Ilustrasi oleh: Surya Gemilang
Nyonya heboh sekali pagi itu. Pasalnya, ia baru saja menerima sebuah paket—yang diantar oleh seorang kurir—dengan nama pengirim: Tuhan. Paket itu berupa kotak kardus yang panjang tiap rusuknya sekitar 60 cm, sekujurnya diliputi plastik segel, dan berisikan sesuatu yang tidak berat—kutahu karena Nyonya dapat mengangkatnya dengan mudah.
“Mungkin
pengirimnya cuma orang iseng,” Tuan berkata di tengah kemuakannya terhadap
kehebohan Nyonya. “Lebih baik dibuang saja.”
“Tapi,
Papa, bagaimana kalau paket ini memang dari Tuhan?”
“Memangnya
buat apa Tuhan mengirimi kita paket?”
“Sebagai
kejutan? Bukankah Tuhan menyukai kejutan?”
Tuan
memutar kedua bola matanya. “Terserah Mama sajalah. Papa enggak ada waktu buat berdebat.”
Tuan pun mencium kening Nyonya sebelum berlalu ke kantor, berjalan kaki.
Dan,
seperti yang sudah kuduga, Nyonya lantas meletakkan kotak kardus itu di lantai,
di samping aku yang sedang berbaring, kemudian berkata, “Menurutmu, apa isi
dari kotak kardus ini?”
“Kenapa
tidak dibuka saja?” jawabku, tetapi tentu saja Nyonya tidak mengerti bahasa
anjing, sehingga ia mengganggap jawabanku sebagai sekadar gonggongan.
“Apa
menurutmu pengirim paket ini benar-benar Tuhan?” lanjutnya, sembari merobek
plastik segel yang meliputi kotak kardus itu.
“Entahlah.”
“Sebenarnya
aku ingin membuka kotak kardus ini. Tapi bagaimana kalau di dalam kotak kardus
ini ada sesuatu yang berbahaya, entah itu dari Tuhan sungguhan atau dari orang
iseng yang memakai nama Tuhan?” Nyonya terdiam sebentar. “Oh, anjing yang
manis, bisakah kau mengendus isi dari kotak kardus ini? Mungkin kau bisa mengendus
adanya bahaya?”
Mengendus
adanya bahaya? Memangnya, bagaimanakah aroma bahaya? Konyol betul. Namun, sekonyol apa pun, toh akhirnya aku bangun dan
mengendus-endus kotak kardus itu.
Sepuluh
detik. Dua puluh detik. Tiga puluh detik.
Aneh.
Tidak ada bau apa pun yang kutangkap dari dalam kotak kardus itu, padahal sudah
tiga puluh detik aku mengendus-endusnya. Yang kucium hanyalah aroma kardus, yang
berarti kotak kardus tersebut terbuat dari kardus biasa.
“Bagaimana?”
tanya Nyonya.
Aku
menggeleng.
***
“Jadi, Mama takut membuka kotak kardus
ini?” ucap Tuan—yang baru datang dari kantor—seraya melepas sepatu-kaus
kakinya, kemudian duduk bersila di lantai, menghadap kotak kardus itu. “Kalau
begitu, biar Papa yang membukanya.”
“Tunggu
dulu, Papa!”
“Kenapa,
sih?”
“Terlepas
ini dari Tuhan atau bukan, yang jelas isinya adalah sesuatu yang enggak biasa.
Buktinya, anjing peliharaan kita enggak bisa mengendus isi dari kotak kardus
ini!”
Aku
menggonggong, mengonfirmasi kebenaran kalimat Nyonya.
Tuan
menghela napas sejenak. “Anggaplah paket ini memang dari Tuhan … Berarti, isi
dari kotak kardus ini adalah hal-hal yang kita harapkan selama ini, kan?”
“Atau,”
sambung Tuan cepat, “bisa jadi isinya adalah karma-karma kita.”
Seketika
Nyonya pucat dan berkeringat dingin. Mungkin ia teringat akan dosa-dosanya; salah
satunya, yang kutahu, adalah perselingkuhannya dengan tetangga sebelah yang berlangsung
setiap Tuan berada di kantor—termasuk hari ini, beberapa jam yang lalu.
Tuan
pun pucat dan berkeringat dingin gara-gara kalimatnya sendiri. Tiba-tiba aku
teringat akan salah satu dosa besarnya: Tuan pernah membunuh seorang rekan
kerjanya—beberapa minggu yang lalu—di rumah ini, dengan cekikan yang kuat, dan
mengubur mayatnya di halaman belakang. “Jangan kau beri tahu siapa-siapa,
dengan cara apa pun, soal pembunuhan yang kulakukan, atau kau akan mati juga,
Anjing,” ancam Tuan, sesaat setelah selesai mengubur mayat rekan kerjanya. Pada
hari itu, kebetulan Nyonya sedang menginap di rumah sakit, menemani ibunya yang
terserang demam berdarah, sehingga ia tak tahu apa-apa perihal pembunuhan yang
dilakukan oleh suaminya.
“Kupikir
paket ini tidak mungkin berisi karma-karma kita,” Nyonya berkata, memecah keheningan
singkat yang sempat muncul, dan bisa jadi kalimatnya itu hanyalah penenang. “Kalau memang berisi
karma-karma, kenapa Tuhan enggak menurunkannya secara langsung kepada kita?
Kalau melalui paket macam ini, kan, bisa saja kita membuangnya.”
“Maksud
Mama, isi dari kotak kardus ini sudah pasti hal-hal yang kita harapkan?”
“Mungkin
saja.”
“Kalau
begitu, kenapa enggak kita buka saja sekarang?”
“Tunggu!”
Nyonya pun mengguncang-guncang kotak kardus itu, lalu berkata, “Ah, enggak ada
yang menangis di dalamnya.”
“Eh?
Menangis?”
“Ya.
Aku, kan, mengharapkan bayi sejak hari pernikahan kita tujuh tahun yang lalu, tapi
hingga kini harapan itu belum bisa
Papa kabulkan. Kalau enggak ada yang menangis di dalam kotak kardus ini,
padahal sudah kuguncang-guncang, berarti isinya bukan bayi, kan?”
Tuan
mendecak. Rupanya, wajahnya memerah karena kalimat itu. “Biar jelas, kita buka
saja sekarang.”
“Jangan!
Bagaimana kalau isinya memang karma-karma kita … atau sesuatu yang lebih buruk,
semisal kematian?! Kematian, kan, juga berasal dari Tuhan!”
“Intinya,
kotak kardus ini mau dibuka atau enggak?!”
Nyonya
tak berkalimat. Ia hanya lekat menatap mata Tuan.
“Baiklah,
Mama, kita buang saja paket ini!”
“No, Papa!”
Tuan
pun mendengus kesal dan segera meninggalkan Nyonya bersama aku dan kotak kardus
itu. Beberapa detik kemudian, Nyonya melangkah menyusul Tuan.
***
Keesokan paginya, seusai sarapan, kami
bertiga kembali duduk mengelilingi kotak kardus itu.
Tuan
berkata, “Bagaimana kalau kita angkat sedikiiit
saja tutup kotak kardus ini, lalu intip isinya?”
“Bagaimana
kalau isi dari kotak kardus ini langsung menyeruak keluar, meskipun tutupnya diangkat
sedikit saja?” balas Nyonya. “Kalau isi dari kotak kardus ini adalah sesuatu
yang baik, ya enggak masalah. Kalau isinya adalah sesuatu yang buruk?”
Tuan
mendecak kesal. Sesaat, ia memerhatikan jam dinding, mungkin sekadar memastikan
bahwa dirinya masih mempunyai waktu—untuk berurusan dengan paket dari Tuhan dan
istrinya—sebelum mesti berangkat ke kantor.
“Bagaimana
kalau kita suruh orang lain untuk membuka kotak kardus ini, Mama?”
“Jangan!
Kalau isi dari kotak kardus ini adalah sesuatu yang bagus, bagaimana?! Jadinya,
kan, enak di orang lain itu?!”
“Kalau
isinya adalah sesuatu yang bagus, kita bagi-bagi saja dengan orang lain itu!
Apa salahnya?! Toh, dia sudah membantu kita dengan membukakan kotak kardus ini!
Lagi pula, kalau ternyata isinya adalah sesuatu yang buruk, kan, bisa jadi dia
juga dapat bagian!”
“Jadi,
Papa mau berbagi keburukan dengan orang lain, nih?”
“Jadi,
Mama enggak mau berbagi kebaikan dengan orang lain, heh?!”
Tiba-tiba
Nyonya menampar pipi Tuan. “Jangan bicara sembarangan, Papa!”
“Aku
berbicara benar!”
Nyonya
menampar pipi Tuan lagi. “Itu enggak benar!”
Lalu
Tuan berteriak marah. Keras sekali.
Dengan
bertengkarnya mereka berdua, “neraka” pun hadir ke rumah ini. Atau,
jangan-jangan, paket itulah yang sesungguhnya menghadirkan “neraka”?
***
Aku berbaring di samping kotak kardus
itu sembari mereka-reka apa isinya—diam-diam, aku sama penasarannya dengan
kedua majikanku. Seraya sibuk mereka-reka, samar-samar kudengar desah-desahan
tak beraturan dari arah kamar. Desah-desahan itu sudah biasa kudengar jikalau
Nyonya sedang berselingkuh dengan si Tetangga. Tetapi, ada suara lain yang kemudian
kudengar: gerbang yang dibuka. Aku lantas berlari menuju gerbang, dan, di sana,
kudapati Tuan yang tumben-tumbennya sudah pulang dari kantor sebelum pukul enam
sore.
Sekarang
masih pukul tiga sore … dan bakal ada yang mampus.
***
Entah di mana atau bagaimana bisa Tuan
mendapatkan sepucuk pistol … Yang jelas, pistol itu dikeluarkannya dari saku
celana dan ditodongkannya ke si Tetangga.
“Jangan
kira selama ini aku enggak tahu apa yang kaulakukan dengan istriku,” kata Tuan
pada si Tetangga. “Aku hanya pura-pura enggak tahu sembari menunggu waktu yang
tepat. Dan, sekaranglah waktu yang tepat itu.”
Si
Tetangga melangkah mundur perlahan-lahan sembari mengangkat kedua tangannya. Ia
telanjang bulat—tak sempat berpakaian—dan begitu pucat, sebagaimana Nyonya yang
berdiri di belakang Tuan sembari menangis dan berkali-kali berkata, “Jangan
lakukan itu, Papa!”
Aku
menggonggong-gonggong pada si Tetangga, bermaksud memberitahukannya bahwa jika
ia terus melangkah mundur, paket dari Tuhan yang sedari kemarin dibiarkan
terletak di lantai itu akan membuatnya tersandung.
“Berhenti
bergerak, Tetangga!” perintah Tuan. “Dan jongkok!”
Si
Tetangga lalu berjongkok, batal tersandung, dan meletakkan kedua tangannya di
belakang kepala—jarak 30 cm terentang di antara punggungnya dan paket dari
Tuhan. “Ampuni aku!” ucapnya. “Kumohon! Laporkanlah perbuatan hinaku ini ke
siapa saja! Tapi, jangan bunuh aku!”
Tuan
turut berjongkok, menyejajarkan dirinya dengan si Tetangga. “Persetan dengan
nyawamu!” teriaknya, sebelum menarik pelatuk.
Rupanya
si Tetangga mampu bergerak sangat cepat; ia berhasil mengelak ke samping. Peluru
dari pistol Tuan pun menyambar paket dari Tuhan dan menciptakan sebuah lubang
di salah satu sisi kotak kardus itu. Tuan hendak menembak sekali lagi, namun sekonyong-konyong
dari lubang peluru di kotak kardus tersebut terpancar cahaya keemasan yang begitu
menarik perhatian, sampai-sampai perhatian Tuan dan Nyonya terhadap si Tetangga
terenggut total.
“Cahaya
apa itu, Papa?” ucap Nyonya, gemetaran.
“Cahaya
dari Tuhan, mungkin?”
Tanpa
berbicara lebih, Tuan dan Nyonya langsung membuka kotak kardus itu, mencari
tahu apa isinya. Dan, memandangi isi dari kotak kardus tersebut, mereka berdua
sontak terpana selama beberapa detik sebelum serempak menangis dan berpelukan. Kesempatan
ini digunakan oleh si Tetangga untuk kabur ke luar—tak peduli dirinya masih
telanjang bulat—tanpa disadari oleh Tuan pun Nyonya.
Alih-alih
menggonggongi atau mengejar si Tetangga sebagai wujud
kesetiaan-terhadap-majikan, aku melangkah mendekati kotak kardus yang telah
dibuka itu dan melihat isinya.
“Percayakah
Mama dengan apa yang kita dapatkan dari Tuhan?” tanya Tuan pada wanita di
pelukannya, sesenggukan.
“Enggak,”
jawab Nonya, sesenggukan pula
Tapi, nyatanya, Tuhan terlampau baik. Ia masih menyisakan sejumput keajaiban yang indah, untuk para pendosa berat—macam kedua majikanku—sekalipun. Yah, meski mesti hadir “neraka” pula … Tapi, bukankah “neraka” itu tidak hadir dengan sendirinya?
*) Cerpen ini dimuat di Litera pada tanggal 31 Agustus 2016.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar