*Sumber Gambar: Pinterest.
Istri Seorang Musafir
mungkin suamiku akan pulang besok atau
mati hari ini.
mungkin tubuhnya yang serapuh rumput
telah dikunyah oleh kuda tunggangan
sendiri
—seperti laparku yang menelan satu bayi
kami.
mungkin ia telah sampai di negeri tujuan
yang paling tepi
—negeri yang menurut kitab suci pernah
jadi
tempat tinggal nabi paling suci.
mungkin pula ia memutuskan untuk menetap
di
satu titik
dan membangun satu lagi keluarga sepenuh
hati.
apa pun itu, kini aku lebih jauh
ketimbang segala perjalanan
yang pernah ia tempuh. lebih jauh
berkat murka tuhan yang mengoyak desa
ini
tanpa jenuh ....
tanpa jenuh ....
(Jakarta, 2017)
Dunia Kita di Dalam Botol
selamat ulang tahun, dunia. dengan
sebuah botol
bekas alkohol, aku memasukkan seluruhmu
ke dalamnya.
bukankah kau mengeluhkan dingin?
kini kau tak perlu lagi jaket
berbahan dasar mesin pemanas ruang.
kini kau tak perlu lagi takut mencair
di dalam segelas teh
di waktu makan siang.
selamat ulang tahun, dunia. dengan
sebuah botol
bekas alkohol di tangan, seorang pria
terhuyung-huyung
sebelum mati di kusam embus napasmu.
(Jakarta, 2017)
Ayah dan Malam Merah
ayah pun memutuskan untuk berperang
kala malam semakin merah.
ialah yang kelak mengeringkan jantungmu
dengan besi berkarat
dan kepal tangan penuh nanah.
di hadapan bulan yang terbelah
ia tersenyum miring. kumis yang
melengkung itu
begitu tipis,
umpama pinggangku yang dengan mudah kautebas.
ayah tahu bulan itu lebih tebal
ketimbang
pinggangku. oleh sebab itu
tangannya bergetar
di tubuh gagang pedang
yang tersampir di punggungnya.
manakah yang lebih tebal: nyaliku atau bulan itu?
ia membatin.
ayah pun membayangkan pedangmu
yang besar dan tajam
serta luka yang mungkin menghias dadanya
kelak.
tapi malam sudah telanjur begitu merah.
ayah sudah telanjur keluar dari rumah
dan bertekad untuk berperang. tangannya
masih bergetar,
tentu saja. sayang, langkah itu tak
mampu
menerima rasa takut
dan geraknya seiring dengan mendekatnya
kematianmu.
(Jakarta, 2017)
Rambut dan Masa Lalu yang Kaupotong
—Helga
lalu rambutmu pun kaupotong. lalu masa
laluku
yang memanjang-mengering terlepas
tersayat angin. lalu kita tergeletak di
balkon
yang sama dingin seperti dahulu.
lalu kau terperangkap dalam sebuah mobil
(bersamaku)
yang melaju kencang untuk menabrak
sebatang pohon.
(Jakarta, 2017)
Ibu Berpulang
ibu pun berpulang ke cangkir kopi.
ayah kembali ke awan-gemawan senja.
sedang aku tetap duduk di beranda ini:
entah sembahyang
atau mengawang dalam bayang-bayang.
*
kopi itu berasa seperti hari terakhir
ibu.
harga gula sedang naik drastis
berkat pemerintah yang payah
seperti ayah.
senja itu berasa seperti malam pertama
ayah.
hujan juni sedang begitu rakus
dan langit segera gelap
seperti mata ibu.
*
ibu pun berpulang ke cangkir kopi.
ayah kembali ke awan-gemawan senja.
sedang aku tetap duduk di beranda ini:
entah sembahyang
atau berusaha menjelma bayang-bayang.
(Jakarta, 2017)
Sarapan yang Berbelok ke Kiri
kau tidak suka ini. tidak apa-apa.
maka pesawat berbelok ke kiri
dan tiba di depan mulutmu
sebagai “ini” yang lain,
yang kusebut saja “itu”.
kau tidak suka itu. masih tidak apa-apa.
kau masih terlalu kecil untuk memahami
apa yang seharusnya kau suka—dan
sebaliknya.
bagaimanapun, pesawat berbelok ke kiri
dan tiba di depan mulutmu
sebagai “itu” yang lain,
yang kusebut saja “puisi”.
dan kau lagi-lagi tidak suka. bukan lagi
tidak apa-apa.
pasalnya, di matamu yang sepi,
terbacalah sebuah alasan:
kau benci sarapan yang “merata”
apalagi sampai berbelok ke kiri.
tapi siapakah yang pernah membelokkan
pesawat itu
ke kanan
dan memasukkannya ke mulutmu?
(Jakarta, 2017)
*) Puisi-puisi ini dimuat di Padang Ekspres pada 19 Agustus 2018.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar