Seluruh penduduk Desa Polepa kini merasakan
buah dari selalu absennya mereka dalam bersembahyang: menyebarnya berbagai penyakit
mematikan—yang tak bisa ditangani oleh mantri terbaik sekalipun—dan kegagalan
panen bertubi-tubi. Padahal, sudah sedari lama seorang pria tua bernama Nor
Domat mengingatkan seluruh penduduk Desa Polepa, dengan mendatangi rumah mereka
satu per satu, untuk tidak lupa bersembahyang, sebab bisa-bisa Tuhan kecewa,
lantas menjatuhkan kesengsaraan ke Desa Polepa. Namun yang Nor Domat peroleh adalah
pengusiran demi pengusiran sebab peringatan darinya dianggap omong kosong. Semua
orang Polepa yang pada miskin itu merasa lebih baik bekerja untuk mencari uang ketimbang
buang-buang waktu untuk bersembahyang. (Sesungguhnya, dulu mereka pada rajin bersembahyang.
Tapi karena mereka tetap saja miskin meski sudah bersembahyang berkali-kali, mereka
pun tak lagi sudi bersembahyang.)
Berkat
kesengsaraan yang kini menghujan, Nor Domat mendapatkan kepercayaan dari para
penduduk Desa Polepa; terbukti dengan datangnya mereka—beramai-ramai—ke rumah pria
tua itu demi meminta solusi atas segala masalah yang menimpa.
“Sudah
kuingatkan sedari dulu untuk jangan lupa bersembahyang!” bentak Nor Domat.
“Tapi kalian malah mengusirku dan menganggap peringatanku sebagai omong kosong!”
“Tolonglah
kami! Kami menyesal! Mulai sekarang, kami akan selalu mendengarkan nasihat-nasihatmu!”
Sebab
kesakithatian—buah dari pengusiran-pengusiran yang dulu diperolehnya—itu masih
bersemayam di hati Nor Domat, tetapi ia ingin membantu para penduduk Desa
Polepa, ia pun berkata, “Ikuti saja segala hal yang kulakukan!” kemudian menutup
pintu dengan keras di hadapan mereka.
***
Keesokan harinya, salah seorang penduduk
Desa Polepa dikirim untuk mengamati-secara-diam-diam segala kegiatan Nor Domat
di dalam rumahnya—melalui jendela, lubang udara, dan lain-lain—seharian penuh, dan
mencatat kegiatan-kegiatan itu sedetail mungkin di sebuah buku catatan. Ya,
sedetail mungkin! Mulai dari seberapa sering Nor Domat bersembahyang, bagaimana
sikapnya saat bersembahyang, bahkan hingga bagaimana cara ia membersihkan pantatnya
seusai buang air besar! Sesungguhnya, Nor Domat tahu bahwa dirinya diamati-secara-diam-diam
seharian penuh, tetapi ia memilih untuk pura-pura tidak tahu.
Di
hari-hari tertentu kala Nor Domat pergi ke sebuah hutan untuk bermeditasi, ada
pula seorang penduduk Desa Polepa yang dikirim untuk mengamatinya-secara-diam-diam—tentu
saja orang Polepa itu membawa sebuah buku catatan dan alat tulis.
Akhirnya,
tercatatlah segala kegiatan Nor Domat selama satu minggu penuh. Catatan itu pun
segera diperbanyak, kemudian disebarkan ke seluruh penduduk Desa Polepa yang
sudah bisa membaca. Dan, satu hari setelah catatan yang diperbanyak itu disebar,
para penduduk Desa Polepa mulai melakukan segala hal yang Nor Domat lakukan.
***
Ketika Nor Domat tiba di hutan itu buat
bermeditasi, sungguhlah terkejut dirinya sebab mendapati para penduduk Desa Polepa
telah berkumpul di sana untuk bermeditasi pula.
Ketenangan
yang biasa didapatnya saat bermeditasi pun tak lagi ada karena sebagian besar
penduduk Desa Polepa yang berada di hutan itu tidak bisa fokus selama bermeditasi,
lalu pada krasak-krusuk. Nor Domat memutuskan
untuk menganggap ketidaktenangan itu sebagai tantangan dalam bermeditasi. Sayangnya,
ia gagal menaklukkan tantangan itu dan merasa geram karenanya.
Sebab
kejadian semacam itu terulang-ulang terus di kemudian hari, terulang-ulang
terus pula kegagalan Nor Domat dalam mengatasinya,
ia pun bertekad untuk merusak kepercayaan para penduduk Desa Polepa terhadap
dirinya.
***
Suatu hari, seorang gadis mengatakan
bahwa dirinya diperkosa oleh Nor Domat. Alih-alih bersedih dan merasa ternodai,
gadis itu malah bahagia sebab merasa telah dikaruniai.
Padahal, Nor Domat melakukan pemerkosaan itu agar dirinya dianggap tak baik
oleh para penduduk Desa Polepa dan kehilangan kepercayaan mereka. Kalau
kepercayaan itu sudah hilang, tentu saja mereka tak akan mengikuti segala
kegiatannya lagi—Yang terpenting dari
semuanya, aku akan mendapatkan ketenanganku kembali saat bermeditasi, pikir
Nor Domat.
Ketika
berita itu telah menyebar di sekujur Desa Polepa, terjadilah apa yang disebut “kawin
massal”—itu hanya terjadi pada orang-orang yang alat reproduksinya sudah
berfungsi. Apa yang ada di pikiran mereka adalah Tuhan, melalui Nor Domat,
mengisyaratkan bahwa orang-orang Polepa harus segera melanjutkan keturunan dikarenakan
sudah banyak yang mati berkat berbagai penyakit mematikan yang menyebar. Dan,
kepercayaan mereka terhadap Nor Domat tidaklah lenyap sama sekali.
Nor
Domat hanya bisa mendesah kecewa begitu mengetahui usahanya gagal. Tapi itu baru usaha pertama, batinnya.
Keesokan
harinya, seseorang mengumumkan, “Nor Domat telah membunuh seorang pria di
pasar!” Kebetulan sekali, pria yang dibunuh oleh Nor Domat itu adalah seorang
preman. Apa yang para penduduk Desa Polepa pikirkan adalah Tuhan, melalui Nor
Domat lagi, mengisyaratkan bahwa para preman yang telah membikin resah mesti dimusnahkan
karena dosa mereka terlampau banyak. Maka, beberapa saat setelah berita tentang
pembunuhan-yang-dilakukan-Nor Domat itu menyebar di sekujur Desa Polepa, preman-preman
di desa itu pun pada dibantai oleh orang-orang yang selama ini merasa diresahkan.
***
Sehari setelah pembantaian terhadap preman-preman itu, seseorang menemukan mayat Nor Domat mengambang di danau.
Tak
ada yang tahu bahwa pada hari ketika para preman dibantai, saudara kembar
preman-yang-Nor Domat-bunuh-di pasar berhasil masuk ke kediaman Nor Domat
secara sembunyi-sembunyi—setelah berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian
itu—lantas, dari belakang, mencekik pria tua itu hingga tewas. Selanjutnya,
secara sembunyi-sembunyi pula, ia menyeret-membuang jasad Nor Domat ke danau, lalu
melarikan diri entah ke mana.
Para
penduduk Desa Polepa berpikir bahwa kematian Nor Domat adalah sebuah isyarat
dari Tuhan. Yang Mahabesar menganggap
dosa-dosa seluruh orang Polepa sudah terlampau banyak dan tak dapat diampuni
lagi, sehingga sebaiknya mereka mati saja sebelum semakin banyak menciptakan
dosa di dunia ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar