Tibalah hari ketika matahari tiada tampak dalam jangka waktu yang teramat panjang. Bola
cahaya itu tiadalah bersembunyi di balik kulit mega-mega, maupun di balik
selaput cakrawala malam kelam—tetapi kekelaman itulah yang sesungguhnya sedang
abadi, sebagaimana malam yang hendak mencelakai Bumi. Di manakah sang mentari
bersembunyi?
Seorang pria—penduduk desa—yakin
bahwa matahari dicuri oleh seseorang. Seorang gadis yang terbungkus dalam
sebuah kandang kumuh nan suram, beraroma tengik—mengundang muntah. Bisakah
gadis “miring” itu berlaku sedemikian kejam? (Bukankah warga desa juga
memperlakukannya sedemikian kejam?)
Kembalikan matahari! hardik si pria
pada suatu malam yang sepi, kepada gadis yang “miring” itu. Kau akan mencelakai
dunia!
Yang “miring” pun tersenyum miring,
lantas tertawa terbahak-bahak dalam rangka merayakan kemenangan serta
kewarasannya.
Kalimat-kalimat jadilah pedang;
jadilah anak-anak panah; jadilah bom. Berperang! Hingga akhirnya yang “miring”
mengacak-acak tumpukan feses—produknya—di sudut kandangnya. Lantas
tergenggamlah sebuah bola oranye seukuran kepalan tangan. Ini matahari, ucap si
gadis “miring” kepada si pria “lurus”. Lemparkanlah bola ini ke angkasa, maka
kau akan melihat hasilnya.
Kemudian si pria “lurus”, penuh
keraguan, melemparkan bola itu ke angkasa, hanya saja tak terjadi apa-apa. Ia
ditipu! Ia murka! Tetapi ia tak pernah tahu bahwa matahari habis dimakan oleh
para malaikat.
*) Prosa ini dimuat di Bali Post pada tanggal 9 Oktober 2016.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar