*Sumber Gambar: Pinterest
Sayap
nol besar di puncak menara itu
memperlihatkan siluet burung-burung
pemakan
bangkai beterbangan, menitipkan bebulu rontok
di dasar menara, seorang ayah seorang
anak
duduk terpuruk, dikepung kematian
di luar sana. lilin-lilin sedang menyala
menghangatkan mereka, ketika
sebuah ide tumbuh bagaikan jamur
di balik batok kepala sang ayah:
ia pun memungut bebulu berserakan,
saling merekatkan dengan cairan lilin,
membentuk sepasang sayap yang pas
berada di tubuh sang anak.
“terbanglah, anakku,
seperti burung-burung pemakan bangkai
itu.
bermigrasilah ke pulau seberang, di mana
kematian masih serupa hewan liar
berhibernasi.
tapi jangan terlalu dekat dengan
matahari!”
sang anak mengepak sayap, perlahan
terbang
melewati nol besar, lalu bangkai-bangkai
manusia
di bawah sana, orang-orang berpedang
membunuh orang-orang tak berpedang.
tiba-tiba sepasang sayap merah tumbuh
di hatinya, tumbuh keajaiban yang hanya
mungkin ada di ketinggian seperti ini:
sang anak pun berteriak kegirangan,
terbang semakin tinggi, semakin jauh
dari kematian di bawah sana, tak
menyadari
sepasang sayapnya berkeringat:
lilin dilelehkah panas mentari.
*
para pelaut berpedang menemukan
sang anak menjerit meminta tolong.
di atas laut itu, burung-burung pemakan
bangkai mulai mengepung.
(Denpasar, Februari 2019)
Sekumpulan Anak
kami telur, hanya menggigil
dalam lemari salju, ingatan
tentang bokong ayam yang hangat
perlahan membeku.
kami telur, tak akan menetas
di tanganmu, kami menanti
diri pecah di atas
panas permukaan bajan.
kami telur, mengharap sedikit
keajaiban: usai beberapa menit
kaugoreng, kami menjumpa
potongan ibu di perut itu.
tapi kami hanya telur membusuk,
dilontarkan tanganmu, menuju
sebuah wajah, sebagai kejutan
ulang tahun kawanmu.
(Denpasar, Februari 2019)
Kesaksian Sebuah Mobil
bukan kecepatan ini sungguh
membuatku takut, tak lain gumpalan
awan badai bermunculan dari
rambutnya seputih mata
mayat tersimpan pada bagasi,
dengan tubuh terkoyak gigi-geligi
piranha menyeruak dari nanar matanya.
tangannya, dipenuhi noda darah,
kini gemetar hebat mencengkeram
setir sewaktu-waktu bisa dibantingnya
ke sembarang arah, matanya mencari-cari
bayang-bayang pohon manakah
hendak menampung sebuah makam
tersembunyi. mendadak, melalui amuk api
yang terlihat dari lubang di dadanya,
kubaca kehendak untuk berbelok
ke arah laut, membangun
makam-tak-rahasia
kami bertiga, makam yang cukup besar
buat mengamankan hati kecilnya dari
dosa-dosa ditumpahkan oleh angkasa.
(Jakarta, Februari 2019)
*) Puisi-puisi ini dimuat di Kompas pada Sabtu, 30 Maret 2019.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar