Rabu, 17 Juli 2024

INTUISI CALON KORBAN -- Sebuah Cerpen


*Sumber Gambar: Basabasi.co



Wanita baik mendengarkan para lelaki; wanita jahat mendengarkan intuisi sendiri.

Kantung sampah di pundakku mendadak jebol, pakaian-pakaian kotorku terhambur ke aspal dengan genangan air, ketika dari depan gang terdengar seorang pria berkata, “Bisa saya bantu?” Aku langsung tahu: ia tak hendak membantu. Tak ada pria yang hendak membantu seorang wanita asing pada pukul dua pagi, di sebuah gang sempit. Intuisiku otomatis menggarisbawahi salah satu tanda dari pria yang tak akan membantu wanita.

Pertanda pertama: Ia menawarkan bantuan di waktu yang seolah terlalu tepat.

Mungkin ia telah memantauku sejak taksi menurunkanku di depan gang sempit ini. Mungkin ia telah menganalisa kelayakanku sebagai mangsa. Pada dasarnya, seorang wanita yang sendirian menyeret koper dan menyampirkan kantung sampah berisi penuh di pundak adalah mangsa empuk untuk ditawarkan bantuan—terlebih rok kremku hanya selutut.

Dan ia mendekat, setenang pria ramah pada umumnya. Lampu jalan bercahaya pucat, yang dikepung kawanan laron, membuat wajah pria itu tenggelam dalam bayangan lidah topi hitamnya. Sweternya hitam, celana panjangnya hitam, dan sandal jepitnya berkecipak tiap menginjak bagian aspal yang tergenang air. Aku ingin berteriak, tapi kerongkonganku masih panas dan perih setelah dua hari tanpa henti meneriakkan kata-kata kotor pada mantan pacarku. Suara serak akan membuatku tampak semakin lemah, semakin ideal untuk ditawarkan bantuan.

Di kiri-kananku tak lain dinding bagian belakang rumah-rumah dan warung-warung tutup yang tak bisa kupanjat. Rumah kontrakanku tepat di belokan sana, lampu berandanya terlihat jelas, pun kawanan laron yang mengerumuninya. Aku hanya perlu berjalan setengah menit lagi memasuki gang ini lebih dalam untuk mencapai rumah—tapi pria itu sudah keburu memungut pakaian-pakaian kotorku hingga memenuhi pelukannya; bra merahku menggelantung di siku kanannya.

Pertanda kedua: Ia memberikan bantuan tanpa persetujuan—dan kelak meminta imbalan.

“Aku bisa bawa semua sendiri,” kataku, cepat-cepat memungut tiga kaus basah yang tersisa di aspal dan menyambar braku yang menggelantung di siku kanannya.

“Jangan sungkan,” balasnya. “Walau lenganmu besar seperti pria, saya yakin kau butuh bantuan.”

“Rumahku sudah dekat. Kau bisa melihat lampunya.”

“Tolong jangan sungkan.”

Pertanda ketiga: Ia tidak menerima penolakan.

Jika aku menolaknya secara lebih kasar, ia bisa menjambak dan membentur-benturkan kepalaku ke dinding. Jika aku berlari ke rumah, ia bisa menangkap dan menjambakku dan membentur-benturkan kepalaku ke dinding. Aku hanya setinggi dadanya, di balik sweter tampak jelas lengan-lengannya kekar dan mengancam—ideal untuk membentur-benturkan kepala siapa pun ke dinding.

“Omong-omong,” lanjutnya, “kebetulan saya hendak melewati rumahmu. Saya harus ke rumah Paman. Ia sedang pulang kampung dan saya harus memberi makan ikannya—tapi saya tak sengaja ketiduran tadi. Yah, pekerjaan saya melelahkan. Ditambah lagi bos saya suka memberi banyak tugas.”

Pertanda keempat: Ia menjabarkan terlalu banyak detail.

Untuk apa ia menjelaskan soal pekerjaan dan bosnya? Pembohong akan selalu merasa perkataannya sulit dipercaya, sehingga ia menambahkan detail-detail tertentu—yang biasanya tak penting—untuk menciptakan kesan lebih realistis.

“Kenapa kau diam?” tanyanya.

“Suaraku serak.”

“Sangat serak. Hampir seperti suara pria. Cepat—sepertinya akan hujan, nanti kita sakit.”

Pertanda kelima: Ia memosisikan diri seolah ia dan mangsanya berada dalam satu tim dengan menggunakan kata kita.

Pertanda keenam: Ia menunjukkan lima pertanda dalam kurang dari lima menit.

Tidak diragukan lagi, ia pria berbahaya. Ia pria yang menunduk bukan untuk menangis karena menyesal, apalagi untuk berdoa; ia pria yang menunduk hanya untuk menyembunyikan wajah, atau menjilat kemaluan korbannya.

Tetapi aku sudah masuk perangkap. Ia sudah membawa pakaian-pakaian kotorku. Hal yang bisa kulakukan hanya berjalan ke rumah, membiarkannya mengikutiku, dan berharap akan ada tetangga yang kebetulan berpapasan denganku. Sialnya, gerimis turun, angin seperti butir-butir es di kulit, dan dalam situasi begini tak akan ada yang keluar dari rumah untuk berpapasan denganku.

Kami tiba di depan gerbang. Tak terdengar suara apa pun dari rumah para tetangga yang berbaris di sebelah kanan rumahku. Angin mengibarkan rokku, membuatku refleks merapatkan kedua paha. Aku membuka gembok, dan gerimis seketika menjadi hujan deras.

“Boleh saya duduk di beranda sampai hujan mereda?” ucapnya. “Hanya di beranda. Janji.”

Pertanda ketujuh: Ia meminta imbalan sekaligus memberikan janji tanpa diminta.

Karena telah membawakan pakaian-pakaian kotorku, ia pikir aku akan ragu untuk menolak permintaannya: inilah imbalan yang ia harapkan—sebelum menuntut imbalan yang lebih besar—dan untuk meyakinkanku bahwa imbalannya tak seberapa, ia menyertakan janji di akhir kalimat. Aku tak ragu untuk menolak. Aku tak takut menjadi wanita jahat. Tapi, aku takut ia mencekik leherku dan tak ada seorang lain pun yang lewat. Ia menggiringku memasuki jebakan lebih dalam.

Untungnya aku sudah memikirkan cara lain untuk selamat. Setelah tiga tahun berhubungan dengan mantan pacar, aku tahu kapan saatnya memakai cara lain untuk selamat—itu kenapa aku berhasil pergi dari rumahnya hari ini.

Pria itu mengikutiku melintasi halaman berlapis kerikil, menuju beranda berlapis sayap-sayap laron yang rontok. Saat kubuka kunci pintu depan, ia meletakkan seluruh pakaian kotorku di kursi kayu beranda—tentu untuk lebih mudah menyerang. Dari pantulan kaca jendela di samping pintu, kudapati ia menatap lekat wajahku; ternyata ia lumayan muda, mungkin dua puluhan awal; samar-samar kutangkap aroma alkohol. Aku pun membuka pintu ruang depan. Nanti, ia pasti mencari-cari alasan untuk memasuki ruang dalam.

“Saya akan duduk di sini,” kata pria itu. “Kalau kau curiga pada saya, silakan kunci pintu. Saya akan pergi sendiri dan menutup gerbang jika hujan mereda.”

Tunggu. Ini di luar prediksiku. Kenapa ia tak berusaha masuk?

“Baik,” jawabku.

Aku meletakkan koper di samping meja ruang depan, lalu memindahkan tumpukan baju dari kursi beranda ke sofa, dan mengunci pintu sambil bernapas lega. Dari celah gorden, tampak pria itu duduk di kursi beranda dan menyulut rokok. Semua sepertinya aman. Aku menyalakan lampu demi lampu.

Di depan wastafel dapur, aku melepas wig, membasuh wajah dan ubun-ubun, dan menyekanya dengan bagian perut bajuku. Meski tak terdengar tanda-tanda bahwa pria itu berusaha masuk, aku tak boleh lengah: kuselipkan pisau dapur ke belakang pinggang rokku.

Agar lebih aman, aku menelepon polisi—meski benci berurusan dengan polisi. Kulaporkan bahwa ada pria asing yang membuntutiku, dan kini berdiam di beranda, dan kuucapkan alamatku.

“Maaf,” balas polisi di seberang telepon, “Anda seorang wanita?”

“Tentu .… Apa maksud dari pertanyaan itu?”

Sang polisi pun mengatakan bahwa akan ada yang segera menuju rumahku, sebelum mengakhiri panggilan.

Dan terdengar hujan mereda, kembali ke gerimis. Aku memakai kembali wig dan mengintip ke beranda lewat jendela di samping pintu: pria itu tak tampak di mana pun. Gerbang tertutup. Apa pria itu sudah pergi? Apa intuisiku sejauh ini salah? Mungkin pria itu memang mengerikan, tapi tidak berbahaya. Apa pria itu kabur karena intuisinya mengatakan bahwa aku akan menelepon polisi?

Bagaimanapun, aku tak akan membatalkan perjalanan polisi kemari. Aku akan menunggu polisi di beranda sambil merokok, dan akan kujabarkan ciri-ciri pria itu untuk mengantisipasi kemungkinan tindakannya di lain hari.

Aku membuka pintu dan—bajingan!—ia di balik pintu! Tentu saja ia di balik pintu; tak ada terdengar suara gerbang dibuka dan ditutup kembali, tapi alam sadarku tak memprosesnya sebagai pertanda bahaya—dan tangan kanan pria itu telanjur menahan pintu ke dinding.

“Pas sekali. Saya baru akan mengetuk, tapi ragu-ragu.” Ia melempar topi hitamnya ke sofa ruang depan dengan tangan kiri, mendarat tepat di tumpukan pakaian kotorku. “Boleh pinjam toilet? Setelahnya saya akan langsung pergi. Janji.”

Aku menarik pisau dari pinggang dan menodongkannya ke wajah pria itu. “Kau hendak memerkosaku. Mungkin membunuhku juga!”

“Whoah! Tenang!” Ia mundur selangkah, dua langkah.

“Aku akan berteriak!” Mataku menghangat. Kerongkonganku terbakar dan aku tak mungkin berteriak. “Para tetangga akan dengar!”

“Saya hanya ingin kencing. Kalau tidak diizinkan meminjam toilet, saya bisa kencing di got. Tidak perlu menodongkan pisau.”

“Tidak ada yang bisa menipu intuisi wanita!”

“Wanita?” Ia tertawa mencemooh. “Kau bukan wanita.”

Aku terdiam. Tanganku gemetar. Mata pisauku berkilau. Bayangan kawanan laron di sekeliling lampu beranda berputar-putar di wajah pria itu.

“Maaf,” sambungnya. “Orang buta pun akan tahu itu, karena suaramu bukan suara wanita.”

“Aku wanita. Dari lahir aku wanita ....”

“Ha ha! Tadi, intuisi saya mengatakan bahwa kau bukan wanita—tapi saya ragu. Saya baru benar-benar percaya begitu tiba di sini, di tempat terang ini. Tapi ya sudahlah, anggap saja ini pengalaman baru.”

Ia terbahak-bahak, menyelipkan tangan kanan ke saku sweter—ke saku!—aku langsung menyayat lehernya!

Angin membawa sayap-sayap laron yang rontok masuk ke ruang dalam. Gerimis yang jatuh ke kerikil pelapis halaman menyebar suara statis ke seisi kepalaku.  Pelan-pelan, pria itu meraba leher, terbelalak menatap darah di jari-jarinya yang gemetar—aliran darah meresap ke kerah sweter—ia pun menjerit.

Ia berlari ke gerbang, aku mengejar dan menebas belakang lehernya—ia terjatuh menghantam kerikil basah—aku menjambak dan membuatnya mendongak—bagian depan lehernya kusayat lebih lebar—darah memancur ke kerikil seperti gerimis.

Dan, dari suatu jarak, terdengar sebuah mobil mendekat. Aku melepas pria itu, yang seketika telungkup dan mengejang lemah. Udara dingin menyusup ke balik pakaian dan menggerayangiku; pandanganku mengabur oleh air mata dan sentuhan gerimis. Intuisiku berkata: Ada bahaya lain. Selalu ada bahaya lain bagi wanita jahat. Wanita yang mendengarkan intuisi sendiri. Wanita sepertiku.




*) Cerpen ini dimuat di Basabasi.co pada 7 Juni 2024.