*Sumber Gambar: Pinterest
Dikutuk agar mati sesegera mungkin
tidaklah seberapa mengerikan ketimbang dikutuk agar hidup selamanya.
Kemarin,
orang-orang melakukan demo besar-besaran di depan istanaku; ada terlalu banyak
hal yang mereka tuntut, sehingga aku terlalu malas untuk keluar dari ruanganku
dan menghampiri mereka. Demo itu berjalan baik-baik saja; aparat keamanan tidak
mesti bermain fisik, dan para pendemo, seperti biasa, hanya mampu meneriakkan
ancaman-ancaman yang kuyakin hanyalah omong kosong, alias ancaman-ancaman yang
jika mereka lakukan pun tak akan merugikan siapa-siapa kecuali diri mereka
sendiri. Dan, di antara banyaknya ancaman omong kosong, kudengar ada seorang
pendemo yang berteriak, “Kukutuk kau agar hidup selamanya, Tuan Padon!”
menggunakan pengeras suara; itu adalah teriakan paling menggelikan yang pernah
ditujukan padaku. Beberapa menit setelah terdengar teriakan menggelikan tersebut,
kudengar pidato dari perwakilanku—ia adalah orang yang sangat jago berbicara!—yang
segera saja memadamkan emosi para demonstran, sehingga mereka langsung bubar.
Malamnya,
di kamar tidur istana, aku terbangun dari tidurku sebab mesti ke toilet. Di
toilet, aku terpeleset dan terjatuh, dahiku membentur tepian bak mandi. Luka
yang timbul berkat benturan itu mengucurkan darah lumayan banyak; aku langsung
menekan Tombol Pertolongan Medis yang ada di toilet, sehingga para petugas
medis, yang ruangannya terletak tak jauh dari kamarku, segera menghampiri dan
membantuku sedemikian rupa sampai semuanya baik-baik saja, sampai aku bisa
kembali tidur dengan nyenyak.
Aku
lalu bermimpi: Lima tahun yang akan datang—entah bagaimana bisa aku tahu bahwa
latar waktu dalam mimpi itu adalah lima tahun yang akan datang—aku duduk di
ruang kerjaku seraya mendengarkan banyak sekali orang di luar istana berteriak antusias,
“Ayo kita coblos Tuan Padon lagi! Tuan Padon untuk dua periode! Hidup Tuan
Padon! Hidup Partai Singa yang dipimpin Tuan Padon!”
Kemudian
ada seseorang tak dikenal yang masuk ke ruanganku; entah kenapa para penjaga
tak mencegahnya. Kutebak, ia hanya seorang rakyat kecil.
“Halo,
Tuan Padon,” ucap si Rakyat Kecil seraya melangkah mendekatiku perlahan-lahan,
tangan kanannya ia masukkan ke dalam saku celana, “bolehkah saya mencoblos Anda?”
“Oh,
tentu saja boleh,” jawabku dengan penuh wibawa. “Mencoblos saya adalah tindakan
paling bijaksana yang akan Anda lakukan seumur hidup Anda.”
Si
Rakyat Kecil pun mengeluarkan tangan kanannya dari saku celana dan, oh, terlihat
sebatang paku terjepit di antara jari telunjuk dan jempol tangan kanannya itu!
Tubuhku mendadak tak bisa digerakkan saat ia semakin dekat kepadaku, dengan
senyum ganjil yang semakin mengembang di bibirnya. Akhirnya, dengan paku itu,
ia mencoblos dahiku! Aku tentu menjerit-jerit kesakitan; saat itu tahu-tahu
tanganku bisa digerakkan, dan aku pun menggunakannya untuk mencabut paku di
dahiku.
Aku
langsung terbangun. Perban dan tampon luka, yang seharusnya berada di dahi, tahu-tahu
telah berada di tanganku. Pasti aku mencabutnya tanpa sadar. Begitu kusadari
keberadaan bercak-bercak darah di bantal dan rasa sakit yang semakin menyengat
dahi, aku langsung bangkit dari tempat tidur, menghadap cermin, mendapati
jahitan pada luka di dahiku telah sedemikian rusak—pasti berkat ulah tanganku
sendiri—sebelum menekan Tombol Pertolongan Medis yang ada di samping tempat
tidur. Tapi, hingga sepuluh menit kemudian, tak ada seorang pun petugas medis
yang datang ke kamarku, padahal biasanya mereka akan muncul tak lebih dari lima
menit setelah tombol kutekan.
Tiba-tiba
ada yang membuka pintu kamarku dari luar, dengan amat kasar; mereka semua
bertopeng, memegang senjata api berperedam, dan berpakaian penuh cipratan darah.
Di belakang mereka, para petugas medis bergeletakan di lantai.
“Tidak
ada periode kedua untukmu, Padon,” kata salah seorang dari mereka. “Dan tidak
akan ada lagi tempat bagi Partai Singa.”
“Siapa
kalian?!” tanyaku, panik.
“Kami
adalah pasukan rahasia Tuan Nodap, penguasa berikutnya, yang akan mengalahkanmu
di hari pemilihan nanti.”
“Hah!
Pasukan profesional tidak akan membocorkan informasi soal tuan mereka! Dasar kalian
pasukan rahasia amatir!” ejekku. “Aku akan melaporkan tindakan kalian kepada
media dan siapa saja, sehingga tuan kalian itu tidak akan dipilih di hari
pemilihan nanti, atau bahkan didiskualifikasi!”
“Untuk
mencegah hal itu, Padon, maka kami datang kemari dengan membawa senjata.”
Dan,
mereka menembaki tubuhku bertubi-tubi; perut, dada, leher, kepala, dan anggota-anggota
tubuhku yang lainnya dipenuhi lubang peluru! Aku langsung tergeletak di lantai,
berlumuran darah sebagaimana para petugas medis, dan hendak menjerit kesakitan,
namun tak ada jeritan yang keluar sebab, sepertinya, pita suaraku telah hancur
tertembak.
“Eh?
Ia belum mati?” ucap salah seorang pria bertopeng, lalu menembakku beberapa
kali lagi.
“Astaga!
Ia masih belum mati!”
Mereka
semua terkejut sekali. Begitu pula aku.
Mereka
pun menembakiku lagi, hingga rasa sakit yang menyetubuhi tubuhku semakin
menjadi-jadi, hingga tubuhku makin hancur dan tak keruan wujudnya.
“Apakah
ia sudah mati?”
Aku
tidak bisa melihat siapa yang berbicara karena kedua mataku sudah hancur, tapi
aku masih bisa mendengarnya, masih bisa merasakan adanya ketakutan dalam suara
itu.
“Sial!
Tampaknya ia belum mati!”
“Hah?
Dari mana kau tahu?”
“Lihat,
itunya masih berdenyut-denyut! Padahal sudah hancur betul!”
Kemudian
terdengar raungan sirine mobil-mobil polisi, berasal dari luar istana.
“Ayo
kabur! Percuma mengurusi Padon jika ia tak bisa mati!”
“Kita
tidak bisa meninggalkannya di sini dalam keadaan hidup! Jangan sampai ia bicara
ke siapa pun soal kejadian ini!”
“Tinggalkan
saja! Toh, ia tak bisa bicara lagi karena pita suaranya pasti sudah hancur!”
“Tapi,
selama nyawanya masih ada, bisa saja ia dibuatkan pita suara baru!”
“Hei,
kita bawa saja ia!”
Aku
merasakan tubuhku disentuh oleh mereka, diangkat, dan dimasukkan ke dalam
sesuatu yang sepertinya adalah karung. Lantas kurasakan tubuhku terayun-ayun
saat mereka berlari kencang, kudengar raungan sirine mobil-mobil polisi semakin
dekat, kudengar suara tembak-tembakan, hingga akhirnya karungku diletakkan di
suatu tempat yang bergetar dan dipenuhi suara deru mesin—sepertinya aku berada
di dalam mobil. Selama itu pula, rasa sakit di sekujur tubuh tak putus-putusnya
kurasakan.
Tak
terlalu lama kemudian, tak terdengar lagi tembak-tembakan pun sirine
mobil-mobil polisi. Hanya terdengar deru mesin mobil yang mengangkutku—jika
benar aku sedang berada di dalam mobil—dan percakapan mereka saat mendiskusikan
soal apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk meng-“aman”-kanku. Akhirnya,
mereka memutuskan untuk mencincang-cincang tubuhku, menjadikanku makanan bagi
singa peliharaan tuan mereka!
Aku
tak sanggup mendeskripsikan-dengan-tepat rasa sakit yang kurasakan ketika
tubuhku—yang dipenuhi lubang peluru—dicincang-cincang. Lebih-lebih, karena
dicincang-cincang, pendengaranku jadi menghilang, sehingga aku secara total
terfokus kepada apa yang fisikku rasakan. Ditambah lagi, kurasakan tubuhku yang
telah dicincang-cincang dikunyah oleh seekor singa, lalu dicerna sedemikian
rupa!
Ya
Tuhan, atau siapa saja, cabutlah kutukan busuk yang ada di diriku ini!
***
Sayangnya, Tuhan, atau siapa pun itu,
tak kunjung mencabut kutukan ini, bahkan hingga aku menjadi tahi yang mulai mengering!
*) Cerpen ini dimuat di Manifesco pada 1 Februari 2020.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar