Jumat, 18 November 2022

BOM DAN BAPAK -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Wiradinata



Aku sedang bermain Crash Bandicoot di PS ketika Ibu mengatakan: Bapak kena bom. Ibu pernah bilang kita tidak boleh menangis jika sudah besar—tapi Ibu menangis ketika mengatakan Bapak kena bom. Ibu mirip karakter sebuah gim petualangan ketika nyawanya hampir melayang: pucat dan bungkuk dan matanya basah.

Tunggu dulu … Bapak kena bom, katanya?

“Apa Bapak melayang seperti malaikat?” tanyaku. Crash Bandicoot akan melayang arwahnya jika terkena bom: tubuh-putih-kebiruan akan terbang keluar dari tubuh aslinya; tubuh-putih-kebiruan itu bersayap persis malaikat. Mungkin Bapak juga begitu.

Dan Ibu menggeleng. Ia menyuruhku bersiap-siap ke rumah sakit dan mematikan PS, lalu ia memasuki kamarnya dan aku lanjut bermain PS. Level ini mestinya selesai sebentar lagi. Tetanggaku berada di level yang lebih jauh dan aku tak boleh tertinggal—aku pernah kalah balap sepeda dengannya dan aku tak akan kalah di Crash Bandicoot.


***


Kemarin Minggu aku menonton Scooby-Doo di TV, dan selagi menonton Ibu bersila di lantai, memotong kuku kakiku. Sesekali Ibu menoleh ke TV tiap aku tertawa, dan aku ingin Ibu menyukai tontonanku, sehingga aku sering tertawa saat tak ada yang lucu. Akhirnya Ibu ikut tertawa saat Scooby si Pengecut dengan keras menarik sehelai perban di tubuh mumi gentayangan, dan tubuh mumi itu berputar kencang seperti gasing seiring lepasnya perban, dan terbongkarlah siapa penjahat yang menyamar jadi mumi tersebut.

“Bapak sekarang seperti mumi,” kata Ibu di taksi. Suaranya persis tetanggaku tiap habis menangis. Mungkin bagi Ibu mumi hanya lucu kemarin Minggu, dan hari ini mumi tak lagi lucu.

Selain menonton kartun dan bermain gim PS, aku juga suka menonton sinetron tiap malam. Aku merasa memasuki dunia sinetron saat tiba di rumah sakit: seorang perempuan tua menangis di depan pintu rumah sakit dan berteriak, “Anakku! Anakku!” Hanya orang dewasa di sinetron yang sering menangis—di dunia nyata mereka tak pernah menangis, kecuali Ibu dan perempuan tua itu. Ibu terus menggandengku hingga akhirnya kami berbelok ke sebuah kebun, yang menghadap deretan jendela lebar. Di kebun itu orang-orang dewasa yang menangis berkumpul, sedang anak-anak seusiaku bersikap biasa-biasa saja atau justru berlari-lari sambil tertawa. Mungkin rumah sakit adalah dunia yang ajaib: anak-anak tak lagi cengeng; orang dewasa tak lagi kuat.

Oh, ada juga pria pembawa berita di TV: ia berbicara sambil memegang mik, ia berbicara menghadap pria lain yang mengarahkan benda besar padanya seperti bazoka. Biasanya di gim aku akan berlari jika ditodongi bazoka, tapi pria itu tetap di tempat dan terus bicara.

Ibu menggandengku ke hadapan satu jendela besar. Astaga. Aneh sekali. Kupikir ada banyak jendela berarti ada banyak ruangan. Ternyata hanya ada satu ruangan yang luas, dengan banyak jendela berderet menghadap kebun—kenapa mesti ada sebanyak itu jendela?—dan ada banyak tempat tidur tempat para mumi berbaring!

“Scooby pasti akan ketakutan di sini, Bu!”

“Itu Bapak,” kata Ibu, menunjuk ke dalam ruangan.

Aku tak tahu mumi mana tepatnya yang ia tunjuk—terlalu banyak mumi serupa. Dan untuk apa pula Bapak menjadi mumi? Bapak tak suka Scooby-Doo: ia sering merebut remote TV dariku dan mengganti Scooby-Doo dengan berita atau pertandingan sepak bola—tapi kenapa sekarang ia menjadi mumi seperti penjahat di Scooby-Doo?

“Lihat, yang itu,” kata Ibu lagi, dengan senyum aneh, senyum disertai mata orang menangis. “Lambaikan tanganmu, ayo.”

Aku menurut. Para perawat di sekeliling para mumi menoleh padaku dan tersenyum. Tapi aku tetap tak menemukan Bapak.

“Bapak tersenyum, lihat ….”

Aku tetap tak melihat Bapak ….


***


Esok dan esok dan esoknya, terus-menerus Ibu mengajakku ke rumah sakit, ke kebun yang menghadap jendela kamar para mumi, dari hari masih terang sampai malam tiba. Aku sering merengek karena bosan, dan Ibu meminjamiku ponselnya, di sanalah aku bermain Snake terus-menerus—memang tak seseru Crash Bandicoot, tapi aku suka Snake—dan aku hampir tak pernah berdiri dari bangku kebun, sementara Ibu terus berdiri menghadap jendela, sesekali ia melambaikan tangannya padaku, dan aku tak peduli.

Suatu kali si Pembawa Berita menghampiriku, bersama temannya yang memegang bazoka. Si Pembawa Berita mengajakku berkenalan, dan sejenak aku berhenti bermain Snake.

“Kau mau masuk TV?” tanyanya kemudian.

Masuk TV? Luar biasa! Aku mengangguk.

“Kau bisa terlihat sedih?”

Aku mengangguk lagi. Tapi aku tak tahu kenapa aku harus bisa terlihat sedih. Orang dewasa seperti Ibu dan Bapak tak suka melihatku sedih.

Si Pembawa Berita lalu menanyakan nama serta umurku, dan aku tentu menjawab jujur.

“Dan jika saya bertanya, ‘Siapa keluargamu yang menjadi korban bom?’ kau menjawab …?”

Aku berpikir sejenak. “Bapak …?”

“Bagus. Jika saya bertanya, ‘Bagaimana perasaanmu sekarang?’ kau harus menjawab …?”

“Eee … bosan? Aku bosan. Sekarang hari Minggu, dan harusnya aku bisa menonton banyak film kartun atau bermain Crash Bandicoot di PS.”

Si Pembawa Berita dan si Pembawa Bazoka langsung bertukar tatapan. Mereka seperti berbicara tanpa suara. Kerutan-kerutan di wajah mereka berubah-ubah cepat. Si Pembawa Berita pun mengedikkan bahu dan berkata padaku, “Baiklah, terima kasih untuk waktumu.”

“Omong-omong,” kataku, “apa di TV aku bisa bertemu Scooby-Doo?”

“Scooby-Doo? Tidak.” Ia terbatuk sejenak. “Semoga bapakmu cepat sembuh.”

Mereka pun pergi dariku, dan tak lama segera mendekati anak yang lain.


***


Sekali waktu aku bermimpi Scooby bermain ke rumahku. Mimpi itu tak akan terwujud sekarang: Bapak pulang dalam keadaan seperti setengah-mumi, dan Scooby mesti takut padanya. Aku bilang setengah-mumi, sebab wajahnya tak diperban—tampak luka-luka berbentuk aneh di sana, seperti lumut hitam kemerah-merahan—tidak sebagaimana tubuhnya dari leher ke bawah.

Dan aku lebih menyukai Bapak setelah ia pulang dari rumah sakit: ia tak banyak bicara, ia tak lagi menggangguku ketika bermain gim PS, dengan tiba-tiba menyambar remote dan mengganti gimku dengan berita atau pertandingan sepak bola. Kini Bapak hanya duduk dan diam seraya menontoniku bermain Crash Bandicoot, sementara Ibu mengoleskan sesuatu ke luka-luka di wajahnya, lalu turun ke leher dan dada dan terus ke bawah setelah melepas perbannya—sebelum memasangnya kembali.

“Bapak, lihat!” kataku. “Aku bisa membuat Crash Bandicoot bunuh diri dengan bom.”

Aku pun membuat Crash Bandicoot melompat ke atas kotak merah bertuliskan TNT. Bapak menoleh ke TV. Bunyi tet menandakan TNT akan meledak. Tet ketiga: duar!!! Arwah Crash Bandicoot langsung melayang ke langit. Aku terkekeh. Tatapan Bapak tertuju padaku.

Dan hening.

Ibu juga menatapku. Tatapannya seolah-olah aku habis berbuat nakal, semisal melempar kepala tetangga dengan batu.

Aku menatap Bapak; Bapak menatapku marah: seolah-olah ia ingin memukul pantatku dengan sapu—Apa aku telah berbuat nakal? Dan mata Bapak berair. Memerah. Ia menarik-mengeluarkan napas sekencang banteng bersiap menyeruduk. Ibu mengelus-elus punggungnya. Dan bibir Bapak bergetar. Aku tidak berbuat nakal—Kenapa orang-orang begitu aneh?—tiba-tiba Bapak berdiri cepat dan membanting PS-ku!

Ibu menjerit ….

Bapak memasuki kamar. Ibu menangis seperti bayi yang dibuat kaget. Semut-semut memenuhi layar TV dan mendesis. Kulit sofa yang kududuki mendadak dingin. Dan PS-ku … hancur seperti terkena bom ….

Aku benci Bapak! 


*) Catatan: Mengenang bom Bali I, dan Bapak yang terluka karenanya.

**) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada 30 Oktober 2022.

Tidak ada komentar :