*Ilustrasi oleh: Mahdiduri
Ia sudah mendengar soal Mind Express, kereta
khusus untuk mengunjungi pikiran orang-orang lain—kecuali presiden, wakil
presiden, para menteri, dan sebagainya—sejak kereta itu diresmikan setahun
lalu. Waktu itu, begitu mendengar berita peresmian Mind Express di televisi, ia
langsung mengutuki perusahaan kereta tersebut, karena menurutnya mengunjungi
pikiran orang-orang lain bukanlah tindakan benar, kecuali dilakukan oleh
orang-orang tertentu macam ahli jiwa—itupun dengan izin sang pemilik pikiran. Pasalnya,
tak ada peraturan demikian di Mind Express, seakan memasuki pikiran orang-orang
lain sama saja seperti berlibur ke pantai.
Ia
bersumpah tak akan pernah sekali pun menggunakan layanan kereta hina itu.
Sayang, kini ia terpaksa membatalkan sumpah tersebut. Semua tak lain gara-gara
ia merasa perlu mengunjungi pikiran putri semata wayangnya, putri yang tak
dapat lagi ia mengerti pikirannya, sehingga terasa ada jarak jauh di antara
mereka, seperti antara otak orang tak berpendidikan dan otak Einstein.
Putrinya
mulai jarang bicara dan murung berkepanjangan sejak masuk SMA. Ia, sang ayah,
semula berpikir bahwa itu adalah semacam tanda-tanda jatuh cinta. Entah lelaki mana yang ia terus-menerus
pikirkan. Aku tak akan menginterupsi “lamunan cinta” itu. Tapi
lama-kelamaan kondisi putrinya semakin ganjil: suatu pagi, saat sarapan,
sesudah suapan pertama, putrinya berkata, “Rasanya seperti abu,” sebelum muntah
di atas meja makan; selanjutnya, kejadian kurang lebih serupa terjadi hampir
tiap hari, saat makan pagi-siang-malam; pihak sekolah sering mengabarinya soal
itu saban terjadi di sekolah. Sang putri sama sekali tak memberi tahu siapa pun
perihal apa yang terjadi pada dirinya. Seandainya
istriku masih ada, mungkin ia bisa sangat membantu. Awalnya ia berencana
mengajak putrinya ke psikolog atau psikiater, namun sang putri menolak keras,
dan ia tak berani untuk memaksa. Ia akhirnya memutuskan untuk membeli tiket
Mind Express sesudah secara tak sengaja mendapati putrinya sedang
berancang-ancang menyileti punggung sendiri di kamar mandi—gadis itu pasti lupa
mengunci pintu.
Ia
pergi ke Mind Station—stasiun khusus Mind Express—di hari pertama musim liburan,
pukul enam pagi, sementara di rumah sang putri sedang bersama bibinya. (Ia
meminta adik iparnya itu untuk menjaga sang putri secara ketat, dengan tak
membiarkannya berada sendirian di suatu ruang, termasuk kamar mandi.) Mind
Station sama seperti stasiun-stasiun pada umumnya di kota itu, kecuali karena
di sana terdapat sebuah portal ajaib yang seperti mulut menganga lebar di udara,
menampakkan dimensi lain di dalamnya.
Tiap
penumpang Mind Express diberi chip organik untuk ditelan, lalu mereka mesti membuat
chip tersebut bekerja dengan memunculkan wajah seorang-yang-dipilih di benak
masing-masing selama setengah menit, sebelum naik ke gerbong. Nantinya chip
organik itu akan melebur di perut—dan berhenti bekerja sama sekali—dalam jangka
waktu sesuai paket perjalanan yang dibeli. Ketika ia mencoba memunculkan citra
wajah putrinya, pertama kali yang muncul adalah ekspresi sedih gadis itu. Lantas
ia mencoba mengganti ekspresi putrinya, menjadi ceria atau setidaknya datar,
namun tak bisa. Seakan sudah beradab-abad ia terus melihat kesedihan di wajah
putrinya, sampai-sampai ia melupakan bentuk ekspresi nonsedih di wajah
tersebut.
Tak
lama kemudian ia telah duduk di samping salah satu jendela di dalam kereta—tiap
jendela hanya bersisian dengan satu tempat duduk. Dari speaker terdengar, “Mohon perhatian. Kereta ini akan mulai melaju
sebentar lagi. Sesudah melewati portal di depan sana, pada jendela di samping
Anda akan tampak pikiran orang lain yang ingin Anda kunjungi. Kami tidak akan
bertanggung jawab atas rasa sakit hati atau semacamnya yang diakibatkan oleh
pikiran orang tersebut. Jika pikiran orang lain membuat Anda merasa tak nyaman,
segeralah menutup mata. Jangan sampai tersedu-sedu, berteriak, dan lain
sebagainya, karena itu akan mengganggu kenyamanan para penumpang lain. Apabila
ada masalah, silakan bertanya pada para petugas. Terima kasih atas perhatian
Anda, selamat menikmati pikiran orang lain.”
Saat
Mind Express melaju mendekati portal, ia mendadak takut menoleh ke jendela di
sampingnya. Tepatnya, ia takut mendapati bahwa ia tetap tak memahami pikiran
sang putri, sekalipun ia sudah memasuki pikirannya, dan tetap tak bisa
menemukan jalan keluar bagi masalah di pikiran gadis itu. Seharusnya aku membayar seorang ahli jiwa untuk duduk di tempat dudukku
ini.
Begitu
Mind Express memasuki portal, jendela di samping tiap-tiap penumpang pun,
secara mengagumkan, menampilkan pemandangan-pemandangan yang membuat ia nyaris
disorientasi. Ada jendela yang menampilkan citra acara pernikahan dan membuat
orang yang duduk di sampingnya tersenyum bahagia, kemudian citra tersebut
tampak tergeser oleh citra lain karena kereta terus bergerak; ada jendela yang
menampilkan citra adegan perang-perangan yang dimainkan para bocah dan membuat
orang yang duduk di sampingnya tersenyum geli, kemudian citra tersebut tampak
tergeser oleh citra lain karena kereta terus bergerak; ada jendela yang
menampilkan citra adegan persetubuhan dan membuat orang yang duduk di
sampingnya menangis tanpa suara, kemudian citra tersebut tampak tergeser oleh
citra lain karena kereta terus bergerak; bahkan ada jendela yang menampilkan
gambaran-gambaran abstrak yang entah apa maksudnya, sekalipun kereta terus
bergerak. Mind Express seolah melintasi banyak tempat sekaligus di waktu
bersamaan.
Semula,
ia kira menatap pikiran orang lain melalui jendela Mind Express hanya akan
terasa seperti menonton film; rupanya, memang kesan yang ditimbulkan begitu
nyata, sebagaimana ia melihat pemandangan asli.
Kira-kira, citra apa yang muncul di
jendela di sampingku? Detak jantungnya mengencang. Setelah sekitar tiga puluh
menit tersiksa oleh ketakutan itu, akhirnya ia memberanikan diri buat menoleh
ke jendela di sampingnya. Dan, inilah yang ia lihat: hitam. Seumpama Mind
Express menerobos lautan tinta.
Ia
pun memanggil seorang petugas yang kebetulan melintas di sampingnya. “Mungkinkah
ia sedang tidur, sehingga tak memikirkan apa-apa?” tanyanya. “Atau chip organik
yang saya telan ternyata bermasalah?”
Sang
petugas mengerutkan kening sejenak sebelum menjawab, “Maaf, saya rasa bukan karena
pemilik pikiran itu sedang tidur. Mind Express mengunjungi pikiran orang-orang,
bukan mengunjungi apa yang orang-orang sedang pikirkan. Jadi, sekalipun pemilik
pikiran sedang tidur, pikirannya akan tetap tampak melalui jendela, karena
pikiran manusia akan tetap ada selama manusia itu hidup.”
“Berarti,
chip organik saya bermasalah?”
“Ada
dua kemungkinan.” Jeda sejenak, sang petugas berdeham.
“Kemungkinan pertama,
chip organik Anda bermasalah. Kemungkinan kedua ....”
Tiba-tiba
seorang penumpang di belakangnya meledakkan tangisan. Entah apa yang
disaksikannya melalui jendela.
***
Mungkin seharusnya ia bukan mengatakan,
“Jangan membiarkannya berada sendirian di suatu ruang, termasuk kamar mandi,”
kepada sang adik ipar, melainkan mengatakan, “Kau harus selalu melihatnya tiap
detik.”
Adik iparnya menemani gadis itu memasuki kamar mandi. Gadis tersebut semula keberatan, tapi kemudian ia menyerah pada kehendak sang bibi. “Tapi, biarkan tirai bak mandi tertutup, Bibi.” Sang bibi pun mengangguk setuju, karena ia pikir itu bukan masalah. Sayang, ia tak tahu bahwa gadis itu menyimpan silet di balik behanya.
*) Cerpen ini dimuat di Biem.co pada 7 Desember 2019.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar