Tarom akhirnya menerima Surat Peringatan
Penggusuran dari pemimpin Penjaga Tanah Negara. Sehari kemudian, Tarom mengumpulkan
para kepala keluarga di dalam rumahnya yang tak luas itu. “Mulai besok,” kata
Tarom di hadapan para kepala keluarga yang duduk berdesak-desakkan menghadap
dirinya, “setiap keluarga wajib menyumbangkan seperdelapan dari uang penghasilan
hariannya kepadaku. Uang itu akan kugunakan buat mengusir pasukan Penjaga Tanah
Negara yang, berdasarkan isi Surat Peringatan Penggusuran, akan datang kemari
sebulan lagi untuk menggusur permukiman kita!”
Beberapa
jenak, semua hening, ketakutan menatap hari depan.
“Bagaimana
bisa kau menggunakan uang kami untuk mengusir mereka?” kau bertanya tiba-tiba,
memecah hening.
“Aku
akan membuat sebuah senjata,” jawab Tarom, dingin. “Sebuah senjata yang tak
akan pernah dibayangkan oleh siapa pun.”
***
Sebagaimana aku, sebagian besar orang
yang telah mendengar rencana Tarom—secara langsung maupun tak langsung—pun ragu
dengan rencananya. Memangnya, ia mempunyai ilmu untuk membikin senjata macam
itu? Bukankah dulu ia tak tamat SD?
Namun,
kami tetap menyumbangkan seperdelapan dari uang penghasilan harian keluarga
kami kepada Tarom, sebab kami berusaha untuk percaya padanya, terlebih karena pria
berusia 43 tahun itu adalah pemimpin di permukiman—yang terletak di bantaran
Sungai Cisatoke—ini; orang yang berkali-kali sudah, sebelum dan sesudah kami
angkat jadi pemimpin, menuntaskan berbagai permasalahan-yang-berkaitan-dengan-permukiman-liar-ini
dengan pihak-pihak luar.
Seminggu
setelah sistem pungutan harian itu berjalan, Tarom terlihat pulang membawa sebuah
kotak kardus. Isinya pasti berat sekali, karena Tarom yang menggendongnya sampai
tampak begitu tersiksa.
“Aku
tak perlu bantuan,” sahutnya ketika kutawari bantuan untuk mengangkat kotak
kardus tersebut.
Pada
hari-hari selanjutnya, Tarom terlihat lagi pulang membawa kotak-kotak kardus
berisi sesuatu yang berat. Rupanya, bukan cuma bantuanku saja yang ia tolak;
ketika yang lainnya pada menawari bantuan buat mengangkat kotak-kotak kardus itu,
bantuan dari mereka pun ditolak. Penolakan-penolakan itu kemudian menimbulkan
kesan rahasia—membuat kami penasaran
betul dengan isi dari kotak-kotak kardus tersebut, dan senjata macam apa yang
akan Tarom buat dengannya.
“Sekarang
ini, kalian tidak perlu tahu soal senjata apa yang kubuat,” jawab Tarom—kutanya
ia saat aku menemuinya di depan rumahnya untuk menyerahkan seperdelapan dari
uang penghasilan keluargaku. “Nanti kau dan yang lainnya pasti akan tahu.”
“Kalau
begitu,” sambung salah seorang kawanku—yang juga datang untuk menyerahkan uang
sumbangan, “bolehkah kami masuk ke dalam rumahmu dan melihat proses pembuatan
senjata itu?”
“Tidak
boleh! Pokoknya, proyek-pembuatan-senjata itu rahasia untuk sementara ini!”
Dan,
kabar soal kerahasiaan
proyek-pembuatan-senjata itu pun menyebar dengan cepat di sekujur permukiman
kami, lantas membuat semuanya—kecuali Tarom, tentu saja—pada penasaran.
“Seandainya
Tarom tinggal bersama istri, atau anak, atau siapa saja di dalam rumahnya,”
ucap istriku pada suatu malam, “kita pasti akan dengan mudah mengetahui apa
yang sebenarnya sedang Tarom kerjakan di dalam sana. Kita, kan, jadi bisa
bertanya pada anggota keluarganya yang lain.”
Ketika
hari penggusuran tinggal seminggu
lagi, terjadilah sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang mengerikan itu menimpa Joni
Kecil, anak laki-lakiku satu-satunya. Sesuatu yang mengerikan tersebut
berhubungan dengan proyek-pembuatan-senjata Tarom.
***
Kau pernah berkata bahwa kau ingin hidup
hingga usia 90 tahun—sebenarnya, hanya karena kau menyukai angka itu. Tapi kau
mati ketika kau berusia 9 tahun oleh sebab keingintahuanmu yang berlebihan.
Sore
itu kau tak lagi bersama kawananmu. Kau pergi, seorang diri, secara diam-diam, ke
arah rumah Tarom. Setiap rumah di permukiman itu tak mungkin dindingnya tak
terbuat dari triplek-berlubang, termasuk rumah Tarom. Melalui lubang-lubang
yang ada, kau mengintip ke dalam rumah Tarom, ke setiap ruang yang mampu matamu
jangkau. Tidak pernahkah ada orang lain
yang mengintip ke dalam rumah Tarom seperti aku? pikirmu sesaat. Kau tidak
tahu bahwa sudah banyak orang yang berbuat seperti itu. Hanya saja kau berbeda;
kau beruntung. Kau mengintip ke dalam rumah Tarom, tepatnya ke dalam kamarnya,
di saat yang benar-benar tepat: senjata yang sedang dalam proses pembuatan itu
sedang tak ditutupi dengan selembar kain karena Tarom sedang sibuk mengerjakannya.
Sedetik.
Dua detik. Tiga detik. Tatapanmu, yang terarah ke senjata itu, mendadak kosong.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundak kau; itu adalah ibumu. Kau sama sekali tak
dikejutkan oleh tepukan itu; kau sama sekali tak menoleh ke arah ibumu.
Baru
saja ibumu hendak berkata, Tarom sudah terlebih dahulu, dari dalam kamarnya,
berteriak, “Hei! Jangan mengintip!” Dan dengan sendirinya tahulah ibumu akan
apa yang sedang kaulakukan sedari tadi.
Tahu-tahu
kau berteriak, “Gigi Tuhan tinggal dua!!!” lantas berlari, berlari, berlari,
menuju tepi Sungai Cisatoke—tak jauh, tentu saja, karena di bantarannyalah
permukiman kau dan yang lainnya berada. Berkat keterkejutannya, ibumu tak
langsung mengejarmu. Saat kau sudah berada di tepi Sungai Cisatoke dan
mengambil sebongkah batu seukuran bola basket yang lumayan berat, barulah ibumu
berlari ke arahmu. Ketika akhirnya kau menghantamkan batu itu ke
kepalamu—hingga terluka parah—dan kau terhuyung-huyung lalu tercebur ke Sungai
Cisatoke yang arusnya sedang tak ramah, ibumu pun, dan siapa pun yang melihat
kejadian itu, reflek memekik nyaring.
Tarom
terlihat muncul dari balik pintu rumahnya tepat ketika kau tercebur ke Sungai
Cisatoke. “Tuhan memang sudah tua!” teriaknya dari tempat ia berdiri, tanpa
merasa bersalah sedikit pun atas kematianmu.
***
Berkat ibunya, tersebarlah kabar
kematian Joni Kecil dan apa yang sebelumnya ia lakukan—sebelum nekat mencari
ajal—ke seluruh keluarga yang tinggal di bantaran Sungai Cisatoke. Segera
sajalah mereka berpikir bahwa senjata yang sedang Tarom kerjakan itu mengandung
suatu ilmu hitam; sebuah pemikiran
yang sama sekali tidak ilmiah, tidak intelek, dan sebaiknya tidak usah
kaupusingkan.
Tapi,
pemikiran itu kemudian—tiga hari sebelum hari
penggusuran—semakin diamini berkat bunuh dirinya seorang pria—yang juga
tinggal di bantaran sungai itu—yang, sebelum bunuh diri, kedapatan sedang
mengintip ke dalam kamar Tarom melalui salah satu lubang pada dinding rumahnya.
Pria tersebut bunuh diri dengan cara yang tak berbeda jauh dengan yang Joni
Kecil lakukan. Dan, sebelum lari dari rumah Tarom, ia berteriak, “Tuhan sudah
osteoporosis!”
Orang-orang
lain yang sebelumnya sempat mengintip ke dalam rumah Tarom, tetapi pada saat
yang tidak tepat, pun benar-benar bersyukur.
***
Hari penggusuran tiba. Pasukan Penjaga Tanah Negara tiba pula ke
permukiman yang terletak di bantaran Sungai Cisatoke itu pada pukul 10 pagi.
Alat-alat penghancur pun sudah terlihat di tangan mereka. Dan, para penduduk di
sana hanya bisa berdiri di luar rumah, menatap mereka dengan tatapan iba yang
sia-sia.
“Kalian
semua sepertinya ingin bersenang-senang dengan kehancuran,” kata pemimpin
Penjaga Tanah Negara dengan volume suara tinggi, membikin para penduduk di
permukiman itu semakin ketakutan.
Kemudian
aku tersadar, ada satu orang yang belum terlihat: Tarom. Di manakah ia?
Sekonyong-konyong
pintu rumah Tarom dibuka dari dalam. Tarom keluar dengan gagah-berani, tak lama
kemudian berdiri di hadapan pasukan Penjaga Tanah Negara.
“Kalian
semua sepertinya ingin bersenang-senang dengan kehancuran,” kata Tarom dengan
dingin, kemudian melangkah kembali ke rumahnya.
Beberapa
detik kemudian, Tarom keluar lagi dari rumahnya, kali ini dengan senjata itu di tangannya …
***
Tumben-tumbennya suamiku pulang tanpa
mengetuk pintu terlebih dahulu. Ah, mungkin ia lupa saking lelahnya—sebab, tadi
ia baru saja mendapat tugas untuk turut serta dalam penggusuran permukiman di
bantaran Sungai Cisatoke.
“Makan
siang sudah siap, Sayang,” ucapku.
Suamiku
tak menjawab. Ia hanya melangkah ke meja itu—bukan meja makan—menarik lacinya,
dan mengambil sekotak paku payung dari sana. “Rupanya rambut Tuhan sudah rontok,”
ucapnya dengan datar sebelum membuka kotak paku payung itu … dan menelan semua
isinya.
***
Parjo, pria yang tergabung dalam Penjaga
Tanah Negara itu, terlihat melangkah tertatih-tatih di jalan, menuju rumahnya. Aku
yang sedang duduk di beranda sambil menikmati udara siang sengaja
memerhatikannya karena tumben-tumbennya Parjo seperti itu; biasanya ia melangkah dengan tegap dan gagah.
Sampai
di depan pintu rumahnya, alih-alih memasukkan kunci ke lubangnya, ia malah berteriak,
“Tuhan hampir lumpuh!!!” dan membentur-benturkan kepalanya ke gagang pintu,
dengan teramat keras, hingga …
***
Badri, pemimpin Penjaga Tanah Negara,
ditemukan tewas di kamarnya dengan kondisi mengenaskan: sebatang garpu menusuk
mata hingga otaknya. Pihak kepolisian hanya menemukan sidik jari Badri seorang
di garpu itu.
***
Tuan Gubernur mendapat laporan bahwa
Penjaga Tanah Negara kehilangan seluruh anggotanya yang ditugaskan di bantaran
Sungai Cisatoke.
***
Air Sungai Cisatoke tampak begitu merah.
Begitu merah.
*) Cerpen ini dimuat di Bali Post pada tanggal 22 Januari 2017.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar