Pidato Menjelang Hari Tua
berikan aku satu mayat
kan kuguncang kematian
berikan aku satu mayat
kan kuremukkan musim duka
berikan aku satu mayat …
asal bukan badan wadagku!
(Denpasar, 2016)
Akhir Puisi di Singgasana
araklah “singgasana”-ku
jangan biarkan upacara ngaben*
memanen tangis
araklah “singgasana”-ku
menuju api liang pembebasan
antakarana sarira**
anggaplah aku hanya tertidur;
kelak terbangun sebagai sebongkah
bayi—milik salah satu dari kalian
anggaplah aku hanya tertidur;
kelak, barangkali, hanya
menjelma “kosong”
sibaklah jalanku dengan sukacita
—dengan sukacita saja—
sebab kefanaan adalah dermaga:
jangan jadikan tangismu
tali penambat!
(Denpasar, 2016)
*) Upacara pembakaran mayat yang dilakukan oleh para pemeluk Agama Hindu di Bali.
**) Tubuh halus atau atma.
Negeri Penantian
kepurbaan saya membayi
di kamar ini.
kaca jendela diketuk dari luar
(dengkur ibu, lullaby-anestesi)
bukan oleh kata-kata dari
rongga dada
tapi, bukankah kematian bisa
hadir dari mana saja, bu?
lelap ibu memperbolehkan jejarum jam
melangkah mundur
(desing kipas angin
memanggil para pekerja mimpi)
dan ada yang mengetuk
pintu kamar saya
dari dalam kepala
bukankah kematian boleh
bertamu kapan saja, bu?
dan, lelap ibu tetaplah lelap.
kaca jendela dan pintu
seperempat ketukan.
kepurbaan saya teruslah membayi.
tiba-tiba kelambu disibak:
sekarang pukul berapa, kematian?
(Denpasar, 2016)
Di Atas Altar
debu jalanan bukan perjalanan yang
memarut belulang. risau pisau kata-kata
adalah segerombolan truk yang menjadi
badai rezim. di kemacetan lalu lintas
lompatan demi lompatan kegeraman
menawarkan tempat tidur yang nyaman.
“apakah ada yang abadi dalam jagamu?”
tanya kristus kepadaku. mulai besok
kerisauan boleh menumpah darahku
di atas altar.
(Denpasar, 2016)
-) Puisi-puisi ini telah dimuat di Riau Pos pada tanggal 16 Juli 2016.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar