*Sumber Gambar: Koran Tempo
Agak aneh rasanya karena yang membutuhkan
jasaku kali ini adalah seorang remaja lelaki SMA, alih-alih pejabat atau
semacamnya, terlepas entah dari manakah ia mengetahui tempat tinggalku atau
dari manakah ia mendapatkan uang sebanyak itu untuk membayarku. Dan orang yang
mesti kubunuh juga bukanlah seorang penting, yang jika mati akan menyebabkan satu
negara gonjang-ganjing misalkan, melainkan seorang guru Bahasa Indonesia yang
mengajar di kelas remaja pelangganku itu.
“Kenapa
kau ingin ia mati?” tanyaku ketus, karena sempat kupikir ia datang kemari dengan
tak seserius itu. “Jangan bilang hanya karena kau dijemurnya di lapangan
sekolah, atau karena kau diberinya nilai ujian jelek.”
“Kejahatannya
jauh lebih buruk, Tuan Pembunuh,” sahut si Remaja SMA, rupanya dengan ekspresi
yang, kutahu betul, menandakan betapa ia ingin seseorang mati secara
mengenaskan. “Ia mencuri puisi-puisiku yang kusetor sebagai tugas.”
“Hah?
Apa maksudmu?”
Remaja
itu menjelaskan lebih kurang begini: Sebulan lalu, si Guru Bahasa Indonesia menugaskan
murid-muridnya membuat tiga puisi untuk dikumpulkan minggu depan. Sebagai murid
yang baik, pelangganku itu mengerjakan tugas dan mengumpulkannya tepat waktu. Lucunya,
tiga minggu setelah dikumpulkan, ia mendapati ketiga puisi tugasnya dimuat di
kolom sastra koran nasional, atas nama si Guru Bahasa Indonesia!
“Kau
tak tahu betapa lamanya aku telah menunggu puisi-puisiku dimuat di koran itu
....” sambungnya dengan getaran suara semakin menjadi.
***
Sehari setelah remaja SMA itu memberiku
alamat rumah si Guru Bahasa Indonesia, aku langsung pergi ke alamat tersebut;
bukan untuk membunuh, melainkan buat melakukan berbagai riset terlebih dahulu
selama beberapa hari tanpa henti. Sebagai seorang pembunuh bayaran profesional,
tentu aku mesti tahu bagaimana cara membunuh guru itu serapi mungkin, bagaimana
cara melarikan diri dari lingkungan tempat tinggalnya tanpa terlihat siapa pun,
apa-apa saja yang mesti kuwaspadai di sekitaran sana, dan lain-lain. Kusimpulkan,
membunuh si Guru Bahasa Indonesia taklah sesulit itu, malah amat sangat jauh
lebih mudah ketimbang membunuh Walikota A, Menteri B, Presiden Negara C, dan sebagainya.
Targetku itu hanyalah seorang guru berusia empat puluh tahun yang, selain
menghabiskan hari-hari biasa di sekolah, di rumahnya selalu sibuk memeriksa
tugas-tugas para murid, membaca buku-buku puisi, serta menulis puisi sampai
menangis tersedu-sedu—ini serius. Ia tak punya anak maupun istri; aku jadi
berpikir bahwa ia hanya mau “memberikan” hidupnya kepada puisi. Selain itu,
kompleks perumahan tempatnya tinggal tergolong sepi.
“Riset
yang kulakukan sudah cukup,” jelasku kepada remaja SMA itu, saat ia datang lagi
ke tempat tinggalku buat memastikan proses pekerjaanku. “Besok malam ia akan
mati secara mengenaskan. Dan, sebagai bonus, aku akan mengambil beberapa
koleksi buku puisinya untukmu.”
“Terima
kasih, Tuan Pembunuh. Tapi, kalau kau tidak keberatan … selain secara
mengenaskan, aku ingin ia mati secara puitis.”
Meski
tidak sepenuhnya paham akan frasa ‘mati secara puitis’, aku membalas, “Meski
aku bukan penyair, pembunuhan-pembunuhan yang kulakukan selalu lebih puisi
ketimbang puisi.” Aku sendiri tak terlalu paham akan frasa ‘lebih puisi
ketimbang puisi’, tapi sengaja kuucapkan supaya terdengar puitis saja dan
membuat pelanggan cilikku itu senang.
***
Sekarang si Guru Bahasa Indonesia
sedang menulis puisi di laptopnya, dan aku telah berdiri di belakangnya tanpa
ia sadari. Aku membekali diri dengan segulung benang gelasan, alih-alih pistol
berperedam yang biasa kugunakan; memang pembunuhan yang akan kulakukan bakal sedikit
lebih sulit, tapi justru karena itulah rasanya akan jadi lebih puitis. Dan, sebagaimana
permintaan si Remaja SMA, saat si Guru Bahasa Indonesia meronta-ronta kehabisan
napas serta darah, di telinga guru itu aku akan mengucapkan larik-larik puisi
ini—yang sudah kuhafalkan dari kemarin:
sebentar lagi akan tiba tamu terakhir
itu
yang kausambut dengan sukacita:
kematian
kau akan
membukakan pintu untuknya
sedetik setelah terdengar ketukan kasar
lantas senyum kalian saling bertukar
Itu
adalah salah satu puisi karya si Remaja SMA yang ia kumpulkan sebagai tugas—entah
kenapa aku lupa judulnya—puisi yang diharapkan akan langsung menyadarkan si
Guru Bahasa Indonesia, di detik-detik terakhir, akan alasan dibunuhnya ia.
Kupikir
ini akan menjadi misiku yang paling absurd dan tidak begitu gagah .... Tapi tak
apa-apa.
Ketika
aku perlahan melangkah mendekati guru itu untuk menjerat lehernya dari
belakang, tiba-tiba saja ia berbalik dan meludah tepat ke wajahku. Buset! Tumben-tumbennya
aku sekaget ini, sampai aku mematung sejenak sambil merasakan ludah itu di
antara kedua mataku, ludah yang dingin seperti air laut di malam hari.
“Rasakanlah
ludah yang dipenuhi puisi,” kata guru itu.
Jantungku
sontak berdebar-debar teramat kencang, seperti akan meledak. Secara cepat,
suatu sensasi menjalar dari wajah ke sekujur tubuhku. Aku tak tahu apa sebutan
yang tepat untuk sensasi tersebut. Yang jelas, setelah sensasi itu berhenti
menjalar, tahu-tahu …
tangan angin memecah kaca jendela
dan menghantam
jantungku
jam dinding yang
berdetak kalem
mencengkeram
lambungku
hingga kata-kata
pengungkap rasa sakit
termuntah
dari seluruh pori tubuhku
tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu
di
punggungku dengan
suatu kelembutan ganjil:
ia, tamu
terakhir itu
Sekujur
tubuhku begitu lemas, sampai-sampai aku tak bisa berbuat apa-apa selain
tergeletak di lantai, menatap …
langit-langit itu tertawa lebar
melihat tubuh
layuku
dari
mulutnya terlihat
hujan tombak
segera datang
Aku
sudah beberapa kali pernah hampir mati dalam misiku, tapi yang sekarang ini rasanya
sungguh berbeda. Aku tidak merasa menderita, melainkan lumayan menikmatinya!
Sialan!
Si
Guru Bahasa Indonesia lalu berjongkok di sampingku. Ia tertawa kecil sebelum
berkata, “Dan kini tibalah tamu terakhir itu, yang kausambut dengan suka cita:
kematian.”
***
Keesokan paginya, di depan
pintu rumah, remaja SMA itu mendapati selembar kertas A4 di tanah, hampir saja
tak sengaja ia injak dengan sepatu sekolahnya. Sejenak ia memicingkan mata
sambil menatap isi kertas itu, sebelum tangisannya meledak kencang. Tidak, ia
bukan menangis sedih. Ia hanya begitu terharu karena melihat mayat pembunuh
bayaran itu dikemas dengan sedemikian puitis.
*) Cerpen ini dimuat di Koran Tempo pada Sabtu, 7 Maret 2020.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar