Ilustrasi oleh: IB Pandit Parastu
Cerpen ini dimuat di tatkala.co pada tanggal 7 Agustus 2016
Para pengunjung Taman Palakosa dibuat
menganga pada sore itu oleh kehadiran seorang pria bertubuh kekar yang wajahnya
abnormal; ia bermata tiga—mata ketiganya terletak di tengah dahi—tak berhidung,
dan tak bermulut—pada area di mana seharusnya hidung dan mulut berada, hanyalah
terdapat permukaan kulit yang rata.
Pria
itu amatlah terkenal di provinsi yang bernama Gopakopa ini. Namun tak ada yang
tahu bahwa dirinya ada di dunia nyata, sebab orang-orang hanya mengenalinya melalui
salah satu cerita rakyat Gopakopa.
“Jong
Arong!” salah seorang gadis yang berada di Taman Palakosa sontak memekikkan
nama tokoh cerita rakyat itu ketika Jong Arong melintas beberapa sentimeter di
depannya. Namun Jong Arong tak menanggapi pekikan itu; ia terus berjalan lurus.
Lensa-lensa
kamera para pengunjung taman begitu liar menelan gambaran dirinya, sementara
angin sibuk mengibarkan rambut hitamnya yang lurus, yang panjangnya hampir
mencapai pantat. Beberapa pengunjung Taman Palakosa menduga kuat bahwa pria itu
adalah salah seorang anggota suatu kelompok seni yang ingin membuat “pertunjukan
kejutan”.
Jong
Arong pun sampai di titik tengah Taman Palakosa dan berhenti melangkah,
kemudian duduk bersila dan memejamkan ketiga matanya—bermeditasi. Orang-orang
lalu pada mengerubunginya. Menjauhlah
kalian semua dariku! hardik Jong Arong. Karena ia tak mempunyai mulut—dan
sering lupa bahwa dirinya tak bermulut—kalimat itu hanya terdengar di batok
kepalanya. Dan, ia semakin panas
sebab siraman cahaya dari kamera para pengunjung taman semakin liar
menyerbunya, mengganggu konsentrasinya dalam bermeditasi. Mendadak ketiga
matanya membelalak. Dengan gerakan cepat, ia berdiri dan menangkap lengan
seorang wanita pengunjung taman yang memotretnya dengan kamera ponsel dari
jarak yang paling dekat. Ia lantas melempar wanita itu ke atas hingga menembus awan-gemawan dan tak kunjung turun
kembali*, seakan gravitasi sudah kadaluarsa.
Orang-orang
yang mengerubungi Jong Arong pun menjerit-jerit ketakutan dan berlari menjauhinya
secepat mungkin.
***
“Pada suatu hari, di sebuah desa di
bagian barat Gopakopa, hiduplah seorang wanita kaya yang bernama Pon Arong.
Wanita itu acap menghina orang-orang yang fisiknya cacat, alih-alih membantu
mereka dengan kekayaannya.” Kurang lebih seperti itulah kalimat pembuka yang
terlontar dari mulut para pencerita yang sedang menceritakan cerita rakyat Jong Arong. Dilanjutkan dengan,
“Suaminya yang bernama Ger Arong pun tak berbeda. Karena ketidakterpujian sifat
mereka, maka ketika Pon Arong melahirkan, yang keluar dari rahimnya adalah bayi
abnormal. Bayi itu bermata tiga—mata ketiganya terletak di tengah dahi—serta tak
memiliki hidung dan mulut. Bayi itu diberi nama Jong Arong.”
Sungguh
aneh sebab belum pernah ada seorang pendengar cerita rakyat Jong Arong pun yang menanyakan bagaimana
cara sang tokoh makan jika tak mempunyai mulut. Seandainya ada yang bertanya
seperti itu, pastilah sang pencerita tak bisa menjawab. Jadi, tak perlulah kau
menanyakannya.
***
Berita mengenai Jong Arong yang kini
berada di Taman Palakosa—dan sempat melempar seorang wanita ke langit hingga
tak kunjung turun kembali—sungguhlah menggegerkan masyarakat Gopakopa.
Apakah
berita itu membuat semua orang jadi tak berani berkunjung ke Taman Palakosa?
Rupanya tidak. Ada beberapa orang yang malah memutuskan untuk datang ke Taman
Palakosa demi melihat Jong Arong secara langsung. Dan, orang-orang itu tidak
akan dilempar ke langit—hingga tak kunjung turun kembali—oleh Jong Arong kalau
saja mereka menjaga jarak dan tidak mengganggunya dengan siraman cahaya putih
dari kamera masing-masing.
Apakah
setelah kejadian itu tak ada lagi yang berani berkunjung ke Taman Palakosa? Tidak
juga. Pada suatu pagi, aparat keamanan dikerahkan untuk mengamankan Jong Arong—yang
sedang bermeditasi. Kemudian, mereka yang hendak mengamankan Jong Arong pun
pada dilempar ke langit, hingga tak kunjung turun kembali pula.
***
Tak jauh dari desa tempat Jong Arong dan
keluarganya tinggal, terdapat sebuah gunung yang dinamai Kabut oleh masyarakat setempat,
tiada lain karena gunung itu diselimuti oleh kabut mahatebal. Jangankan
puncaknya, kakinya pun sulit untuk dijelajahi karena adanya kabut itu. Belum
ada seorang pendaki pun yang pulang setelah menembus tirai kabut di Gunung Kabut;
entah mereka mati atau …
Ketika
masih anak-anak, Jong Arong selalu diusili oleh anak-anak yang lain karena dirinya
tampak begitu buruk, melebihi para penderita cacat. Pon Arong dan Ger Arong tak
pernah membelanya, bahkan memedulikannya pun tidak, sebab sepasang suami-istri
itu sesungguhnya merasa malu akan anak mereka dan sebisa mungkin menunjukkan
kepada orang-orang bahwa Jong Arong bukanlah bagian dari keluarga mereka—meski
orang-orang sudah (terlanjur) mengetahui kenyataannya.
Suatu
malam, Jong Arong mendapat bisikan dari kekosongan.
Kekosongan menyuruhnya pergi ke
puncak Gunung Kabut. Ia merasa bisikan itu harus diikuti sebab tiap kali ia
mencoba untuk mengabaikannya, mendadak kepalanya terasa amat sakit.
Ketika
Jong Arong mengintip ke luar melalui jendela kamarnya, betapa terkejutnya ia karena
dirinya dapat melihat keseluruhan Gunung Kabut dengan amat jelas, meski gunung
itu diselimuti oleh kegelapan—selain kabut mahatebal. Konon, mata
ketiganya—yang terdapat di tengah dahinya—itu mendadak sakti sehingga dapat
melihat menembus kabut dan kegelapan. Maka, malam itu pula, Jong Arong berangkat
ke puncak Gunung Kabut. Sesampainya ia di puncak Gunung Kabut, kekosongan membisikinya lagi, menyuruhnya
bertapa selama puluhan tahun. Jong Arong menurut; itulah kenapa ia tak pulang
selama puluhan tahun—toh, kedua orangtuanya bahagia dengan kepergiannya,
sementara yang lainnya pada tak peduli.
Alih-alih
mengurus, tubuh Jong Arong malah mengekar. Bahkan rambutnya tidak menjadi
gimbal, melainkan lurus, sehitam malam, dan halus. Selain itu, Jong Arong diberikan
kekuatan fisik yang sangat dahsyat oleh dewa yang berkenan dengan tapanya!
Ketika
Jong Arong kembali ke desa tempat dirinya dilahirkan, ia langsung menghancurkan
sekujur desa itu beserta para penduduknya demi melampiaskan rasa sakit hati yang
lama terpendam, lantas menghilang entah ke mana.
Kini,
tempat di mana seharusnya desa itu berada telah menjadi sebuah danau angker.
***
Senja itu, seorang lelaki bertubuh kerempeng
terlihat menghampiri Jong Arong yang masih bermeditasi.
“Wah!
Berani sekali orang itu!” seru seseorang.
“Dia
sedang cari mati!”
“Hei!
Hati-hati!”
“Mundur!
Mundur!”
“Jangan
gegabah!”
“Awas!!!”
Lelaki
kerempeng itu berhenti empat meter di depan Jong Arong, lalu membusungkan
dadanya. Orang-orang semakin heboh ketika tiba-tiba saja sekujur tubuh sang lelaki
kerempeng diliputi kobaran api, namun ia maupun pakaiannya tak kunjung gosong.
Sadarlah orang-orang bahwa ia adalah …
“Kon
Tenga!” seorang wanita memekik.
“Si
Manusia Api ternyata benar-benar ada di dunia nyata, sebagaimana Jong Arong!”
seorang pria tua berseru.
***
Selain cerita rakyat Jong Arong, ada pula cerita rakyat Kon Tenga yang tak kalah populernya di
Provinsi Gopakopa.
Kedua
orangtua Kon Tenga adalah penyihir jahat yang menumbalkan Kon Tenga bayi dalam sebuah
ritual; ia dilemparkan ke sebuah sumur yang penuh oleh kobaran api. Sayang, ritual
tersebut gagal; kedua orangtua Kon Tenga mati, sebagaimana api yang
berkobar-kobar di dalam sumur itu, tetapi tidak dengan Kon Tenga bayi. Keesokan
harinya, ia dipungut oleh dua orang petani—sepasang suami-istri—miskin yang
kebetulan lewat dan mendengar tangisannya yang berasal dari dasar sumur.
Kon
Tenga diketahui memiliki kekuatan istimewa—memunculkan kobaran api dari
tubuhnya—ketika ia berusia 7 tahun.
Di
akhir cerita, Kon Tenga, yang sudah hampir dewasa, membakar ayah dan ibu
tirinya karena ia marah akibat sedari kecil diperintahkan terus untuk membakar
ladang milik petani-petani lain sehingga jumlah segala hasil ladang di pasar
menipis drastis, dan kedua orangtua tirinya dapat menjual hasil ladang mereka
dengan harga selangit—dan pasti laku.
***
“Pergilah dari sini, Jong Arong!” bentak
Kon Tenga. “Aku juga ingin bermeditasi di titik tengah taman ini! Kalau kau
tidak mau pergi, ayo kita bertarung!”
Mendadak
ketiga mata Jong Arong membelalak.
***
Aku adalah seorang astronaut. Hari ini,
dari ruang angkasa, aku menyaksikan Bumi meledak laksana balon pecah!
Catatan:
*) Meminjam salah satu adegan
di novel Kitab Omong Kosong (Bentang
Pustaka, 2004) karya Seno Gumira
Ajidarma.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar