*Ilustasi oleh: Mahdiduri
Mungkin beberapa saat lagi bocah itu
akan membunuh ayahnya, mungkin pula tidak. Yang jelas, cita-citanya untuk
membunuh sang ayah telah mengalami kemajuan: malam ini, ia sudah berani meraih
sebilah pisau dari rak di dapur, meski dengan tangan gemetar, begitu mendengar ibunya
dimarahi lagi oleh sang ayah di kamar mereka, tak ketinggalan pula mendengar rintihan-rintihan
sang wanita malang dan bunyi tinju-tinju mengenai tubuh.
Ia
sudah lama bercita-cita membunuh ayahnya, agar suasana di rumah kecil yang
tampak akan roboh dua-tiga tahun lagi itu menjadi tenang. Lebih spesifik, ia
ingin membunuhnya menggunakan pisau dapur bergagang merah muda, warna kesukaan sang
ibu—Dengan begitu, kematian Ayah pasti
akan mendapat nilai tambah di mata Ibu, pikirnya. Namun pada malam ketika
ia akhirnya berani meraih pisau dapur, yang diambilnya malah pisau bergagang
hitam, sebab pisau bergagang merah muda tak dapat ditemukannya. Apa pun warna gagangnya, tak masalah, yang
penting Ayah mati.
Pelan-pelan,
tanpa suara, bocah itu melangkah ke hadapan pintu kamar orang tuanya yang
tertutup. Suara-suara yang dihasilkan kemarahan ayahnya terdengar makin jelas. Ketika
ia mengintip ke dalam lewat lubang kunci, yang dilihatnya hanya hitam, seperti
masa depan yang ia bayangkan setelah membunuh sang ayah—tapi itu tak
menggugurkan cita-citanya—pasti sebab kunci tertancap di balik pintu.
Ia
membayangkan beberapa kemungkinan: 1) ia membuka pintu, berlari menuju tubuh Ayah,
dan menikamnya tepat di dada kiri; 2) ia membuka pintu, berlari menuju tubuh Ayah,
dan menikamnya tak tepat di dada pun area vital lain—karena saking paniknya ia
saat menyerang—sehingga pria yang kerap menyakiti ibunya itu tak mati,
berkesempatan melakukan serangan balik, dan ia yakin dirinya yang bertubuh jauh
lebih kecil akan kalah; dan 3) ia membuka pintu, berlari menuju tubuh Ayah, dan
gagal menikamnya sama sekali, sehingga seketika dirinya akan dibuat mampus.
Meski kemungkinan gagal lebih besar, dengan tangan masih gemetar, ia memberanikan
diri meraih gagang pintu. Dan, ternyata pintu dikunci.
Sejenak
hening di dalam sana, barangkali mereka berdua dikejutkan suara gerakan gagang.
“Kembali ke kamarmu, Edo!” sang ayah berteriak. Teriakan mengerikan itu membuat
sepasang kaki sang bocah bergetar. Tapi, ia tetap bertahan di sana. Seolah
masih dapat merasakan keberadaan bocah itu di balik pintu, sang ibu melanjutkan,
“Tidurlah, Edo. Besok kau mesti sekolah.” Suara itu bergetar dan penuh kasih
sayang.
Edo
pun masuk ke kamarnya; ia tak sanggup melawan kehendak Ibu, lebih-lebih ketika
wanita itu sedang merana—seperti biasanya. Bagaimanapun, pisau bergagang hitam
masih berada di tangannya; pisau tersebut, sembari ia telentang di kasur,
digenggamnya dengan kedua tangan di atas dada. Seketika Edo teringat saat dulu
ia suka tidur telungkup di atas tubuh Ibu, menempelkan telinga ke dada kirinya,
dan degup jantung yang ia dengar seakan memberi semacam kekuatan hidup yang
lembut. Mungkinkah pisau ini merasakan
hal itu sekarang?
Kemudian
ia teringat saat minggu lalu, di dapur, ia melihat Ibu menggunakan pisau
bergagang merah muda itu dengan amat lihai buat memotong-motong daging ayam,
untuk membuat sup. “Masakan kesukaanmu, Edo,” ucap sang ibu, sembari melirik ke
arahnya dan memperlihatkan seulas senyum yang selalu ditunjukkan pada Edo
setiap hari, tanpa berhenti memotong-motong. Lalu ingatannya berpindah ke pukul
tujuh malam tadi, saat ia meminta Ibu untuk membeli daging ayam lagi, agar ia
bisa menelan masakan kesukaannya itu. Namun, alih-alih pulang dengan membawa
daging ayam, Ibu malah pulang bersama Ayah yang menjambak rambutnya seraya
berjalan cepat. “Uang kita tinggal sedikit! Jangan belanja sembarangan!” bentak
sang ayah di kuping Ibu. Ayah pun menyeret Ibu ke kamar mereka, dan bocah kecil
itu, penuh keraguan, melangkah ke dapur buat meraih pisau bergagang hitam
dengan tangan gemetar.
Tiba-tiba
Ibu menjerit keras. Edo ditikam kebimbangan setajam pisau; ia ingin berlari ke
kamar mereka dan menggedor-gedor pintunya yang terkunci, tapi di saat bersamaan
ia tak mau melanggar suruhan Ibu. Setelah terdengar jeritan keras kedua yang
hadir sekitar setengah menit setelah jeritan pertama, Edo memutuskan untuk
melangkah cepat, tanpa suara, ke hadapan pintu kamar orang tuanya, dan—entah
kenapa baru terpikir olehnya—mengintip ke dalam sana melalui lubang bawah
pintu.
Ia
tak melihat siapa pun di kamar itu, tapi ia melihat celana dalam Ibu tergeletak
di dekat kaki ranjang yang berderit-derit. “Ucapkan, ‘Dagingmu enak sekali,’”
ucap Ayah, di tengah napasnya yang memburu. “Dagingmu … enak sekali,” sahut
Ibu, di tengah desah kesakitan.
Perutnya
yang mencium lantai keramik dingin mendadak keroncongan; bocah itu belum
mendapat makan malam berupa sup ayam yang ibunya janjikan.
Entah
apa yang terjadi di atas kasur, Ibu kemudian menjerit lebih hebat lagi. Tubuh
Edo bergetar semakin hebat, mungkin akan langsung tumbang andai ia tak sedang
telentang di lantai. Teriakan tersebut mengingatkan Edo saat Ibu berjuang melahirkan
adiknya sekitar setahun lalu, dan keguguran. Ah, tidak, tidak sekeras itu. Lebih tepatnya, teriakan itu sekeras
saat, pada tengah malam keesokan harinya di tempat pemakaman umum, si Penjaga Pemakaman
dan Ayah berusaha merebut mayat adik Edo dari pelukan Ibu. Peristiwa tersebut
bermula dari istri si Penjaga Pemakaman yang menggedor-gedor pintu rumah dengan
keras, membuat Ayah dan Edo terbangun, lalu segera berlari menuju pintu.
“Istrimu menggila! Ia menggali makam bayinya!” kata istri si Penjaga Pemakaman,
ketakutan. Ayah dan istri si Penjaga Pemakaman pun berlari ke pemakaman. Cahaya
dari petromaks di tangan istri si Penjaga Pemakaman tampak seperti arwah
berbentuk bola cahaya yang terbang mencari mayatnya. Edo sendiri mesti
mengendap-endap ke tempat itu karena sang ayah sempat berkata, “Kau jangan ikut,
Edo! Tidur saja lagi!” Dari balik sebatang pohonlah Edo melihat kejadian tersebut;
apa yang paling tak dapat dilupakannya adalah mulut dan tangan ibunya yang
dipenuhi darah, serta perut mayat adiknya yang telah koyak. “Biarkan ia kembali
ke tubuhku! Ia mati karena menolak dunia luar!” pekik Ibu. Edo mendadak mual,
segera kembali ke rumahnya, muntah di kamar mandi, dan berusaha tidur—meski tak
kunjung bisa.
Baju
Ibu pun tanggal ke lantai, di dekat celana dalamnya. “Anjing!” maki Ayah. “Pintar
juga kau, ya!” Lantas ada sesuatu yang terpelanting ke lantai, ke dekat lubang
bawah pintu di mana Edo mengintip. Bocah kecil itu terbelalak seketika. Benda
yang terpelanting itu adalah pisau bergagang merah muda. Ibu kemudian terlihat turun
dari ranjang dengan gerakan cepat, menggapai pisau itu, dan Ayah dengan cepat
pula bergerak menyusulnya. Ibu langsung berbalik menghadap Ayah, dan Ayah tahu-tahu
terjatuh dalam posisi menyamping. Wajah Ayah menghadap lubang bawah pintu,
tatapannya berjumpa dengan tatapan Edo. Tatkala darah mulai keluar dari mulut sang
ayah, bersamaan dengan air mata Edo yang tumpah, gerakkan mulutnya menunjukkan
bahwa ia ingin menyebut nama anak laki-lakinya itu, namun tak ada suara yang
keluar.
Edo
cepat-cepat kembali ke kamarnya, tanpa mempertimbangkan kemunculan suara
langkah-langkah kakinya yang pasti terdengar sampai ke dalam kamar Ayah dan
Ibu, lantas naik ke kasur, menutup diri dengan selimut, sambil menggenggam
pisau bergagang hitam itu di atas dada. Lama-lama, tanpa ia kehendaki, meski ketakutan
sibuk menggigiti sekujur tubuh, akhirnya ia ketiduran.
***
Pisau bergagang hitam itu tak ada di
tangannya kala Edo terbangun keesokan harinya. Mungkin cuma mimpi. Ia lantas mengucapkan, “Ibu!” dengan suara
lantang, dan mendapat balasan, “Ibu di dapur, Sayang. Ayo sarapan!” Edo turun
dari kasur, kakinya gemetaran selama melangkah. Langkahnya sangatlah pelan,
seakan tubuhnya menolak untuk dibawa keluar dari kamar. Dan, tumben-tumbennya,
Edo berharap ia akan melihat sang ayah begitu keluar dari kamar, sekalipun Ayah
sedang memarahi Ibu—yang penting, nyata-atau-tidaknya kejadian semalam menjadi
jelas.
Edo
pun keluar dari kamarnya. Suasana begitu sepi. Dari situ Edo dapat melihat
pintu kamar orang tuanya yang tertutup, entah terkunci atau tidak. Dengan
langkah semakin pelan, ia mendekati pintu kamar tersebut. Kutub seakan
berpindah ke belakangnya saat ia hendak mengintip ke lubang bawah pintu.
“Edo,
ayo sarapan! Jangan sampai kau terlambat ke sekolah!”
Terbata-bata,
bocah kecil itu menjawab, “Iya, Bu!” dan meninggalkan kamar yang tertutup di
hadapannya, tanpa sempat mengintip melalui lubang bawah pintunya.
Di
dapur, di atas meja makan, terlihat sebuah panci besar mengepulkan uap. Di
belakang panci itu Ibu berdiri tegak, dengan seulas senyum yang selalu
ditunjukkannya pada Edo setiap hari. Edo mengalihkan tatapan ke rak; di sana, pisau
bergagang hitam dan pisau bergagang merah muda terdiam di tempat yang
seharusnya, berdempetan, seperti sepasang suami istri yang mesra. Ia
mengalihkan tatapan kembali ke Ibu yang mengisi salah satu mangkuk dengan sup,
dan berkata, “Masakan kesukaanmu, Edo.” Edo kemudian duduk di hadapan mangkuk tersebut.
Ia menatap potongan-potongan daging yang berenang-renang di sana dan berpikir, Daging ayam tidak tampak seperti ini. Ia
menatap Ibu. Ibu tersenyum semakin lebar. Ia menatap kedua pisau di rak lagi.
Dan ia merasa semestinya ia mengintip melalui lubang bawah pintu kamar orang
tuanya terlebih dahulu sebelum mulai sarapan.
“Edo,
kenapa kau bengong?”
Tangan Edo kontan gemetaran seperti tadi malam. Ia ingin cepat-cepat meraih pisau bergagang hitam itu.
*) Cerpen ini dimuat di Biem.co pada 25 Januari 2020.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar