Senin, 20 Mei 2024

TAS YANG AKAN MEMBAWANYA KE SURGA -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Anto Doso




Maryam tiba di gerbang khusus pejalan kaki Holyone Club setelah empat puluh menit berjalan dari masjid. Rambut di balik jilbabnya basah, pun wajah di balik cadarnya; otot pundaknya perih berkat tas punggung hijau yang terisi penuh hingga risletingnya hampir jebol.

Langit sore cerah perlahan menggelap. Beberapa jarak di sebelah kanan Maryam, mobil-mobil melewati portal menuju area parkir klub yang hampir penuh, menyejajarkan diri mengikuti garis marka kuning di bawah lampu-lampu bercahaya pucat. Di balik barisan mobil, terlihat si Sekuriti memeriksa para pengunjung yang mengantre memasuki klub dengan detektor logam. Bangunan klub berbentuk kubus hitam seperti Ka’bah raksasa, papan namanya bercahaya emas di atas pintu masuk, dan deretan jendelanya menampakkan kilatan hijau dan ungu dan merah.

Maryam mendadak tersadar: hampir semua pejalan kaki yang memasuki klub memerhatikannya dengan heranhanya ia yang berjilbab dan bercadar. Maryam segera berbalik, menyeberang ke sebuah minimarket, dan meminjam kamar mandi.

Dinding kamar mandi dipenuhi coretan. Dari gambar kelamin pria, kalimat ajakan berbuat tak senonoh, hingga kalimat bijak seperti: Apa yang kau berikan, akan kembali padamu. Dengan tatapan nanar, Maryam menghadap cermin, melepas jilbab serta cadar, dan mengantunginya di saku samping tas. Ia menggerai rambut lepeknya, menarik napas panjang hingga pesing menyentak tenggorokan, dan keluar dari minimarket; angin berdebu mencakar ubun-ubun dan wajahnya.

Ia baru akan menyeberang kembali ke Holyone Club, ketika ada yang menarik-narik pinggang gamisnya dari samping: seorang gadis gelandangan berusia sembilan tahun, berambut kusut sepunggung, dan mata kirinya yang buta dikelilingi bekas luka bakar hingga alisnya botak. Jantung Maryam berdentam.

“Lapar ....” kata si Gadis Gelandangan.

Dengan tangan gemetar, Maryam mengeluarkan lima puluh ribu Rupiah lecak dari dompet batik cokelat, dan meletakkannya ke genggaman si Gadis Gelandangan.

“Pergilah dari sini,” kata Maryam parau, tertutup raung kendaraan-kendaraan, “sejauh-jauhnya ....”

Si Gadis Gelandangan berkata, “Hah?” tapi Maryam keburu menyeberang—motor-mobil mengerem dan memekikkan klakson—dan memasuki area parkir Holyone Club. Maryam menyebar pandangan: di sudut, dekat tempat sampah dengan plastik-plastik sampah bertumpuk, sepasang bule pria dan wanita keluar dari sedan abu, berjalan ke pintu masuk sambil berangkulan. Di sana sedang tak ada antrean; si Sekuriti memeriksa dan mempersilakan mereka masuk, lantas Maryam melangkah cepat ke sedan mereka.

Dari titik ini, dalam apitan sedan abu dan mobil lain, si Sekuriti tak akan melihat Maryam. Orang-orang yang melintasi gerbang juga tak akan melihatnya sebab terhalang barisan mobil lain. Ia melirik jam tangan, menurunkan tas hijau dari punggung hingga berdebum di aspal—pundaknya sontak lega—dan menyelipkan tangan ke dalam tas. Ujung telunjuknya menemukan sebuah tombol dingin. Ia menekannya. Bunyi klik! menceloskan jantung—ia cepat-cepat mendorong tas itu ke kolong sedan.

Tak muat. Entah tas terlalu penuh dan gemuk, atau kolong sedan terlalu rendah. Tas hijau tak muat dimasukkan ke kolong sedan, sekuat apa pun Maryam mendorong. Ia mencoba mendorongnya ke kolong mobil lain di sebelah: tak juga muat.

Napas Maryam sesak. Pelipisnya berdenyut-denyut. Ia berusaha tenang, melangkah menyusuri barisan mobil seraya mendekap tas hijau di dada, dan tatapannya terpaku pada sebuah mobil putih berkolong lumayan tinggi. Sejenak Maryam menoleh ke sekeliling: tak ada yang melintasi gerbang; si Sekuriti merokok seraya memandangi langit. Ia pun berjongkok di belakang mobil putih dan, saat hendak mendorong tas ke kolong, dari mobil tersebut keluarlah dua orang pria bule. Kerongkongan Maryam tercekat: kaca mobil gelap, sebelumnya tak terlihat siapa pun di dalam sana.

Kedua pria bule itu setinggi sekitar seratus delapan puluh sentimeter, berbaju tanpa lengan sehingga otot kekar mereka tampak, dan bermata kemerahan-berair. Pria yang keluar dari balik kemudi berkulit gelap dan botak; pria yang keluar dari jok sebelahnya berkulit pucat dan berambut keriting pirang. Bayangan mereka memanjang, menimpa Maryam yang masih berjongkok dan mendongak menatap wajah mereka.

Assala—Halo,” Maryam refleks berkata, terbata dan parau dan gemetar. Ia memaksakan senyum tetapi gagal; ia berdiri dan mendekap tasnya erat.

Kedua bule membalas salamnya. Lalu si Kulit Pucat mengucapkan sesuatu dalam bahasa Inggris yang tak Maryam pahami, menunjuk Maryam dengan telapak tangan kanan terbuka, rautnya bertanya-tanya bercampur curiga—begitupun raut si Kulit Gelap.

Maryam menelan ludah dan asal menjawab, “No, no ....

Kedua bule semakin bingung dan curiga. Si Kulit Gelap berbisik ke si Kulit Pucat, sesekali mencuri pandang ke Maryam. Mereka tak berdiri stabil; sesekali mereka kehilangan keseimbangan, dan salah satu kaki segera menguatkan pijakan. Sesaat hanya terdengar kendaraan-kendaraan melintas di depan gerbang dan sekawanan burung gereja melintas di langit. Tiba-tiba, kedua bule terbahak-bahak.

Maryam melangkah cepat meninggalkan mereka—si Kulit Pucat langsung berlari menghadangnya. Perempuan itu mendengar napas si Kulit Gelap di belakang; keringat dingin melengketkan gamis ke kulit punggungnya. Ia menoleh ke belakang, ke arah si Sekuriti, tapi terhalang buntalan otot lengan si Kulit Gelap.

Si Kulit Pucat mengucapkan sesuatu ke Maryam dengan senyum agak bersahabat. Dari intonasinya, kalimat itu adalah pertanyaan.

Maryam berhasil tersenyum tipis dan asal menjawab, “Yes. Yes.

Si Kulit Gelap mendadak menyodorkan sejumlah uang dan mengucapkan sesuatu. Maryam tak menjawab, kebingungan—kalimat si Kulit Gelap terdengar seperti penawaran yang ramah. Uang yang disodorkannya adalah lima lembar seratus ribu Rupiah. Si Kulit Pucat menimpali si Kulit Gelap, menunjuk uang dengan tangan terbuka, lalu menunjuk Maryam, lalu menunjuk uang lagi, dan begitu terus beberapa kali. Si Kulit Gelap menambahkan beberapa lembar seratus ribu Rupiah lagi, dan berkata sesuatu seraya menatap lekat mata Maryam. Entah bagaimana, tatapan itu terkesan kebapakan.

Maryam mempertahankan senyum tipisnya dan membalas, “Yes …?”

Kedua bule pun tersenyum lebar. Si Kulit Pucat menyambar tas hijau dari dekapan Maryam dan memasukkannya ke jok belakang mobil; si Kulit Gelap meletakkan uang ke genggaman Maryam dan merangkul pinggangnya. Perempuan itu mengernyit; bau alkohol dari mulut sang bule menggores hidung. Mendadak si Kulit Gelap menariknya secara bertenaga ke mobil hingga langkahnya terseret-seret—Maryam refleks menepis tangan si Kulit Gelap untuk melepaskan diri, mundur beberapa langkah, memekik, “Mau apa kalian?!”

Kedua bule melempar tatapan heran bercampur protes. Dingin menyebar di sekujur tubuh Maryam. Si Kulit Gelap mengatakan sesuatu dengan nada protes yang dibuat ramah, seraya menunjuk uangnya yang masih di tangan Maryam, lalu si Kulit Pucat menyambung dengan kalimat gertakan dan tinju teracung.

Maryam menoleh ke pintu masuk klub. Si Sekuriti menatapnya curiga, mengucapkan sesuatu lewat HT, sebelum melangkah cepat ke arah mereka.

Kedua bule menyadari kehadiran sang sekuriti dan panik. Mereka langsung memasuki mobil dan mesin menggeram; Maryam berlari ke gerbang; mobil putih melesat dan spionnya menghajar lengan perempuan itu; ia terjatuh dengan wajah menghantam aspal; uangnya tercecer.

“Kau baik-baik saja …?” kata seseorang yang berdiri di sampingnya.

Maryam berusaha menopang tubuh dengan siku. Angin bertiup. Tatapannya yang terpecah perlahan membaik: si Sekuriti bergerak cepat memunguti uang yang tercecer; detektor logam terayun di pinggangnya. Maryam pun berhasil berpijak dengan lutut, lengannya yang terhajar spion berdenyut-denyut.

“Kau baik-baik saja?” tanya si Sekuriti lagi, mendekati Maryam, merapikan tumpukan uang di tangan.

Maryam berdiri dengan kaki gemetar, mengangguk, dan menyeka debu di pakaian.

Si Sekuriti mengembalikan uang Maryam. Perempuan itu memasukkannya ke dompet batik cokelat, lalu melirik jam tangan—muntahan menyodok pangkal lidahnya. Si Sekuriti bertanya apa ia butuh bantuan, tapi Maryam tak menjawab dan segera berlari ke gerbang.

Maryam menyeberang ke minimarket. Di emperan, si Gadis Gelandangan duduk dan memakan roti dengan lahap, botol air mineral mengembun di pangkuannya. Gadis itu menyapa, tapi Maryam tak menjawab dan buru-buru membuka pintu minimarket, membeli handuk dan masker, dan meminjam kamar mandi. Dengan tatapan nanar, Maryam menghadap cermin, menjadikan handuknya jilbab, dan maskernya cadar.

Air matanya mendadak tumpah. Ia terduduk di lantai basah, terisak-isak, tersandar ke dinding; tepat di atasnya terentang tulisan: Apa yang kau berikan, akan kembali padamu.

Lima belas menit kemudian, saat melintas di depan masjid, sebuah mobil putih meledak.




*) Catatan: Cerpen ini dimuat di Kalam Sastra pada 24 Maret 2024.

Tidak ada komentar :