Sekonyong-konyong Lena menjerit
ketakutan di hadapan etalase itu. Orang-orang lain yang juga memenuhi Toko
Dapur Rupa pun terkejut, mematung sejenak, sebelum kemudian mengerumuni dirinya.
“Ada
apa, Nona?” tanya seorang pria paruh baya. “Kenapa Nona menjerit?”
Gadis
itu tiada menjawab. Napasnya berat, matanya membelalak, dan wajahnya mendadak
pucat.
“Nona
kenapa?” tanya si Satpam dengan cemas setelah berhasil masuk ke bagian terdalam
kerumunan. “Apa ada yang menyakiti Nona?”
Lena
tiada menyahut lagi.
“Tidak
kedua-duanya, Pak,” jawab seseorang. “Saya melihatnya sedari tadi hanya berdiri
menghadap etalase itu, lalu sekonyong-konyong menjerit.”
Si
Satpam pun memerhatikan etalase yang dimaksud. Di dalam etalase tersebut terpajang
berbagai macam pisau dapur. Satu-satunya yang mencolok di sana adalah sebilah
pisau dapur yang gagangnya terbuat dari emas asli, dipajang di tengah pisau-pisau
yang lain.
“Cuma
pisau-pisau yang dipajang,” kata si Satpam pada Lena. “Apa pisau-pisau itu yang
membuatmu menjerit, Nona?”
Sebetulnya
Lena ingin sekali menjawab. Namun ketakutan yang mendekapnya erat menyebabkan kekakuan
pada lidahnya. Akhirnya, ketakutan itu pun membuatnya pingsan di tempat.
***
Lena siuman tatkala pagi menyajikan suhu
rendah serta hujan yang berisik. Entah siapa yang mengangkutnya dari toko itu
ke kamar tidurnya.
Mendadak
benak Lena disusupi oleh citra itu lagi; citra yang diperolehnya begitu saja ketika
menatap pisau bergagang emas—di dalam sebuah etalase di Toko Dapur Rupa—itu. Citra
tersebut berjalan bagai adegan film: Seseorang
mengambil pisau bergagang emas itu dari dalam etalase dan menggunakannya untuk
menebas leher orang lain.
Lena
tak tahu siapakah si Pelaku pun si Korban sebab wajah mereka berdua sungguh tak
jelas, macam kena sensor-buram di layar televisi.
***
“Satpam di toko itu menghubungi ponsel
Ibu dengan ponselmu. Pastilah ia menemukan nomor ponsel Ibu di daftar kontakmu,”
kata ibunya ketika mereka berdua duduk menghadap meja makan. “Langsung saja Ayah
dan Ibu berangkat ke toko itu dengan mobil buat mengangkut kamu ke rumah.”
Lena
mengoleskan selai nanas ke selembar roti tawar di tangannya.
“Omong-omong,”
kata ibunya lagi, “kamu itu pingsan karena apa, sih?”
“Mungkin
saya hanya kelelahan,” jawab Lena.
“Hanya
kelelahan? Tapi, kata si Satpam, sebelum pingsan, kamu sempat menjerit.”
“Saya
baik-baik saja, Bu.”
“Jujurlah
pada Ibu, Lena.”
“Oh
ya, kemarin saya pingsan sebelum kelar memilih pisau dapur untuk dibeli. Apa
Ibu sekalian memilih dan membeli pisau dapur baru di toko itu waktu menjemput
saya?”
Ibu
Lena mengangguk.
“Baguslah
kalau begitu.” Kemudian segeralah Lena menghabiskan sarapannya yang berupa
selembar roti tawar itu, lalu pergi ke salon tempatnya bekerja, tanpa
memberikan ibunya kesempatan untuk menanyainya lebih perihal kejadian yang
kemarin.
***
Saat Lena bekerja, citra itu muncul lagi
di benaknya, sungguh mengganggunya.
“Kenapa
wajah Mbak agak pucat?” tanya Sita, wanita yang sedang dilayani Lena. “Sakit?”
“Agak
pucat?” Lena tertawa kecil. “Tidak, kok.”
“Coba
lihat di cermin.”
Lena
tak mau menatap cermin. Ia tetap menunduk, memotong rambut Sita.
Mendadak
Sita menjerit nyaring; Lena tak sengaja memotong daun telinga kanannya. Daun
telinga itu terpisah dari tempatnya, pertama-tama mendarat di pundak Sita,
kemudian jatuh ke lantai karena pundak itu berguncang hebat. Sudah tentu darah mengucur
deras dari lukanya.
“Maaf!
Maaf!” Lena memekik panik. “Saya tidak sengaja!”
Dalam
hati, Lena langsung memaki-maki dan mengutuki dirinya sendiri karena telah kehilangan
“fokus” gara-gara citra yang mengerikan itu.
Lena-lah
yang kemudian mengantarkan Sita ke rumah sakit, juga membayar seluruh ongkos pengobatannya.
Bagaimanapun besarnya usaha Lena untuk membantu Sita, hari itu juga ia dipecat
tanpa hormat, tanpa pesangon, dari salon tempatnya bekerja—dan ia tak
memberitahukan soal pemecatan itu pada orangtuanya.
***
Lena berdiri di hadapan etalase itu
lagi, menatap lekat-lekat pisau bergagang emas yang kemarin telah memunculkan
citra mengerikan itu di benaknya. Lena menduga bahwa citra tersebut adalah
pertanda bahwa pisau bergagang emas itu akan berperan dalam sebuah pembunuhan.
Aku harus mengamankannya agar tak ada
pembunuhan yang terjadi, batin Lena.
Sayangnya,
Lena tak punya cukup uang buat membelinya.
***
Pada tengah malam, Lena mengendap-endap
keluar dari rumahnya demi pergi ke Toko Dapur Rupa yang telah tutup. Seutas
kawat yang ujungnya ditekuk digunakannya untuk “mencurangi” lubang kunci pada
pintu—dan rupanya berhasil. Di dalam toko, tampaklah dua butir bohlam yang
menyala. Lena pun masuk dan menutup pintu dari dalam. Berdebar-debar hebat
jantung gadis itu sebab baru sekali ini ia hendak mencuri.
Entah
siapa yang dengan bodohnya membiarkan etalase yang satu itu tak terkunci,
sehingga beberapa detik kemudian pisau bergagang emas itu telah berada di
genggaman Lena.
Sekarang, harus kuapakan pisau ini?
Tiba-tiba
ada yang menyentuh pundak Lena dari belakang. Lena sontak memekik dan berbalik
seraya mengayunkan tangannya yang menggenggam pisau.
Si
Satpam pun megap-megap dan terbelalak. Darah mengucur deras dari luka tebas di
lehernya. Sesaat sebelum tumbang, ia muntah darah.
Lena hanya bisa memekik lagi. Senyaring-nyaringnya.
*) Cerpen ini dimuat di Bali Post pada tanggal 31 Juli 2016.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar