*Sumber Gambar: Pinterest
Dengan bayi sekarat di gendongannya, Tajul
memasuki Hutan Satani yang dipenuhi tetumbuhan subur berwarna ungu, hutan yang
pada bagian tengahnya berdiri gubuk reot tempat tinggal sang ahli racun.
Menjumpai
sang ahli racun adalah pilihan terakhir yang Tajul ambil setelah bayinya
sekarat selama seminggu, meski tak sedikit orang yang menyarankannya untuk tak
mengambil pilihan tersebut. Mereka berpikir bahwa lebih baik bayi itu menderita
sampai mati, ketimbang Tajul mesti ikut mati dengan menjumpai sang ahli racun dan
mengalami kehancuran organ-organ dalam tubuh. Atau, lebih buruk, Tajul dan
bayinya mengalami hal menyakitkan itu bahkan sejak memasuki Hutan Satani yang
telah sang ahli racun jadikan daerah kekuasaan, hutan yang dulunya sehijau
rumput-rumput yang baru bertumbuhan di tanah makam Istri Tajul. Namun, berkat
perasaan bersalah sebesar pepohonan di sekelilingnya kini, Tajul memutuskan
untuk mengambil pilihan terakhir itu.
Tak
lama, Tajul tiba di depan pintu gubuk sang ahli racun. Kata orang-orang, “Seandainya
kau memasuki gubuknya, jangan menyentuh benda apa pun yang ada di sana. Apalagi
sampai menelan makanan-minuman yang disajikan. Segala apa yang ada di sana
pasti beracun. Kalau bisa, malah sebaiknya kau tak usah menghirup udara di dalam
gubuk itu!” Dan Tajul berpikir, sangatlah mungkin bahwa pintu gubuk itu telah
diolesi racun yang dapat menggerogoti kulit tangannya.
Tiba-tiba,
pintu gubuk dibuka dari dalam. Tajul segera menghirup aroma tengik yang
berembus dari dalam sana, segera tak sengaja menatap sepasang mata wanita paruh
baya, wanita yang konon tatapannya sungguh beracun.
“Masuklah.”
Mendengar
kalimat itu, Tajul tahu dirinya sudah tak mungkin lari dari hadapan sang ahli
racun, sekalipun ketakutannya telah meluap secara hebat. Seolah-olah kalimat wanita
itu meracuni kehendak Tajul untuk lari, sehingga kehendak tersebut mati
seketika.
Melewati
pintu masuk gubuk, Tajul menjumpai ruang persegi yang membuatnya dipenuhi
perasaan tak nyaman. Berseberangan dengan pintu masuk, terdapat selembar tirai
merah yang menutupi ruang-entah-apa di baliknya. Di tengah ruang, terdapat dua
kursi berhadap-hadapan, seakan keberadaan ruang itu memang hanya untuk sang
ahli racun dan Tajul—beserta bayi di gendongannya. Selain itu, tak tampak hal
lainnya.
Diarahkan
sang ahli racun, Tajul duduk di salah satu kursi, sedang wanita itu duduk di
kursi satunya lagi. Duduk sedemikian dekat dengan sang ahli racun, Tajul merasa
berada di dalam gelembung rapuh, sementara di luar gelembung adalah udara
beracun yang panas.
“Mestinya
aku menyuguhkan teh dan makanan ringan,” ucap sang ahli racun. “Tapi kau akan
menyangka aku hendak meracunimu.”
“Tolonglah
anakku ....” Suara Tajul bergetar.
“Aku
tahu kau akan mengucapkan itu.” Sang ahli racun diam sejenak. “Dari aroma
napasnya, aku tahu bayimu telah menelan racun dari bunga Alph belum lama ini.
Racun itu memang mempunyai aroma khas. Tapi hanya orang-orang tertentu yang
bisa membauinya, sehingga wajar jika kau tak menyadari aroma tersebut.”
Tajul
menelan ludah. Ia harap wanita itu mau langsung mengobati bayinya, tanpa
melontarkan pertanyaan-pertanyaan personal terlebih dahulu.
“Semestinya
naga dewasa pun segera tumbang setelah keracunan bunga Alph,” sambung sang ahli
racun. “Anehnya, bayimu—”
“Belum
ada yang berhasil mengobati bayiku,” sela Tajul. “Lalu, aku berpikir,
semestinya orang yang paling mengerti cara mengobati racun adalah orang yang
ahli membuat racun—”
“Walaupun
orang-orang di sekitarmu sepertinya curiga bahwa akulah yang atas suatu alasan
meracuni bayimu, setelah meracuni istrimu,” tukas sang ahli racun. “Bukankah
begitu?”
Tajul
semakin ketakutan. Ia curiga, jangan-jangan wanita di hadapannya bukan hanya
ahli membuat racun, melainkan pula ahli membaca pikiran.
“Jika
bukan kau yang meracuni istriku, bagaimana bisa kau tahu bahwa istriku mati
keracunan?!” Tajul tak menyangka ketakutan yang meningkat dapat menaikkan nada
bicaranya. “Jarak antara tempat tinggal kita lumayan jauh. Lebih-lebih, tempat
ini begitu terasing. Bukankah aneh bila kabar kematian istriku sampai kemari?!”
Sang
ahli racun tersenyum licik. “Kau mencurigaiku sekarang?”
“Tentu
saja!”
“Baiklah.
Silakan pergi dari sini.”
Tajul
terdiam. Tatapannya terarah ke lantai. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi ia tergagap-gagap
sehingga kalimatnya tak kunjung keluar secara tuntas. Akhirnya, Tajul menyerah
untuk berkata, dan menatap sang ahli racun dengan tatapan memohon.
Sang
ahli racun tertawa mengejek. “Seandainya kau memang mencurigaiku, kenapa kau masih
ingin meminta pertolonganku?”
Tampaklah
ketakutan di wajah Tajul semakin bertumbuh subur. Ia merasa gelembung yang
mengurung—atau melindungi—dirinya menjadi bertambah rapuh.
“Bagaimanapun,
aku akan menolong bayimu,” sambung sang ahli racun. “Kemarikan bayimu.”
“A-apa?”
“Biarkan
aku menggendong bayimu. Tenang saja, aku tak akan meracuninya. Kalau memang itu
yang kukehendaki, aku bisa meracuni air yang bayimu minum tadi pagi, sehingga
tubuhnya membusuk secepat daun gugur mencapai tanah.”
Jeda
beberapa jenak. Tajul tak kunjung menyerahkan bayinya.
“Aku
memang benar-benar ingin menolong bayimu,” lanjutnya.
“Aku paham, kehilangan
adalah racun paling menyakitkan. Aku pernah merasakan racun itu saat suamiku
membawa kabur bayiku bersama wanita simpanannya.”
Mendengar
kalimat itu, Tajul lantas membiarkan sang ahli racun menggendong bayi
sekaratnya. Sang ahli racun, dengan tatapan keibuan yang muncul secara tak
terduga, tersenyum ke arah wajah sang bayi, lalu melantunkan sebuah lagu yang
sering almarhum Istri Tajul lantunkan untuk membuat bayi itu tertidur. Suara
merdu sang ahli racun membuat Tajul mematung. Membuat Tajul yakin bahwa tak
akan terjadi hal buruk saat wanita itu membawa bayinya memasuki ruang-entah-apa
di balik tirai merah.
Sang
ahli racun keluar dari ruang tersebut sekitar tiga puluh menit kemudian, dan
selama itu pula Tajul menunggu dengan sabar di kursinya. Bayi Tajul tak ada di
gendongan sang ahli racun, bayi itu pasti ditinggalkan di dalam sana.
Setelah
duduk di kursinya, sang ahli racun berkata, “Bayimu sudah sembuh.”
“Hah?
Secepat itu?” Dengan gerakan cepat, Tajul langsung bersujud dan menciumi kaki
wanita itu. Tersedu-sedu, Tajul bertanya,
“Bagaimana caraku membalas
kebaikanmu?”
“Biarkan
aku menjaga bayimu.”
“Maksudmu,
bayiku belum sepenuhnya sembuh, jadi kau mesti merawatnya selama beberapa hari?”
“Bukan
begitu, Bodoh. Bayimu sudah sepenuhnya sembuh. Namun, aku akan merasa amat
berdosa bila membiarkan ia tumbuh serumah dengan orang yang membunuh ibunya.”
Tajul
terbelalak kaget dan bangkit perlahan. Gelembung rapuh yang melindunginya dari
udara beracun panas pun pecah. Tajul baru akan menjotos rahang sang ahli racun,
ketika tiba-tiba wanita itu berdiri dan menancapkan sebatang jarum kecil ke
lehernya. Tubuh Tajul seketika lumpuh dan tumbang.
“Aku
sudah bisa membaca hampir segalanya,” ucap sang ahli racun.
“Karena bayi itu
belum mati, berarti ada yang membuat racun Alph melemah. Dan, aku tahu betul,
racun Alph hanya bisa menjadi selemah itu jika terkontaminasi air susu ibu.”
Tajul
ingin melontarkan kalimat. Tapi lidahnya kaku.
“Kau
mungkin ingin membela diri,” sambung sang ahli racun. “Tapi kau tak bisa
membohongiku. Barangkali kau tak tahu bahwa saking kuatnya racun bunga Alph, ketika
menyentuhnya pun kau telah keracunan. Tetapi, efeknya tak semematikan jika
ditelan, setidaknya sampai dua minggu kemudian. Dan, kau yang ternyata telah
keracunan pun mengeluarkan aroma napas khas yang sudah kuendus dari awal
perjumpaan kita.”
Andai
saraf-saraf di tubuhnya tak lumpuh, tubuh Tajul pasti akan bergetar hebat,
karena ia merasa begitu ditelanjangi.
“Aku
membayangkan kejadian ini: setelah kau meracuni istrimu lewat makanan atau
minuman, istrimu itu langsung menyusui bayi kalian. Sayangnya, kau telat
mencegahnya. Karena tak berniat untuk membunuh bayi itu, kau merasa berdosa dan
membawanya kemari. Sungguh pilihan yang tepat.
“Dan,
sebagai bentuk ucapan terima kasihku karena kau telah membawa bayimu kemari, pada
jarum di lehermu itu telah kuoleskan penawar racun Alph, selain racun tak
mematikan yang melumpuhkanmu hanya selama tiga jam.
“Omong-omong,
kurasa kini sudah tiba waktu bagiku untuk mengucapkan selamat tinggal.”
Wanita
paruh baya itu menghilang di balik tirai merah. Sekitar sejam kemudian, ia
keluar dari sana dengan membawa bayi Tajul dan buntalan kain yang tersampir di
punggung. Sang ahli racun lantas meninggalkan gubuk.
Ketika
akhirnya tubuh Tajul tak lagi lumpuh, ia segera bangkit, mencabut jarum di
lehernya, dan cepat-cepat keluar dari gubuk. Lalu, Tajul tercekat; tumbuh-tumbuhan
di Hutan Satani kini tak lagi berwarna ungu, melainkan kembali ke warna yang
semestinya. Tajul langsung menangis meraung-raung.
Tajul
merasa lebih baik dirinya tetap dihinggapi racun Alph, ketimbang disiksa oleh
racun paling menyakitkan, bernama kehilangan.
*) Cerpen ini dimuat di Cendana News pada 25 Juli 2020.