang terletak di tepi
sebuah hutan, tak jauh dari sebuah pantai yang bernama Dungadung.
Sang
penyihir pun memutar ulang citra yang tadi disaksikannya dari bola kristal kesayangannya.
Dan, para nelayan yang menyaksikannya pun terbelalak; secara ajaib,
laut yang mengelilingi pulau tempat mereka tinggal tersedot memasuki mulut si
Kucing Kurus. Kucing berambut sewarna cakrawala senja itu tak perlu menempelkan
mulutnya ke air laut; ia hanya perlu berdiri beberapa sentimeter dari bibir
pantai, kemudian seolah ada sebatang pipa transparan yang mengantarkan laut
memasuki mulutnya yang menyedot kuat. Tapi, kucing itu tetaplah kurus, meski begitu
banyaknya air laut yang ditelannya!
Beginilah
jadinya Pulau Mungkaka sekarang: laut yang mengelilinginya kering sehingga
pulau tersebut, jikalau dilihat dari atas, tampak melebar daratannya. Tumbuh-tumbuhan
laut dan hewan-hewan laut pun pada sekarat di habitat mereka yang dicuri,
lantas mati, dan dengan cepatnya membusuk. Tentu hewan-hewan laut yang sudah busuk
itu tak masalah buat dimakan oleh si Kucing Kurus, tetapi tak baik untuk
dimakan oleh manusia sehingga para nelayan di Pulau Mungkaka—yang pada tak mau
merugikan konsumennya—jadilah rugi teramat besar. Untuk tetap bisa memperoleh ikan
atau hewan-hewan laut yang lain, mereka mesti mendorong perahu ke laut yang
merupakan wilayah dari pulau lain, dan beraksi
di sana—sementara tindakan tersebut adalah tindakan yang melanggar hukum di
negara di mana Pulau Mungkaka berada.
Omong-omong,
kau tahu apa yang aneh? Air laut dari wilayah laut pulau lain sama sekali tak
ada yang mengalir ke wilayah laut-kering Pulau Mungkaka. Bahkan saat hujan
menyerbu pun, wilayah laut-kering Pulau Mungkaka tetap kering total, seolah
tiada setetes air hujan pun yang jatuh ke sana. Sungguh tak mematuhi hukum alam, bukan?
***
Sebelum si Kucing Kurus mencuri laut
Tak ada yang tahu pasti sejak kapan si
Kucing Kurus dilahirkan. Yang jelas, si Kucing Kurus adalah musuh utama bagi
para nelayan yang menetap di sepanjang Pantai Dungadung karena kucing tersebut kerap
mencuri ikan atau hewan-hewan laut lain hasil tangkapan mereka. Oleh sebab itu,
berkali-kali para nelayan di sana memburu si Kucing Kurus dengan senjata tajam
atau senapan di tangan, tetapi betapa cepat larinya sang kucing sehingga sulit
sekali dikenai serangan.
“Dia
lebih cepat dari peluru yang ditembakkan!” kata seseorang.
Namun,
suatu hari, salah seorang nelayan berhasil menembak kepala si Kucing Kurus sehabis
kucing itu mencuri ikan hasil tangkapannya. Tentu saja hewan yang ditembaknya
itu mati, dan para nelayan di sepanjang Pantai Dungadung pun senang, meski tak
bersenang-senang.
“Dia
tak lebih cepat dari peluru yang ditembakkan, kok.”
Keesokan
harinya, tak ada yang tak terkejut bukan main oleh karena si Kucing Kurus—yang
jasadnya telah dihanyutkan ke laut—tahu-tahu saja muncul di kediaman salah seorang
nelayan dan mencuri ikan lagi! Maka, tak ada jalan lain, para nelayan mesti memburu
si Kucing Kurus untuk yang kedua kalinya.
Beberapa
minggu kemudian, si Kucing Kurus berhasil dibunuh lagi, dengan cara yang sama
seperti sebelumnya, namun oleh nelayan yang berbeda. Dan, keesokan harinya, ia
ditemukan mencuri ikan lagi, dan tentu tak ada yang tak terkejut sebagaimana saat
kemunculan pascakematiannya yang pertama.
Kematian
si Kucing Kurus yang kedua pun lantas berlanjut pada kematiannya yang ketiga,
keempat, sampai kedelapan.
“Satu
kematian lagi, kucing itu akan mati untuk selama-lamanya,” ucap salah seorang
nelayan, penuh keyakinan.
“Bagaimana
kau bisa seyakin itu?” tanya nelayan yang lain.
“Apa
kau tidak pernah dengar kalau kucing punya sembilan nyawa?”
***
Sebelum nyawa kesembilannya melayang, si
Kucing Kurus sudah terlebih dahulu mencuri laut, dan laut di dalam perutnya itu
menambah kecepatannya berkali-kali lipat—sehingga ia semakin sulit dikenai
serangan—alih-alih membikinnya tambah gemuk.
***
Berita tentang “laut yang dicuri” dengan
cepatnya menyebar ke seluruh penjuru Pulau Mungkaka, bahkan sampai ke
pulau-pulau dan negara-negara lain. Di setiap koran juga acara berita di
televisi, “laut yang dicuri” selalu menjadi topik utama—satu paket dengan
“tentang si Kucing Kurus”. Sayangnya, upaya dari pemerintah untuk mengatasi masalah
tersebut tak kunjung tampak, atau memang tak kunjung dilakukan.
Entah
apa alasan si Kucing Kurus mencuri laut; banyak yang menduga bahwa kucing itu
ingin agar para nelayan yang memburunya berkali-kali jadi sengsara—meski
kesengsaraan itu merambat ke mana-mana—selain untuk memudahkan dirinya mencari
ikan atau hewan-hewan laut yang lain (yang pada mati kehabisan napas) tanpa
perlu mencuri. Dan, banyak pula yang menduga bahwa wilayah laut Pulau Mungkaka
akan kembali seperti semula jikalau si Kucing Kurus mati.
***
Nenek Podapoda, penyihir yang terkenal
dengan bola kristalnya itu, dijanjikan bayaran yang luar biasa nilainya oleh
orang-orang yang memohon agar ia bersedia beraksi
demi mencabut nyawa kesembilan si Kucing Kurus.
“Kami
semua begitu kewalahan mengejar kucing itu! Ia tambah cepat saja!” kata salah seorang
dari begitu banyak nelayan—kali ini bukan dari sepanjang Pantai Dungadung saja,
melainkan dari seluruh pantai di Pulau Mungkaka—yang menghampiri gubuknya.
“Persediaan
uang kami sudah tipis,” sambung yang lain, “gara-gara tak ada lagi hewan laut
tangkapan yang bisa dijual!”
“Kami
dan anak-anak kami jadi kelaparan!”
“Kami
yakin, cara terampuh untuk membunuh si Kucing Kurus hanyalah dengan ilmu
sihirmu!”
Nenek
Podapoda tersenyum tipis, tersemat kebanggaan di dadanya yang rata.
Apa
yang dilakukan oleh Nenek Podapoda kemudian adalah menanamkan tenung pada si
Kucing Kurus. Sayangnya, usaha tersebut gagal, entah kenapa. Maka dicobanya
lagi usaha yang serupa, dan serupa pula hasilnya, alias gagal. Lalu ia mencoba
lagi, lagi, dan lagi, untuk gagal lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya, ia pun
memutuskan untuk menggunakan jurus pamungkasnya.
***
Si Kucing Kurus yang sedang sibuk
mengoyak tubuh seekor ikan pada suatu malam di dekat bibir Pantai Dungadung
sontak dikejutkan oleh kehadiran sebuah bola api, seukuran dua kali bola
basket, yang terbang cepat ke arahnya. Hawa panas merambati udara di sekeliling
bola api tersebut. Dari balik jendela rumah masing-masing, para penduduk sekitar
menyaksikan jurus pamungkas Nenek Podapoda, yakni mengubah diri menjadi sebuah bola
api, dengan kekaguman yang hebat sekaligus ketakutan yang tak kalah hebatnya.
Si
Kucing Kurus, dengan kengeriannya sendiri, berlari dengan begitu cepatnya
menghindari bola api yang cepat pula lajunya.
***
Tanpa terasa, ternyata mereka berdua
telah memasuki wilayah kota. Tingkat keterangan wujud bola api Nenek Podapoda
mengalahkan lampu-lampu jalan apalagi bintang-bintang dan rembulan. Sejumlah
kendaraan yang melaju di jalan sontak berhenti karena seekor kucing dan sebuah
bola api melintas cepat memotong jalur mereka—melanggar peraturan lalu lintas.
Gang
demi gang dilewati sudah oleh si Kucing Kurus dan bola api Nenek Podapoda, sebagaimana
kompleks perumahan demi kompleks perumahan, gorong-gorong demi gorong-gorong,
bahkan atap gedung demi atap gedung—saking luar biasanya kecepatan lari si Kucing
Kurus, ia mampu berlari-tanpa-jatuh di bidang yang vertikal; Nenek Podapoda mudah
saja mengikuti karena wujud bola apinya selalu terbang.
Lagi-lagi
tanpa terasa, wilayah kota terlewati sudah. Si Kucing Kurus yang teramat cepat larinya
itu belum tersentuh wujud bola api Nenek Podapoda sama sekali. Dan kini di
depan si Kucing Kurus adalah jalan menuju bukit yang terjal.
***
Keesokan paginya, laut yang mengelilingi
Pulau Mungkaka telah kembali. Siapa pun yang mendapati kenyataan itu jadilah
terpana.
Nenek
Podapoda, yang entah sejak kapan berdiri di bawah sebatang pohon kelapa di Pantai
Dungadung, segera dikelilingi oleh para penduduk sekitar.
“Aku
berhasil membunuh kucing itu!” sang penyihir berkata dengan bangga. “Wujud bola
apiku berhasil menangkap dan membakarnya hingga mati!”
Semua
manusia yang berada di sekeliling penyihir itu pun bersorak gembira, kecuali
bayi-bayi, di gendongan para perempuan, yang tetaplah terlelap seolah suasana
begitu sunyi. Para pria dan anak-anak pun melakukan perayaan-spontan dengan
menceburkan diri ke laut, sedangkan para wanita sempat diam sesaat, sebelum beberapa
di antaranya, yang tidak sedang membawa bayi atau tidak sedang menstruasi, termasuk
Nenek Podapoda, akhirnya memutuskan untuk turut menceburkan diri ke laut.
Lalu,
sekonyong-konyong laut yang mengelilingi Pulau Mungkaka berubah menjadi kobaran
api! Mereka yang sedang berada di pelukan laut itu pun pada terbakar sembari
meraung-raung kesakitan, tak berbeda jauh dengan si Kucing Kurus yang, beberapa
saat lalu, digerogoti wujud bola api Nenek Podapoda—hingga nyawa kesembilannya
melayang.
Denpasar, 2016
*) Cerpen ini pernah dimuat di Bali Post pada tanggal 12 Juni 2016.