*Sumber Gambar: Pinterest
1/
Menurut orang-orang Desa Hitam, ada yang
lebih menakutkan ketimbang Tuan X, seorang pejabat dari kota: lukisan. Saking
menakutkannya lukisan bagi mereka, sampai-sampai mereka membakar tiap lukisan
yang ada di desa itu.
Kapankah Tuan X menjadi demikian
menakutkan, sehingga orang-orang desa memutuskan untuk membakarnya? pikirku secara iseng. Dan pikiran
isengku itu mendapat jawaban sehari kemudian.
2/
Pelukis itu, yang tidak pernah
memperkenalkan diri sehingga orang-orang menyebutnya Tuan Pelukis, datang ke
Desa Hitam dan menempati sebuah rumah kosong yang terletak di samping rumahku, sebuah
rumah yang pemiliknya, menurut desas-desus, dibunuh oleh orang-orang suruhan
Tuan X sekitar satu tahun lalu. Kedatangan Tuan Pelukis ke Desa Hitam adalah
tepat satu hari setelah pejabat dari kota itu, entah untuk keberapa kalinya, datang
dengan membawa sebuah pengumuman yang menakutkan. Dan, Tuan Pelukis umpama
sumber penawar rasa takut yang diakibatkan oleh pengumuman Tuan X.
Sesudah
Tuan Pelukis memasukkan barang-barangnya ke dalam rumah, ia langsung duduk di
depan rumahnya, menghadap kanvas yang disangga oleh standar lukis yang
membelakangi Gunung Hitam di kejauhan. Gerakan tangannya amat cepat saat ia
melukis—tentu yang ia lukis adalah Gunung Hitam. Dan, hasil akhir dari lukisan
naturalismenya itu langsung saja ia tunjukkan, hari itu juga, kepada
orang-orang desa yang entah sejak kapan telah mengerumuninya karena rasa
penasaran. Tak ada yang tak terkagum-kagum melihat keindahan lukisan itu,
termasuk “aku” di satu paragraf sebelumnya, sampai-sampai mereka melupakan ketakutan
yang ditimbulkan oleh pengumuman Tuan X kemarin.
Keesokan
harinya, orang-orang mendapati Tuan Pelukis duduk menghadap Sungai Hitam,
melukis sungai itu di kanvasnya. Dan besoknya ia melukis Hutan Hitam. Lalu
besoknya Danau Hitam. Lalu besoknya Padang Hitam. Lalu besoknya Sawah Hitam.
Lalu besoknya Peternakan Hitam. Lalu besoknya ....
Karena
seluruh orang Desa Hitam menyukai lukisan-lukisan indah yang dibuatnya, Tuan
Pelukis pun memutuskan untuk memajang seluruh lukisan pemandangan Desa Hitam di
ruang tamunya, dan ia selalu membiarkan ruang itu tak terkunci setiap waktu,
dari pagi hingga pagi lagi, sehingga siapa pun bebas menghibur diri dengan
memandangi lukisan-lukisan tersebut—yang tak boleh disentuh apalagi dibawa keluar.
Di
lain sisi, mata-mata Tuan X yang bermukim di Desa Hitam melaporkan, kepada
tuannya, soal keberadaan lukisan-lukisan naturalisme karya Tuan Pelukis yang
mampu menghilangkan rasa takut akibat pengumuman yang mengerikan itu. Tentu
Tuan X jadi murka karenanya, karena ketakutan orang-orang Desa Hitam adalah,
secara tak langsung, sumber uang yang semestinya bisa ia keruk seumur hidup.
3/
Orang-orang sedang menikmati
lukisan-lukisan Tuan Pelukis pada suatu pagi, yang secerah pagi-pagi di pembuka
dongeng anak-anak, ketika Tuan X, secara mengejutkan, tahu-tahu memasuki ruang
tamu itu. “Aku ingin bertemu dengan Tuan Pelukis,” ucapnya dengan tegas.
Langsung
saja sebuah pintu, yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang tengah, terbuka,
menampakkan diri Tuan Pelukis. Dari gaya berpakaiannya yang elit, Tuan Pelukis
langsung mengetahui bahwa itu adalah Tuan X, seorang pejabat dari kota yang
citra buruknya sudah ia dengar dari sejumlah orang Desa Hitam.
“Jadi,
kaulah Tuan Pelukis yang terkenal itu?” kata Tuan X, dengan keramahan yang
tiba-tiba. “Aku perlu membicarakan sesuatu denganmu. Berdua saja.”
Tuan
Pelukis, yang semula ragu-ragu, akhirnya mengangguk.
Orang-orang
yang ada di ruang tamu pun berusaha mendengarkan apa yang dibicarakan Tuan X
kepada Tuan Pelukis di ruang tengah yang terkunci, namun tak ada sesuatu pun
yang dapat mereka dengar; yang jelas, barang setengah jam kemudian, Tuan X
keluar dari ruang tengah itu dengan mulut terus menghamburkan sumpah-serapah.
4/
Tuan Pelukis duduk menghadap kanvas yang
membelakangi Kebun Hitam pada pagi keesokan harinya, tepatnya ia duduk di balik
pagar rendah kebun yang masih “setengah dewasa”—maksudnya, kebun yang belum ada
satu pun pohonnya yang sudah menghasilkan buah—tersebut, sehingga lukisan Tuan
Pelukis hanya diisi oleh empat warna: hijau dari dedaunan dan rumput, cokelat
dari batang-batang pohon, putih dari awan-gemawan, dan biru dari langit yang
melatari awan-gemawan itu. Padahal, menurutku, lukisan Tuan Pelukis akan lebih
bagus andaikan ada warna merah di sana, warna yang berasal dari buah-buah yang
sudah tumbuh dan matang—ah, kenapa ia tak memilih melukis kebun yang “lebih
dewasa”?
Tiba-tiba,
tepat dari arah Kebun Hitam, meluncurlah dua anak panah yang kemudian menancap
tepat di kedua mata Tuan Pelukis! Kedua anak panah menancap tak terlalu dalam,
setidaknya tak sampai menembus otak Tuan Pelukis, sehingga ia masih hidup dan
bisa menjerit-jerit kesakitan. Palet dan kuas terjatuh dari tangan Tuan Pelukis
kala kedua tangannya itu berusaha mencabut anak-anak panah di matanya. Sejauh
ini, orang-orang Desa Hitam di sekeliling—yang tentu saja menunggu hasil akhir
lukisannya—tak ada yang menjerit; mereka tampak terlalu terpana. Mereka baru
mulai menjerit-jerit, lebih keras dari jerit kesakitan Tuan Pelukis, saat kedua
tangan Tuan Pelukis berhasil mencabut kedua anak panah itu. Kedua mata Tuan
Pelukis rupanya turut tercabut karena tersangkut pada mata anak-anak panah,
sehingga kedua rongga mata itu kosong, dan darah dari sana langsung memuncrati
lukisannya yang, semestinya, hanya diisi oleh warna hijau, cokelat, putih, dan
biru, yang menurut “aku” di satu paragraf sebelumnya akan lebih bagus andaikan
berisi warna merah dari buah-buah yang sudah tumbuh dan matang.
5/
“Tuan Pelukis sudah tidak mungkin bisa
melihat kembali,” begitulah pernyataan sang tabib, pernyataan yang sudah
diketahui orang-orang Desa Hitam bahkan sebelum dinyatakan.
Sebelum
sang tabib mengeluarkan penyataannya, orang-orang Desa Hitam sudah membuat pembagian
jadwal untuk merawat lukisan-lukisan naturalisme Tuan Pelukis, setiap harinya
dilakukan oleh beberapa orang yang berbeda—mereka yakin, selain tak bisa
melukis lagi, Tuan Pelukis tak akan bisa merawat lukisan-lukisannya yang indah dan
begitu penting itu.
Perihal
pelaku kejahatan terhadap Tuan Pelukis, tak ada seorang penduduk Desa Hitam pun
yang tahu, termasuk mata-mata Tuan X yang tinggal di sana. Dan, mudah ditebak,
pejabat dari kota itulah yang dijadikan tersangka utama.
6/
Setelah sekian lama, Tuan Pelukis
dipulangkan dari kediaman sang tabib; Tuan Pelukis dianggap sudah cukup layak
untuk kembali menjalani hidupnya secara mandiri, setelah ia diajarkan untuk
beraktivitas normal tanpa mata oleh seorang pelatih yang dianggap amat mumpuni dalam
hal beraktivitas tanpa melihat—ia adalah bekas pemain akrobat.
Tuan
Pelukis bahkan sudah bisa merawat lukisan-lukisannya sendiri, sehingga pembagian
jadwal perawatan yang dibuat orang-orang Desa Hitam tak perlu lagi diterapkan. Namun,
untuk melukis, ia tak bisa semandiri dulu lagi; ia memerlukan aku untuk
mendeskripsikan apa yang ada di hadapannya sedetail mungkin. Jadi, ia
melukiskan apa yang ada di hadapannya sesuai interpretasinya terhadap
kata-kataku. Meski kemiripan antara hasil akhir lukisannya dan apa yang dihadapinya
terbilang agak jauh, tetap saja kami semua berhasil dibuat terkagum-kagum.
Perihal
kenapa Tuan Pelukis memercayai aku untuk mendeskripsikan apa yang ada di
hadapannya secara detail, itu lain cerita—tak penting untuk kuceritakan di
sini. Yang penting untuk kuceritakan adalah kisah tentang seorang pelacur yang
pada suatu malam tahu-tahu saja datang ke gubuk tempatku tinggal, dan berjanji memberikanku
pelayanannya yang paling prima secara … “Kau tidak perlu mengeluarkan uang
sepeser pun,” kata pelacur itu, yang kuterjemahkan sebagai “gratis”—tapi aku
salah besar, sebesar sepasang payudaranya!
Si
Pelacur datang ke gubukku beberapa jam setelah aku membantu Tuan Pelukis untuk
menyelesaikan lukisan senjanya—lukisan itu adalah lukisan keempat yang ia
selesaikan setelah buta, dan keempat lukisan tersebut cukuplah untuk membuatku
diakui orang-orang sebagai orang yang berjasa besar di balik keindahan
lukisan-lukisan terbaru Tuan Pelukis. Si Pelacur mengaku terpaksa mengungsi ke
gubukku karena tempat prostitusi di mana ia bekerja sekaligus tinggal—yang
berjarak jauh dari sini—barusan diserbu-dibakar oleh sepasukan manusia agamis.
Waktu itu aku tak terpikir untuk menanyakan alasannya memilih gubukku ketimbang
tempat-tempat tinggal lainnya yang lebih bagus di desa ini; aku langsung
menerimanya dengan senang hati, dengan harapan mendapatkan tubuhnya.
“Kau
serius? Aku tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun?” tanyaku, meyakinkan apa
yang kudengar darinya barusan.
“Aku
serius. Tapi … hmm … kau tahu BDSM?”
Karena
aku tidak tahu, maka ia menjelaskannya dengan detail, sampai aku paham betul
dan tertarik betul, dan mulailah ia mengikat sekujur tubuhku dan menutup
mataku.
Setelahnya,
tak ada persetubuhan sama sekali; si Pelacur malah memotong lidah Lelaki
Penghuni Gubuk menggunakan parang yang ditemukannya di sudut gubuk itu!
(Setelahnya,
si Pelacur menghilang tanpa jejak dari Desa Hitam.)
7/
Sepotong lidah ditemukan terpaku di
pintu ruang tamu rumah Tuan Pelukis.
Orang-orang
Desa Hitam merasa tertipu; mereka pikir, dengan menjaga ketat Tuan Pelukis
saban melukis, tak akan ada serangan berupa apa pun lagi yang dapat mengganggu
kreativitasnya. Mereka pikir, gangguan selanjutnya—setelah dua anak panah yang
ditembakkan ke sepasang mata Tuan Pelukis—adalah dua anak panah yang ditembakkan
dari dua arah, mengincar kedua telinga Tuan Pelukis.
8/
Dua bulan lamanya Tuan Pelukis tak
melukis lagi—untungnya, selama masa itu Tuan X tidak ada berkunjung ke desa
kami—hingga akhirnya ia mendapatkan orang lain yang bisa dipercayainya sebagai
pendamping saat melukis. Pendamping baru Tuan Pelukis adalah seorang wanita
yang cukup dikenal di desa kami, sebab ia adalah seorang guru bahasa di Sekolah
Desa. Kami berasumsi, hasil akhir lukisan Tuan Pelukis akan jadi jauh lebih
mirip dengan pemandangan-yang-sesungguhnya, tentu karena keakuratan deskripsi
si Guru Bahasa semestinya jauh lebih baik ketimbang Lelaki Penghuni Gubuk, yang
setahu kami tak pernah mendapatkan pendidikan bahasa, bahkan tak pernah bersekolah.
Tak
ada yang diberi tahu bagaimana bisa si Guru Bahasa dipilih oleh Tuan Pelukis
sebagai pendamping, tapi kami mereka-reka hal itu ada hubungannya dengan kejadian
sebulan lalu, yaitu saat si Guru Bahasa, mewakili sekolah tempatnya mengajar,
mendatangi kediaman Tuan Pelukis khusus untuk menggaetnya sebagai guru lukis di
Sekolah Desa—tapi Tuan Pelukis menolak karena merasa kemampuannya dalam melukis
masih terlalu lemah.
Besok
adalah hari di mana si Guru Bahasa, untuk pertama kalinya, akan membantu Tuan
Pelukis dengan mendeskripsikan Jurang Hitam yang akan dilukisnya.
9/
“Sebaiknya kalian pergi,” kata si Guru
Bahasa kepada orang-orang yang hendak mengerumuni Tuan Pelukis di tepi Jurang
Hitam. “Toh, kalian akan bisa melihat hasil akhirnya nanti di ruang tamu Tuan
Pelukis.”
Mereka
yang diusir tentu keberatan, begitu pula Tuan Pelukis, yang meminta si Guru
Bahasa untuk membiarkan orang-orang itu mengerumuninya. Lalu si Guru Bahasa,
dengan kesal, membalas, “Kalau ramai seperti ini, saya tidak bisa
berkonsentrasi untuk mendeskripsikan-secara-detail pemandangan yang saya
lihat.”
Dan
orang-orang itu pun langsung setuju untuk pergi.
10/
Selagi si Guru Bahasa dan Tuan Pelukis
sibuk di tepi Jurang Hitam, orang-orang menunggu dengan tak sabar di ruang tamu
Tuan Pelukis selama berjam-jam, dari pagi hingga pukul 11 malam, hingga
akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dan beristirahat, tanpa melihat hasil
akhir dari lukisan Jurang Hitam hari itu, sebab si Guru Bahasa dan Tuan Pelukis
belum juga kembali.
Beberapa
jam kemudian, ketika pagi masih gelap, orang-orang yang tak sabaran itu sudah
berbodong-bondong menuju ruang tamu Tuan Pelukis; mereka yakin, lukisan Jurang
Hitam sudah selesai dan dipajang di ruang tamu itu setidaknya beberapa menit
sebelum mereka mulai datang berbondong-bondong, sebab Tuan Pelukis tak pernah
belum menyelesaikan lukisannya lebih dari 24 jam.
Begitu
mereka tiba di ruang tamu Tuan Pelukis, mereka tak menemukan lukisan Jurang
Hitam yang dipajang di antara relatif banyak lukisan naturalisme lainnya. Namun
mereka melihat sebuah lukisan yang kemarin tak ada di sana; bukan lukisan
naturalisme, melainkan lukisan surealisme.
Lukisan
surealisme itu membuat mereka bergidik ngeri ....
11/
Seorang wanita yang telanjang. Tampak
berusia 30 tahun. Sekujur kulitnya berwarna abu-abu. Ia sedang hamil besar. Di
perutnya itu tampaklah mulut, hidung, sepasang mata dan alis, dengan tata letak
yang persis komposisi wajah manusia normal. Dan di tempat di mana semestinya
wajah terletak, kita tak melihat apa-apa selain pusar tepat di titik tengahnya.
Yang paling mengerikan: selama memandangi lukisan itu, di dalam kepala kita masing-masing
akan terdengar jeritan pilu, dan entah kenapa kita tahu bahwa jeritan tersebut
adalah jeritan sang wanita dalam lukisan surealisme Tuan Pelukis.
12/
Si Guru Bahasa tak pernah lagi terlihat
di Sekolah Desa maupun sekujur Desa Hitam.
13/
Tuan Pelukis tak pernah lagi melukis
setelah itu. Atau, ia hanya tak pernah menunjukkan diri di ruang tamu maupun
dunia luar, tapi tetap melukis di dalam sana—entah di ruang tengah, atau di kamar
tidur, atau di ruang lainnya.
14/
Orang-orang yang pernah melihat lukisan
surealisme itu jadi kerap diserang mimpi-mimpi buruk saban tidur. Saking
buruknya mimpi-mimpi itu, sampai-sampai beberapa dari mereka memutuskan untuk
tidak tidur, meski sempat saja ketiduran karena tak kuat menahan kantuk.
Beruntunglah
orang-orang yang belum sempat melihat lukisan surealisme itu. Dan mereka yang
belum sempat melihatnya berkali-kali disarankan untuk tidak usah melihatnya,
tapi siapakah yang tak penasaran dengan karya lukis Tuan Pelukis?
15/
Kau tidak tahu mimpi buruk macam apa
yang menyerang istrimu semalam. Yang jelas, kau yakin bahwa mimpi buruk itulah
yang menyebabkannya tiba-tiba terbangun sambil menjerit, berlari ke dapur,
meraih sebilah pisau, dan merobek lehernya sendiri.
Dan
beberapa hari kemudian, beberapa orang tetanggamu bunuh diri pula setelah
terbangun sambil menjerit. Ada yang mati dengan merobek leher sendiri
menggunakan pisau pula—ah, ia adalah mantan kekasihmu—ada yang mati dengan menelan
peniti sebanyak-banyaknya, ada yang mati dengan membuat diri ditendang kuda
pelihara sendiri berkali-kali, ada yang mati dengan menguliti beberapa bagian
tubuh sendiri sebelum menyerahkan diri pada anjing-anjing hutan, bahkan ada
yang mati dengan memasukkan peledak ke anus sendiri.
Sebelum
semakin banyak orang yang bunuh diri, kau pun mengajak orang-orang lain untuk mendatangi
ruang tamu Tuan Pelukis dan meminta pelukis itu untuk mempertanggungjawabkan
lukisan surealismenya yang mengerikan. “Kalau Tuan Pelukis tidak bisa kita
temui, kita ambil lukisan itu dan bakar!” teriakmu.
Tuan
Pelukis tidak terlihat di ruang tamu. Maka kau menggedor pintu ruang tengahnya.
Sebab Tuan Pelukis tak juga muncul, kau pun hendak berteriak, “Kita bakar saja
lukisan itu!” Tapi sebelum kau sempat berteriak demikian, salah seorang di
kerumunanmu telah lebih dulu mengatakan, “Apa hanya aku yang baru menyadari ini?”
dengan suara bergetar.
“Apa?
Menyadari apa?” tanyamu.
“Lukisan
menyeramkan itu ....” sahutnya terbata-bata, kemudian menunjuk ke arah lukisan
yang dimaksud.
Dan
kau dan yang lainnya pun segera menyadari bahwa perut wanita di lukisan
surealisme itu terlihat rata. Ke mana kandungannya? Dan kau dan yang lainnya
pun segera memutuskan untuk tak memikirkan keanehan itu lebih lama lagi. Dan
kau dan yang lainnya pun segera melepas lukisan menyeramkan itu dari dinding,
membawanya ke area pemakaman, lantas membakarnya di sana. (Kau dan yang lainnya
pun kurang mengerti, kenapa kalian reflek memilih area pemakaman sebagai tempat
pembakaran lukisan tersebut.)
16/
Tak ada siapa-siapa di ruang tamu Tuan
Pelukis. Namun kau, yang tak berada di sana sebab hanya seorang pembaca,
sayup-sayup mulai mendengar tangisan beberapa orang bayi, tanpa bisa melihat
sumber tangisan itu.
17/
Tuan X datang ke Desa Hitam sehari
sesudah lukisan surealisme itu dibakar di area pemakaman. (Entah kapan terakhir
kali pejabat dari kota itu datang, tak ada yang ingat pasti, yang jelas sudah
agak lama.) Ia datang, seperti biasa, untuk menyampaikan pengumuman menakutkan
seputar sejumlah kebijakan baru dari pemerintah—pengumuman kali ini benar-benar
menakutkan.
Semua
orang Desa Hitam yang mendengar pengumuman menakutkan itu segeralah berbondong
menuju ruang tamu Tuan Pelukis, tentu untuk membahagiakan diri dengan
memandangi keindahan lukisan-lukisan naturalisme di sana. Padahal, sebelumnya,
tak sedikit orang Desa Hitam yang memutuskan untuk tak akan berkunjung lagi ke
ruang tamu itu, meskipun tak ada lagi lukisan surealisme yang menyeramkan,
sebab berfirasat—tanpa latar belakang yang terlalu jelas—bahwa aura buruk akan
tetap berada di sana.
Perihal
firasat itu, mereka membicarakannya di tempat-tempat tongkrongan, dan mata-mata
Tuan X mendengarnya, lalu melaporkannya pada Tuan X, dan mulailah pejabat dari
kota itu memikirkan cara agar orang-orang Desa Hitam tetap rutin mendatangi
ruang tamu Tuan Pelukis.
18/
Orang-orang terkunci di ruang tamu Tuan Pelukis.
Orang-orang mendengar tangisan para bayi di ruang tamu Tuan Pelukis. Orang-orang
menyaksikan bayi-bayi muncul dari balik pohon di lukisan Hutan Hitam.
Orang-orang menyaksikan bayi-bayi muncul ke permukaan danau di lukisan Danau
Hitam. Orang-orang menyaksikan bayi-bayi menampakkan diri dari balik rumput di
lukisan Padang Hitam, Sawah Hitam, dan Peternakan Hitam. Orang-orang
menyaksikan ....
19/
Tuan X. “Halo, Bos, sebentar lagi misi
kita di Desa Hitam akan selesai.”
Majikan
Tuan X. “Apa orang-orang Desa Hitam sudah menandatangani dokumen itu?”
Tuan
X. “Belum. Tapi sebentar lagi, saking takutnya mereka dengan apa yang mereka
hadapi, dokumen itu pasti akan mereka tanda tangani.”
Majikan
Tuan X. “Bagus. Aku tahu kau memang tidak akan mengecewakanku.”
Tuan
X. “Tentu saja.”
Majikan
Tuan X pun menutup telepon.
Majikan
Tuan X, kepada sekretaris di kantornya. “Kita sudah tidak memerlukan dia lagi.”
Sekretaris
Majikan Tuan X. “Dia siapa?”
Majikan
Tuan X. “Dia yang aku tugaskan di Desa Hitam.”
Sekretaris
Majikan Tuan X. “Jadi, saya mesti melakukan hal yang biasanya kepada dia?”
Majikan
Tuan X. “Tentu saja. Semoga dia baik-baik saja di Desa Hitam.”
20/
Malam. Hujan. Badai.
Tuan
Pelukis berjalan melintasi Hutan Hitam. Bayi-bayi muncul dari balik pohon dan
merangkak mengikutinya.
Tuan
Pelukis berjalan melintasi Danau Hitam. Bayi-bayi muncul ke permukaan danau dan
merangkak mengikutinya.
Tuan
Pelukis berjalan melintasi Padang Hitam, Sawah Hitam, Peternakan Hitam, dan
.... Bayi-bayi muncul dari persembunyian masing-masing dan merangkak
mengikutinya.
Tuan
Pelukis melangkah meninggalkan Desa Hitam bersama bayi-bayi itu saat, dari
kejauhan, terdengar jerit kesakitan Tuan X.
*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada November 2018.