Kau tak pernah tahu bahwa atmaku merasuki
cangkir kopi yang bibirnya selalu kaukecup berkali-kali tiap pagi. Yah, mumpung
pintu akhirat belum terbuka buat atmaku, apa salahnya kalau aku menunggu di
cangkir kopimu untuk entah berapa lama? Toh, kaulah yang membikinku mati
sebelum ajalku yang sesungguhnya tiba. Tapi tak apa, aku tak marah padamu—lagi
pula, mana ada lelaki yang bisa marah kepada wanita secantik dirimu?
Tiap
pukul delapan pagi, tubuhku selalu menerima air mendidih yang kaugunakan buat
melarutkan serbuk kopi. Setelahnya, aku akan merayakan kehidupan dengan upacara
ngopi yang kau adakan di beranda
rumahmu. Empuk bibirmu akan hinggap di padat bibirku berkali-kali hingga kopi di
tubuhku habis—mengalir ke lambungmu yang dipenuhi rahasia.
Pukul
sembilan pagi, lelakimu akan muncul dari balik gerbang, menyapamu yang duduk
manis di beranda bertemankan tubuhku yang telah kosong dari kopi. Kalian lalu
bercumbu mesra di hadapanku, dan tentu saja akan ada sesuatu yang diam-diam
membara di dalam diriku. Tapi kini aku tak bisa berbuat apa-apa.
***
Namamu adalah Pisau. Setiap kau meletakkanku di rak bersama
sekawanan piring, gelas, dan mangkuk—aku adalah satu-satunya cangkir yang kau punya—aku
selalu dibayang-bayangi oleh kematianku sendiri.
Namamu adalah Pisau. Tapi kenapa waktu
itu kau membunuhku bukan dengan sebilah pisau? Kupikir orangtuamu menamaimu seperti
itu karena mereka ingin suatu saat kau membunuh seseorang menggunakan sebilah
pisau.
Namamu adalah Pisau. Meski kau tak
membunuhku dengan sebilah pisau, setidaknya kau membunuhku dengan sesuatu yang
juga tajam. Sesuatu yang tajam itu menguras habis darahku, sebelum mengeluarkan
atmaku yang kini berada di cangkir kopimu.
Namamu adalah Pisau. Di dapur di mana
rak ini berada, kau sedang memasak sesuatu, dibantu oleh lelakimu.
“Bukankah
aroma masakan ini membangkitkan gairah, Kapak?” tanyamu.
“Ya,
sebagaimana aroma tubuhmu, Pisau.” Perlahan lelakimu melingkarkan tangannya,
yang sedikit ternodai oleh suatu bumbu, di pinggangmu, dari belakang. “Tapi,
apa yang sebenarnya sedang kita masak? Aku belum kau beri tahu.”
“Kita
sedang memasak sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang bisa meledak,” jawabmu. “Jadi,
masakan ini nanti akan kita makan bersama dalam satu piring. Jika kita memang berjodoh,
maka makanan ini akan membuat kita bergairah. Tapi, kalau kita tidak berjodoh,
kita berdua akan … BUMMM!!!”
“Ledakan
dari mulutmu membikinku kaget, Pisau!” Kapak pun menggelitik perutmu, dan kau
cekikikan.
Diam-diam,
sesuatu di dalam diriku meledak sekaligus bergairah.
“Setidaknya,
kalau kita berdua meledak,” lanjut Kapak, “kita bisa bercinta di akhirat.”
“Jangan
di akhirat, Kapak. Nanti para malaikat iri!”
Lantas
kalian berdua tertawa terbahak-bahak.
***
Meja makan itu terletak di ruang makan
yang terpisah tanpa sekat dari dapur, sehingga dari rak ini aku dapat
menyaksikan kalian yang sedang makan bersama—sepiring.
Rupanya
masakan itu tidak meledak, melainkan membuat kalian bergairah. Lantas kalian
berdua memutuskan untuk pergi ke kamar tidur. Dan, kau membawa serta aku
sebagai wadah air mineral yang telah melarutkan obat penguat—tumben-tumbennya
yang kutampung bukan kopi.
Di
meja di kamarmu, aku yang telah kosong—setelah lelakimu menenggak habis air
mineral bercampur obat penguat itu—terduduk tanpa daya di samping sebuah ponsel
yang tidur telungkup, mengeluarkan kefanaan musik jazz dari speaker-nya.
Oh
ya, ini adalah percintaan kalian yang pertama. Dan terakhir ....
***
“Bagaimana permainanku tadi, Pisau?”
tanya Kapak setelah berpakaian.
“Kau
yakin ingin tahu jawabannya?” katamu, dengan raut wajah yang sungguh menantang
dan membuatku ingin menerkam wajahmu!
“Tentu
aku ingin tahu, Pisau.”
Kau
malah cekikikan, Pisau. Kau malah cekikikan! Di wajah Kapak pun terlihat tanda
tanya sebesar Empire State Building yang terus berdenyut karena memerlukan asupan
jawaban sesegera mungkin.
“Cepat
jawab, Pisau,” ujar Kapak, berlagak manja. “Apa permainanku tadi hebat? Apa
permainanku tadi melebihi nikmatnya secangkir kopimu tiap pagi?”
Tiba-tiba
ponsel di sampingku berhenti mengeluarkan kefanaan musik jazz dari speaker-nya.
Heninglah
sejenak sebelum kau menjawab, “Sayangnya tidak, Kapak.”
“Tidak?
Apanya yang tidak, Pisau?”
“Permainanmu
tak melebihi kenikmatan secangkir kopiku saban pagi.”
“Tidak
mungkin.” Suara Kapak bergetar, tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan. “Kau
pasti sedang bercanda, Pisau.”
“Tidak,
Kapak,” balasmu. “Aku serius. Kau payah sekali. Malah cumbuanmu tak lebih nikmat
dari cumbuan cangkir kopiku.”
Diam-diam
ada yang berbunga-bunga di dalam diriku.
“Intinya,”
lanjutmu, “kau payah secara menyeluruh.”
Pisau, kau tersenyum. “Apalagi, punyamu itu terlalu kecil, Kapak.”
Kalimat
terakhirmu yang begitu tajam, setajam namamu, itu pun menusuk leher Kapak. Darahnya
langsung saja muncrat ke mana-mana, termasuk ke tubuhmu dan cangkir kopi di
mana atmaku berada. Kapak taklah langsung mati. Terlebih dahulu ia megap-megap
seakan seluruh oksigen sengaja menghindari dirinya yang tumbang ke lantai. Lama-lama,
tubuhnya menjadi seperti sebuah pulau di tengah danau darah. Sementara itu,
Pisau, kau hanya tertawa terbahak-bahak seraya meraih telingaku. Lalu kita berlalu
dari kamarmu, meninggalkan Kapak yang sedang menuju kematiannya.
***
Namamu adalah Pisau. Kau membiarkan Kapak mati secara
perlahan-lahan dan menyakitkan di lantai kamarmu.
Namaku adalah Kapak. Ya, Kapak adalah
dan tetaplah namaku, sekalipun atmaku telah berpindah ke cangkir kopimu ini.
*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada tanggal 30 Desember 2017.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar