*Sumber Gambar: Kompas
Pajenong sedang memakai deodoran di
depan cermin, sambil mendengarkan pembawa berita di TV berbicara tentang terus
bertambahnya kasus pemerkosaan di kota ini setahun belakangan. Tiba-tiba
pistol Sarimin memuntahkan pelor ke belakang kepalanya. Pajenong seketika
tumbang.
Sarimin
yang dari tadi telah menyusup ke apartemen itu dan mengamati pemiliknya
diam-diam dari kolong ranjang pun merangkak keluar dan memeriksa ponsel
Pajenong. Screensaver ponsel itu
berupa tulisan Kencan dengan Vianna pukul
sembilan malam di Kafe X dengan font Times
New Roman berwarna putih, berlatar belakang hitam.
Untuk tiba di wallpaper, Sarimin mesti memasukkan PIN yang tepat. Jika Sarimin berhasil memasukkan PIN yang tepat, pasti ia akan mengirim pesan ke Vianna, berbunyi, “Maaf, Sayang, aku tidak bisa kencan hari ini. Aku mendadak ingin putus denganmu. Omong-omong, kupikir Sarimin-lah pria yang paling tepat untukmu.” Sarimin lalu mencoba memasukkan PIN beberapa kali secara acak. Ketika ponsel Pajenong terblokir, Sarimin melempar ponsel itu keluar melalui jendela yang terbuka, bodoh amat perihal kepala siapa pun yang bakal terhantam sebuah ponsel yang terjun bebas dari ketinggian sepuluh lantai.
Untuk tiba di wallpaper, Sarimin mesti memasukkan PIN yang tepat. Jika Sarimin berhasil memasukkan PIN yang tepat, pasti ia akan mengirim pesan ke Vianna, berbunyi, “Maaf, Sayang, aku tidak bisa kencan hari ini. Aku mendadak ingin putus denganmu. Omong-omong, kupikir Sarimin-lah pria yang paling tepat untukmu.” Sarimin lalu mencoba memasukkan PIN beberapa kali secara acak. Ketika ponsel Pajenong terblokir, Sarimin melempar ponsel itu keluar melalui jendela yang terbuka, bodoh amat perihal kepala siapa pun yang bakal terhantam sebuah ponsel yang terjun bebas dari ketinggian sepuluh lantai.
Akhirnya
Sarimin tak tahu lagi mesti berbuat apa. Awalnya ia memang sengaja datang ke
apartemen Pajenong berbekal sepucuk pistol. Tapi ia sama sekali tak berencana
untuk membunuhnya, melainkan hanya secara tiba-tiba keluar dari kolong ranjang,
menakut-nakuti Pajenong, memaksanya untuk membatalkan kencan dengan Vianna, dan
memaksanya untuk memutuskan hubungan dengan wanita itu. Namun kemarahan yang
secara mendadak menggigit kepalanya membuat Sarimin refleks menjulurkan tangan
dari kolong ranjang dan menembak belakang kepala Pajenong, tanpa sempat ia
memikirkan cara untuk mengamankan mayat korbannya, maupun cara menyelamatkan
diri seandainya ia dikejar-kejar polisi.
Yang
kemudian Sarimin lakukan, setelah menatap jam dinding yang menunjukkan pukul
tujuh malam, adalah melangkah cepat mendekati mayat Pajenong dan
menendang-nendangnya sekuat tenaga hingga kakinya sendiri terasa sakit. Sarimin
menganggap tendangan-tendangannya adalah pembalasan dendam atas pemerkosaan
yang Pajenong lakukan terhadap Vianna. Lantas Sarimin memuntahkan enam peluru
yang tersisa di pistolnya hingga kepala Pajenong hancur betul, dan menganggap
tembakan-tembakan itu sebagai pelampiasan kefrustasiannya, karena tak dapat
mengerti kenapa Vianna mau berkencan dengan pria yang telah memerkosanya.
Tiba-tiba
terdengar pintu apartemen Pajenong diketuk. Suara tembakan-tembakan pasti telah
menarik perhatian orang yang kebetulan berada di dekat pintu itu. Gempa dahsyat
segera melanda jantung Sarimin sebab ia sama sekali belum siap untuk dipenjara.
Keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya seakan ketuban bocor. Ketika
sebentar kemudian terdengar pintu diketuk lagi dengan sedikit lebih keras, Sarimin
langsung bergerak cepat menutup pintu kamar, mematikan TV, dan mengguling-gulingkan
mayat Pajenong ke kolong ranjang. Deodoran Pajenong ia letakkan di tempat
semula setelah dibersihkannya darah di sana dengan beberapa lembar tisu. Lantas
jejak-jejak kematian di lantai ia bersihkan dengan handuk yang diambilnya dari
lemari pakaian dan dibuangnya juga ke kolong ranjang.
Sarimin
berpikir untuk melangkah tanpa suara ke pintu dan mengintip sang pengetuk.
Namun terdengarnya ketukan berikutnya yang jauh lebih keras membuatnya batal
mendekat ke pintu, sebab ia merasa ketukan itu adalah ketukan mengancam,
semacam yang dilakukan para penagih utang terhadap pintu rumah si Pemilik Utang
yang tak kunjung melunasi utang sejak seabad lalu.
Sarimin
menyesal berat karena telah menghabiskan pelurunya. Penyesalan ini sama
beratnya seperti saat ia menyatakan cinta kepada Vianna dua minggu lalu, mengakibatkan
rusak totalnya persahabatan yang telah mereka jaga seperti aib-aib sendiri
selama bertahun-tahun. Oh, seandainya
malam itu aku memutuskan untuk diam saja, Vianna pasti tidak akan marah-marah, tidak
akan lari dari rumahku, tidak akan bertemu dengan Pajenong di tengah jalan, tidak
akan diperkosa di dalam mobil, dan tidak akan berujung pada pembunuhan yang
kulakukan hari ini, Sarimin membatin.
Kali
ini pintu bukan lagi terdengar diketuk, melainkan ditabrak dengan keras, tapi
belum sampai terlepas dari engsel-engselnya. Jantung Sarimin nyaris terlontar
keluar ke jendela yang terbuka, yang jika dimanfaatkannya untuk kabur sekarang
pasti malah akan membuatnya bunuh diri. Sarimin pun mengedarkan pandangan ke
sekeliling, mencari apa saja yang dapat digunakannya untuk menyelamatkan diri:
tongkat bisbol, tongkat golf, dan kaki lampu berdiri. Dipukul dengan ketiga
benda tersebut mestinya lumayan sakit. Tapi seketika terlintas dalam pikirannya
bahwa semua itu belum tentu dapat menyelamatkan dirinya, jika ternyata yang
menunggu di balik pintu adalah lebih dari satu orang. Ataukah aku mesti menjelaskan secara baik-baik kepada sang pengetuk
bahwa Pajenong layak dibunuh, tak lain karena ia telah memerkosa Vianna dan
dengan bangganya meneleponku untuk mengabarkan pemerkosaan itu?
Bagaimanapun, pembunuhan sama saja
jahatnya, sambung
Sarimin dalam hati. Akhirnya tatapan Sarimin terpaku ke lemari pakaian yang
ukurannya lumayan besar. Tepat setelah terdengar pintu berhasil ditumbangkan,
tanpa pikir panjang Sarimin mengumpet ke dalam lemari pakaian tersebut. Aroma
harum seluruh pakaian Pajenong memenuhi bagian dalam lemari, mengingatkannya pada
aroma bebunga harum yang ditaburkan ke dalam peti mati.
Mulailah
terdengar suara langkah kaki di luar sana. Langkah kaki yang sangat ringan, seakan
sang pemilik kaki mencoba melangkah di udara sebelum menyergap lawannya dari
atas. Meski Sarimin benar-benar ketakutan, ia masih sanggup untuk fokus pada
apa yang didengarnya, dan ia bisa menyimpulkan bahwa itu adalah suara langkah
kaki satu orang—tak mungkin lebih. Dan karena hanya ada satu orang, semestinya
Sarimin bisa keluar dari lemari sekarang juga dan bertarung melawannya, atau
sekadar menodongkan pistol ke arahnya sambil melangkah keluar dari apartemen. Tapi melakukan yang mana pun di antara dua
kemungkinan itu tidaklah mudah. Orang di luar sana mestilah orang yang kuat
lagi pemberani, terbukti dari beraninya ia mendobrak masuk ke apartemen ini.
Beberapa
jenak kemudian suara langkah kaki itu lenyap sekonyong-konyong. Tidak mungkin orang itu telah keluar dari
apartemen ini. Jika ia melangkah keluar, semestinya yang terdengar adalah suara
langkah kaki itu semakin mengecil dan mengecil dan hilang, alih-alih seketika
hilang. Orang itu pasti sedang terbang! Dan, pintu lemari pakaian itu
terdengar dikunci dari luar.
***
Harusnya Vianna menembak Pajenong ketika
mereka berjumpa di Kafe X pukul sembilan malam nanti, tanpa peduli akan
diapakan dirinya oleh orang-orang di sekitar. Namun Vianna keburu tak sabar
untuk membantai Pajenong saking murkanya ia, sehingga ia memutuskan untuk
langsung berangkat ke apartemen mantan kekasihnya itu berbekal sepucuk pistol, menumpang
sebuah taksi—yang radionya menyiarkan berita tentang terus bertambahnya kasus
pemerkosaan di kota ini setahun belakangan—dan tiba di tujuan pada pukul tujuh
malam.
Karena
tak kunjung dibukakan pintu, Vianna menerjang pintu apartemen Pajenong hingga
roboh, dan ia sendiri kaget karena dirinya bisa menjadi sekuat itu. Alih-alih
mendapati Pajenong yang terkejut, Vianna mendapati ketidakberadaan siapa pun di
dalam sana. Mungkin Pajenong sudah
berfirasat aku akan datang membunuhnya, sehingga sekarang ia sedang mengumpet.
Wanita itu lantas melangkah masuk dengan sangat perlahan, seakan mencoba
melangkah di udara sebelum menyergap Pajenong dari atas.
Apartemen
Pajenong tidaklah luas, sehingga sebentar kemudian Vianna telah usai
menjelajahi seluruh sudutnya tanpa mendapati keberadaan siapa-siapa, termasuk
di kolong ranjang. Sambil duduk di tepi ranjang, Vianna berpikir, Apakah Pajenong begitu tak sabar berkencan
denganku, sehingga ia sudah berangkat ke Kafe X?
Mendadak
sesuatu entah apa membuatnya memaku tatapan ke lemari pakaian. Tubuhnya sontak
menggigil. Dengan langkah tanpa suara, Vianna pun mendekati lemari tersebut dan
mengunci pintunya. Lalu ia mundur beberapa langkah, menarik napas
panjang-panjang, dan memuntahkan ketujuh butir peluru di pistolnya.
Darah
menetes-netes dari celah bawah pintu lemari.
Vianna
tersenyum dingin, menjatuhkan pistolnya ke lantai, dan meninggalkan apartemen
itu dengan perasaan damai.
***
Vianna tetap datang ke Kafe X pukul
sembilan malam. Ia merayakan kemenangannya yang cukup gemilang dengan memesan
makanan mahal. Sembari menunggu makanan pesanan tiba, ia mengeluarkan ponselnya,
mengakses situs berita terpercaya, dan membaca berita tentang terus
bertambahnya kasus pemerkosaan di kota ini setahun belakangan.
Mendadak
ia merindukan Sarimin dan membayangkan pria itu duduk di hadapannya. Ah, seharusnya waktu itu aku tidak usah
marah-marah kepadanya. Tidak ada yang salah dengan ia jatuh cinta ....
Tepat
setelah makanan pesanannya tiba, Vianna melihat seorang pria berpakaian rapi
memasuki kafe. Pria itu melambaikan tangan ke arahnya sambil melangkah
mendekat. Napas Vianna sontak tercekat. Dan ia hampir pingsan ketika Pajenong, dengan
wajah dipenuhi bekas luka yang baru kering, duduk di hadapannya.
*) Cerpen ini dimuat di Kompas pada Minggu, 8 Maret 2020.