*Sumber Gambar: Pinterest
Sekitar 30 menit lagi aku akan sampai di
kediaman Sun Ie Kai. Itu berarti Sun Ie Kai akan mati sekitar 30 menit lagi,
dengan darah menodai bilah pedangku ini. Tak ketinggalan menodai tanah. Mungkin
pula akan menodai pakaian, wajah, serta rambut putihku yang panjang.
Setidaknya, setelah mati, Sun Ie Kai tidak akan menodai dunia ini lagi.
Cuaca
di gurun pasir yang kulewati ini sungguh panas. Tapi tentu panas yang badanku
rasakan taklah sepanas api yang membunuh-hanguskan adik perempuanku, Ming Yu
Tai. Tepatnya, tidak sepanas api yang dikobarkan oleh Sun Ie Kai ke tubuh
perempuan manis yang sedang bekerja di sebuah kedai itu, yang berkali-kali
menolak ajakannya untuk bercinta. Namun, apakah yang lebih panas ketimbang api
neraka yang kelak membakar Sun Ie Kai setelah pedangku mencabut nyawanya?
Sun
Ie Kai tinggal bersama anak-anak buahnya yang berjumlah sembilan orang. Dan,
kesemua anak buahnya pandai beradu pedang, meski tentu tak sepandai Sun Ie Kai
sendiri. Katanya, anak-anak buahnya itu akan mengeroyok
orang-yang-menantang-Sun Ie Kai habis-habisan, bahkan sebelum penantang
tersebut sempat mencabut pedang dari sarungnya atau mengeluarkan senjata apa
pun dari wadahnya. Tapi aku tidak takut. Aku hanya takut jika Ming Yu Tai tidak
tenang di alam sana, sebab orang yang membunuhnya masih berkeliaran dengan
santainya di dunia ini.
Tak
terasa, gubuk kayu tempat Sun Ie Kai tinggal—bersama anak-anak buahnya—sudah
terlihat di depan sana. Gubuk tersebut terletak di tepian gurun pasir ini. Dari
jarak ini, aku tak mendapati keberadaan siapa pun di sekitaran gubuk itu. Bagaimanapun,
aku langsung mencabut pedangku dari sarungnya, sebelum melanjutkan
langkah-langkahku yang entah kenapa semakin terasa berat—demi apa pun, jangan
kauartikan itu sebagai ketakutan yang menghinggapiku.
Cahaya
matahari terasa semakin panas. Angin berpasir pun bertiup kencang, membuat
rambut putihku yang panjang berkibar seperti bendera.
Akhirnya,
gubuk kayu itu tinggal beberapa langkah lagi di depanku. Dari sini pun aku tak
mendapati keberadaan siapa-siapa di sekitaran. Bahkan, ketika kubuka lebar pintu
gubuk itu, tampak ketidakberadaan siapa-siapa di dalam sana.
Apakah
Sun Ie Kai dan anak-anak buahnya telah kabur, karena telah menduga bahwa aku
akan datang? Apakah mereka takut padaku? Mungkin saja. Namun mungkin pula ini
adalah jebakan dari mereka.
Sebelum
aku masuk, aku memotong engsel-engsel pintu gubuk agar tak ada yang tiba-tiba
mengunciku dari luar, dengan maksud menjebakku.
***
Sehabis merampok persediaan makanan di
desa terdekat, kami bersembilan kembali berkuda untuk balik ke gubuk. Tiap kuda
kami kebagian jatah mengangkut persediaan makanan dengan beban yang sama. Saat
sedang kencang-kencangnya kuda kami melaju, tiba-tiba kuda yang kutunggangi terjatuh.
Aku dan kudaku pun berguling-guling di pasir, sementara kedelapan kawanku
reflek menghentikan laju kuda masing-masing.
“Satu-satunya
perempuan di kelompok ini, satu-satunya pula yang terjatuh,” cemooh Wong Xie,
dan aku segera mendelik padanya sebelum ia melanjutkan cemoohannya itu dengan
tawa.
Lantas,
salah satu dari mereka berdelapan, Yao Sin namanya—ia adalah saudara
laki-lakiku—turun dari kuda dan membantuku berdiri. Ketujuh kawanku yang lain
lalu turun dari kuda pula untuk membantu kudaku berdiri, tapi kuda itu segera
terjatuh-menyamping begitu diberdirikan.
“Kudaku
sudah menunjukkan tanda-tanda sakit sejak tadi pagi,” akuku.
“Kupikir
sebaiknya kalian bertujuh kembali duluan ke gubuk,” sambung Yao Sin. “Barangkali
Sun Ie Kai sudah sampai di sana dan menunggu kita dengan kelaparan. Aku akan
pergi ke tempat lain untuk mencari dokter hewan buat kuda Mae Yun, sementara
Mae Yun tetap di sini untuk menjaga kudanya.”
“Baiklah,”
sahut Wong Xie. “Apa perlu kami membawakan persediaan makanan di kuda kalian,
heh?”
“Tidak
usah,” kata Yao Sin. “Kupikir, bisa saja kami membutuhkan waktu yang tidak
sebentar untuk mengurusi masalah ini, sehingga kami perlu memakan persediaan
makanan yang kami bawa.”
Tak
lama kemudian, mereka bertujuh telah menghilang di balik cakrawala. Tinggallah
aku dan Yao Sin di sini, serta kuda kami masing-masing. Tiba-tiba saja, Yao Sin
memelukku erat-erat dan mencium bibirku. Ah, saudaraku ini memang benar-benar
tahu bagaimana caranya membuatku bergairah ....
***
Sore ini aku kedatangan seseorang. Katanya,
ia membutuhkan pertolonganku karena ada seekor kuda yang “tidak beres” di
tengah gurun pasir. Dan, ia memintaku untuk datang menghampiri kuda tersebut,
sebelum menanyakan berapa harga yang mesti dibayarnya.
“Masalah
biaya, nanti saja kita bicarakan,” sahutku. “Omong-omong, siapa namamu, Tuan?”
“Aku
Yao Sin.”
“Baiklah,
Tuan Yao Sin, berikan aku waktu untuk menyiapkan obat-obatan yang akan kubawa.
Tidak akan lama, karena aku akan dibantu oleh asistenku.” Kemudian aku menoleh
ke samping, tepatnya ke arah asistenku yang berdiri membelakangi lemari
obat-obatan, dan berkata, “Kau tahu kan apa saja yang kita perlukan untuk
menolong kuda malang itu?”
Asistenku—yang
sudah kudidik sedemikian rupa—pun dengan cepat memilih obat-obatan yang tepat
dari dalam lemari, lalu menyerahkannya padaku.
***
Aku tidak menemukan apa pun yang berarti
di dalam gubuk kayu ini. Aku hampir merasa tak menemukan alasan untuk tetap di
sini, sampai ketika kudengar derap-cepat beberapa ekor kuda dari kejauhan, yang
semakin lama semakin dekat. Saat aku mengintip keluar melalui jendela, kulihat
anak-anak buah Sun Ie Kai sedang menuju kemari. Tapi entah di mana Sun Ie Kai.
Aku
menggenggam erat gagang pedangku ....
***
“Masalah biaya, nanti saja kita
bicarakan,” sahut si Dokter Hewan. “Omong-omong, siapa namamu, Tuan?”
Aku
menjawab, “Aku Yao Sin.”
“Baiklah,
Tuan Yao Sin, berikan aku waktu untuk menyiapkan obat-obatan yang akan kubawa.
Tidak akan lama, karena aku akan dibantu oleh asistenku.” Kemudian si Dokter
Hewan menoleh ke samping, tepatnya ke arah sebuah lemari yang entah apa isinya,
dan berkata, “Kau tahu kan apa saja yang kita perlukan untuk menolong kuda
malang itu?” entah kepada siapa. Kepada kekosongankah?
Lantas
dokter itu melangkah ke lemari tersebut, membukanya, dan dengan cepat memilih
obat-obatan yang terdapat di dalam sana. Si Dokter Hewan pun berkata lagi
kepada kekosongan, “Terima kasih, asistenku yang cerdas.”
***
Kudaku akhirnya bisa berdiri dengan
baik. Si Dokter Hewan pun pergi. Tinggallah aku dan Yao Sin di sini, serta kuda
kami masing-masing. Tiba-tiba saja, Yao Sin memelukku erat-erat dan mencium
bibirku. Beberapa jenak kemudian, Yao Sin mengajakku bersenggama di titik ini
juga, dan aku dengan tegas menolaknya—meski aku yakin bahwa aku akan menikmati
persenggamaan itu.
Rupanya
Yao Sin tak langsung menyerah; beberapa kali lagi ia memintaku, beberapa kali
lagi pula aku menolak ajakannya dengan tegas. Dan ....
***
Tujuh anak buah Sun Ie Kai berhasil
kubunuh. Tujuh buah kepala terpisah dari leher masing-masing. Darah mereka
menodai pedangku, menodai lantai gubuk yang hanya berupa tanah, dan tak
ketinggalan menodai pakaian, wajah, serta rambut putihku yang panjang. Tapi, ya,
hanya tujuh anak buah Sun Ie Kai yang kubunuh, karena hanya tujuh anak buahnya
yang datang ke gubuk kayu ini. Entah ke manakah perginya dua orang anak buah
yang tersisa itu.
Tahu-tahu,
entah sejak kapan, Sun Ie Kai telah berdiri di ambang pintu gubuk dengan pedang
siaga di tangan kanannya. Aku pun tersenyum dingin kepadanya, dan ia membalas
dengan tatapan penuh amarah. Segeralah Sun Ie Kai menerjang ke arahku, dan kami
bertarung hebat ....
***
Ketika gubuk kayu sudah tampak di
hadapan aku dan Yao Sin, kami lihat ketujuh kuda kawan-kawan kami berada di
luar gubuk tanpa ditambatkan—tidak seperti biasanya. Tiba-tiba terlihat Sun Ie
Kai terlempar keluar dari dalam gubuk, dengan tubuh berlumuran darah. Bahkan,
saking banyaknya darah, keseluruhan rambut putihnya yang panjang itu menjadi
merah.
Kami
reflek mempercepat laju kuda kami untuk menolong Sun Ie Kai. Sementara itu, Sun
Ie Kai langsung bangkit, meraih pedangnya yang mendarat tak jauh darinya, dan
.... menyabet-nyabetkan pedangnya ke udara kosong.
“Tuan,
apa yang kau lakukan?!” seru Yao Sin.
Sun
Ie Kai menoleh ke arah kami, lalu menusukkan pedangnya ke dada kirinya sendiri!
***
Sun Ie Kai tumbang. Yao Sin dan Mae Yun
segera memeriksa tubuhnya, mendapatkan kepastian bahwa pemimpin mereka telah
mati, sebelum memeriksa bagian dalam gubuk, untuk mencari tahu siapakah yang
tadi membuat Sun Ie Kai terlempar dari dalam sana. Namun, tak mereka dapati
keberadaan siapa-siapa di dalam gubuk kayu yang adalah markas mereka itu,
kecuali mayat ketujuh kawan mereka ....
*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada April 2019.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar