Senin, 09 Maret 2020

PERJALANAN PUITIS SEORANG PEMBUNUH BAYARAN -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Koran Tempo



Agak aneh rasanya karena yang membutuhkan jasaku kali ini adalah seorang remaja lelaki SMA, alih-alih pejabat atau semacamnya, terlepas entah dari manakah ia mengetahui tempat tinggalku atau dari manakah ia mendapatkan uang sebanyak itu untuk membayarku. Dan orang yang mesti kubunuh juga bukanlah seorang penting, yang jika mati akan menyebabkan satu negara gonjang-ganjing misalkan, melainkan seorang guru Bahasa Indonesia yang mengajar di kelas remaja pelangganku itu.
            
“Kenapa kau ingin ia mati?” tanyaku ketus, karena sempat kupikir ia datang kemari dengan tak seserius itu. “Jangan bilang hanya karena kau dijemurnya di lapangan sekolah, atau karena kau diberinya nilai ujian jelek.”
            
“Kejahatannya jauh lebih buruk, Tuan Pembunuh,” sahut si Remaja SMA, rupanya dengan ekspresi yang, kutahu betul, menandakan betapa ia ingin seseorang mati secara mengenaskan. “Ia mencuri puisi-puisiku yang kusetor sebagai tugas.”
            
“Hah? Apa maksudmu?”
            
Remaja itu menjelaskan lebih kurang begini: Sebulan lalu, si Guru Bahasa Indonesia menugaskan murid-muridnya membuat tiga puisi untuk dikumpulkan minggu depan. Sebagai murid yang baik, pelangganku itu mengerjakan tugas dan mengumpulkannya tepat waktu. Lucunya, tiga minggu setelah dikumpulkan, ia mendapati ketiga puisi tugasnya dimuat di kolom sastra koran nasional, atas nama si Guru Bahasa Indonesia!
            
“Kau tak tahu betapa lamanya aku telah menunggu puisi-puisiku dimuat di koran itu ....” sambungnya dengan getaran suara semakin menjadi.

***

Sehari setelah remaja SMA itu memberiku alamat rumah si Guru Bahasa Indonesia, aku langsung pergi ke alamat tersebut; bukan untuk membunuh, melainkan buat melakukan berbagai riset terlebih dahulu selama beberapa hari tanpa henti. Sebagai seorang pembunuh bayaran profesional, tentu aku mesti tahu bagaimana cara membunuh guru itu serapi mungkin, bagaimana cara melarikan diri dari lingkungan tempat tinggalnya tanpa terlihat siapa pun, apa-apa saja yang mesti kuwaspadai di sekitaran sana, dan lain-lain. Kusimpulkan, membunuh si Guru Bahasa Indonesia taklah sesulit itu, malah amat sangat jauh lebih mudah ketimbang membunuh Walikota A, Menteri B, Presiden Negara C, dan sebagainya. Targetku itu hanyalah seorang guru berusia empat puluh tahun yang, selain menghabiskan hari-hari biasa di sekolah, di rumahnya selalu sibuk memeriksa tugas-tugas para murid, membaca buku-buku puisi, serta menulis puisi sampai menangis tersedu-sedu—ini serius. Ia tak punya anak maupun istri; aku jadi berpikir bahwa ia hanya mau “memberikan” hidupnya kepada puisi. Selain itu, kompleks perumahan tempatnya tinggal tergolong sepi.
            
“Riset yang kulakukan sudah cukup,” jelasku kepada remaja SMA itu, saat ia datang lagi ke tempat tinggalku buat memastikan proses pekerjaanku. “Besok malam ia akan mati secara mengenaskan. Dan, sebagai bonus, aku akan mengambil beberapa koleksi buku puisinya untukmu.”
            
“Terima kasih, Tuan Pembunuh. Tapi, kalau kau tidak keberatan … selain secara mengenaskan, aku ingin ia mati secara puitis.”
            
Meski tidak sepenuhnya paham akan frasa ‘mati secara puitis’, aku membalas, “Meski aku bukan penyair, pembunuhan-pembunuhan yang kulakukan selalu lebih puisi ketimbang puisi.” Aku sendiri tak terlalu paham akan frasa ‘lebih puisi ketimbang puisi’, tapi sengaja kuucapkan supaya terdengar puitis saja dan membuat pelanggan cilikku itu senang.

***

Sekarang si Guru Bahasa Indonesia sedang menulis puisi di laptopnya, dan aku telah berdiri di belakangnya tanpa ia sadari. Aku membekali diri dengan segulung benang gelasan, alih-alih pistol berperedam yang biasa kugunakan; memang pembunuhan yang akan kulakukan bakal sedikit lebih sulit, tapi justru karena itulah rasanya akan jadi lebih puitis. Dan, sebagaimana permintaan si Remaja SMA, saat si Guru Bahasa Indonesia meronta-ronta kehabisan napas serta darah, di telinga guru itu aku akan mengucapkan larik-larik puisi ini—yang sudah kuhafalkan dari kemarin:

sebentar lagi akan tiba tamu terakhir itu
yang kausambut dengan sukacita:
kematian

           kau akan membukakan pintu untuknya
sedetik setelah terdengar ketukan kasar
lantas senyum kalian saling bertukar 
            
Itu adalah salah satu puisi karya si Remaja SMA yang ia kumpulkan sebagai tugas—entah kenapa aku lupa judulnya—puisi yang diharapkan akan langsung menyadarkan si Guru Bahasa Indonesia, di detik-detik terakhir, akan alasan dibunuhnya ia.
            
Kupikir ini akan menjadi misiku yang paling absurd dan tidak begitu gagah .... Tapi tak apa-apa.
            
Ketika aku perlahan melangkah mendekati guru itu untuk menjerat lehernya dari belakang, tiba-tiba saja ia berbalik dan meludah tepat ke wajahku. Buset! Tumben-tumbennya aku sekaget ini, sampai aku mematung sejenak sambil merasakan ludah itu di antara kedua mataku, ludah yang dingin seperti air laut di malam hari.
            
“Rasakanlah ludah yang dipenuhi puisi,” kata guru itu.
            
Jantungku sontak berdebar-debar teramat kencang, seperti akan meledak. Secara cepat, suatu sensasi menjalar dari wajah ke sekujur tubuhku. Aku tak tahu apa sebutan yang tepat untuk sensasi tersebut. Yang jelas, setelah sensasi itu berhenti menjalar, tahu-tahu …

            tangan angin memecah kaca jendela
            dan menghantam jantungku
            jam dinding yang berdetak kalem
            mencengkeram lambungku
            hingga kata-kata pengungkap rasa sakit
            termuntah dari seluruh pori tubuhku
           
            tiba-tiba ada yang mengetuk pintu
            di punggungku dengan
 suatu kelembutan ganjil:
            ia, tamu terakhir itu 
            
Sekujur tubuhku begitu lemas, sampai-sampai aku tak bisa berbuat apa-apa selain tergeletak di lantai, menatap …

            langit-langit itu tertawa lebar
            melihat tubuh layuku
            dari mulutnya terlihat
            hujan tombak segera datang

Aku sudah beberapa kali pernah hampir mati dalam misiku, tapi yang sekarang ini rasanya sungguh berbeda. Aku tidak merasa menderita, melainkan lumayan menikmatinya! Sialan!
            
Si Guru Bahasa Indonesia lalu berjongkok di sampingku. Ia tertawa kecil sebelum berkata, “Dan kini tibalah tamu terakhir itu, yang kausambut dengan suka cita: kematian.”

***

Keesokan paginya, di depan pintu rumah, remaja SMA itu mendapati selembar kertas A4 di tanah, hampir saja tak sengaja ia injak dengan sepatu sekolahnya. Sejenak ia memicingkan mata sambil menatap isi kertas itu, sebelum tangisannya meledak kencang. Tidak, ia bukan menangis sedih. Ia hanya begitu terharu karena melihat mayat pembunuh bayaran itu dikemas dengan sedemikian puitis.





*) Cerpen ini dimuat di Koran Tempo pada Sabtu, 7 Maret 2020.

Tidak ada komentar :