*Foto: Dokumentasi Pribadi
Mencicipi Kematian
ia resah dan sekarat di musim
senjakala
ia tidur dan kerontang di lembah
dada
ketika maut tinggal sejengkal di
hadapannya,
ia menjelma sebagai doa terkhusyuk
dan puisi terbusuk
kehidupannya masygul saja:
handai tolan penjenguk
mengingatkan ia pada gereja tua
yang pernah dibakarnya
*
ia rasa sesal sebelum maut
ia rasa sesal sesudah orang-orang
berjubah putih
yang misterius itu mengambil
atmanya dari peti duniawi
padahal, kematiannya sekadar harap
menuju moksa
namun surga yang dirindukannya
terbakar oleh puisi—seperti gereja tua
itu
(Denpasar, 2016)
Air Digital
yang kering pun mengalir
di kerontang dahi pemuja.
peluk-kecup tanah menjadi kantuk selir
dewa hujan: memandang yang kau dengar
sebagai anak-anak panah.
(Jakarta, 2016)
Kepada Kelamin
dalam puisi ini
seorang wanita telanjang memandang
kelamin langit
dengan ngeri: di sebuah negeri
ia menjadi jauh dan begitu sangit.
tapi bukankah perang yang
menghancur kelaminnya
adalah sengit-jerit terlampau panjang?
(Jakarta, 2016)
Perihal Doa buat Besok
jendela dan jam dinding
di kamarmu
masih sibuk mencuri waktu
(kau pun masih sangsi mengeram waktu
dengan selapis lelap
dan punggung yang disepuh busuk mani
: gula-gula doa.)
(Jakarta, 2016)
Percayalah, Ini Soal Kau
sejak kutahu kau merokok sajak
aku ingin menjadi api
yang
membakar paru-parumu
sejak kutahu kau pemabuk sajak
aku ingin menjadi belati
yang
berancang-ancang di lidahmu
sejak kutahu kau onani membayang sajak
aku ingin menjadi bibir
yang
mengecup getah kesumatmu
(Jakarta, 2016)
*) Puisi-puisi ini dimuat di Palembang Ekspres edisi 3 Agustus 2017.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar