Film Pembalasan Dendam
setelah memasuki gudang kamera
di punggung kutub yang paling dingin,
bocah-bocah panas berebut keluar
dari mulut dari hidungku,
lalu kamera-kamera meleleh
dan membungkus sekujur tubuhku
—maka bersiap-siaplah:
aku bisa menjadi mata kail
menyusupi bola matamu,
aku berputar sebagai film horor
di balik tengkorakmu,
kau tak bisa kabur dari bioskop itu
ketika monster-monster merayap keluar
dari layar yang enggan membawa
kapalmu melaju,
di lidah-lidah berduri mereka kau
semanis
pop corn
tenggelam dalam lumpur karamel panas,
dan tak ada jeritan kau terdengar
di telinga mana pun: aku menghapus track suara
sebelum meluncur menuju tungku panas
di ruang proyektor,
aku tinggal menghitung mundur
sampai seluruh nama di kredit
berpulang
ke balik selimut beludru yang tebal
sebelum melihat tubuhmu
sebagai gulungan film yang terburai,
koyak di bawah langkah-langkah
para calon penonton memutari lobi
bioskop:
tak ada poster wajahmu terpampang
di sisi dinding mana pun.
(Jakarta, Agustus 2021)
Bertemu Aljabar untuk Pertama Kali
aku tak tahu kalau angka boleh
berdiri di samping huruf—tahu-
tahu aku teringat temanku
mustafa
: mama melarangku main dengannya—
tuhan dan malaikat di pundak
kalian berbeda, nanti mereka bertengkar dan
tak ada siapa pun pada pundakmu—
mama yang bilang begitu
papa mati karena pundaknya
kosong, dan mama ingin aku
bersandar lebih lama
pada pundaknya—angka dan huruf:
berbedakah tuhan dan malaikat mereka?
kuharap mereka berbeda
kuharap mereka bertengkar
lagi pula tak ada yang suka melihat
angka dan huruf bersama
mereka tak semestinya seperti itu
kuyakin mama pasti setuju
dan bu guru bersalah:
pintu neraka akan terbuka di papan
tulis, kami sekelas akan mencatat:
tangan-tangan iblis menarik bu guru
ke tungku berlahar,
matematika kembali berjalan lurus
tiada yang tak bisa kami hitung
dengan sepuluh jemari
(Jakarta, Agustus 2021)
Doa Terakhir, Mungkin
semalam adalah doa
terakhir
dengan lidah tersalib
dan mahkota duri mengikat lambung
dan bebatu mendarat di dasar paru-paruku
semalam adalah doa
di mana aku meminta
kau jangan bangunkan aku
dengan alibi apa pun
semalam paku-paku berkarat
terlepas dari langitmu
seperti malam-malam yang lalu
sepulang kerja di cermin aku
menatap tubuhku:
sebongkah bangkai yang lelah
dan bola arwah bodoh
bingung mencari jalan keluar
dari badan yang jelas penuh
lubangnya
maka semalam aku berdoa
dan semoga esok malam
aku tak usah lagi berdoa padamu
tapi pagi ini aku masih terbangun
sekali lagi
dengan lendir menetes
dari setiap ronggaku
dan seragam itu tak bosan-bosannya
mendekap bangkaiku
(Jakarta, Agustus 2021)