*Sumber Gambar: Takanta.id
Gempa membangunkan si Pembunuh dan
istrinya yang tengah hamil besar pada tengah malam. Gempa tersebut berlangsung
selama kira-kira lima detik, membuat seluruh dinding rumah si Pembunuh dipenuhi
retakan, hingga tampak seperti cangkang telur
yang hampir dipecahkan oleh seekor anak ayam dari dalam. Lucunya, langit-langit
pun lantai tak terluka sama sekali.
“Biaya
renovasinya pasti akan amat mahal,” komentar si Pembunuh.
“Berapa
orang yang mesti kau bunuh untuk memenuhi biaya renovasi itu?” tanya sang
istri.
“Entah.
Akan segera kupikirkan.”
Mereka
memutuskan untuk lanjut tidur. Ketika si Pembunuh hampir kembali terlelap,
mendadak ia mendengar suara-suara aneh dari seluruh penjuru mata angin, begitu
dekat dengan dirinya. Tentu ia segera membuka mata. Dan, si Pembunuh pun
mendapati roh-roh memasuki kamarnya melalui retakan-retakan di dinding; mereka
tampak seperti cairan yang bisa melewati celah sekecil apa pun. Ia mengingat
wajah seperempat dari roh-roh itu, yang tak lain adalah korban-korbannya
terdahulu. Roh-roh lainnya pasti juga
para korbanku, hanya saja telah kulupakan.
***
Sembari sarapan di ruang makan, si
Pembunuh menceritakan pada istrinya soal roh-roh yang semalam ia lihat, roh-roh
yang sang istri tak lihat karena tidur terlalu nyenyak.
“Tapi,
ke mana mereka semua sekarang?” tanya sang istri.
“Entah.
Mungkin mereka hanya muncul pada malam hari, seperti di cerita-cerita fiktif.”
“Maksudmu,
malam nanti dan malam-malam seterusnya mereka akan muncul lagi?”
“Entah.
Tapi toh aku tidak takut pada mereka. Kau juga, pastinya.”
Sang
istri tampak menimbang-nimbang sejenak. “Mereka tidak akan melukai kita?”
“Tidak.
Karena telah banyak roh yang kulihat, aku jadi bisa membedakan mana yang akan
melukai, mana yang sekadar menakut-nakuti dengan menampakkan diri, atau mana
yang sekadar lewat. Hantu-hantu yang semalam muncul adalah jenis kedua.”
“Bagaimanapun,
sebaiknya kita segera merenovasi dinding-dinding rumah ini, jika memang mereka
masuk melalui retakan-retakan itu. Apa kau mau persetubuhan kita disaksikan
banyak roh? Tidakkah kau merasa risih, sekalipun tidak takut?”
“Ya.
Pasti akan membuat risih.” Si Pembunuh mengembuskan napas berat. Lalu ia
mengganti arah pembicaraan, “Lucu sekali kalau dipikir-pikir. Kenapa mereka
masuk lewat retakan-retakan di dinding yang baru muncul semalam, alih-alih
lewat ventilasi yang telah ada sejak rumah ini dibangun?”
“Mungkin
faktor selera?”
Mereka
pun tertawa terbahak-bahak.
***
Siangnya, seorang ahli bangunan
berkunjung ke rumah mereka. Setelah mengamati dinding di seluruh ruangan, ia
mengucapkan sebuah harga. Si Pembunuh pun berpikir, Setidaknya aku mesti membunuh tiga orang.
Sorenya,
si Pembunuh menerima surat pemesanan untuk membunuh seorang gigolo muda. Menjelang
malam, ia langsung berangkat menuju lokasi targetnya, dan sukses menyelesaikan
tugas dengan tak terlalu sulit pada pukul sembilan malam. Pukul sepuluh malam
di hari yang sama, ia berjumpa dengan orang yang memberinya order dan menerima
bayaran di tempat. Dua jam kemudian, si Pembunuh memasuki rumahnya dan
mendapati roh-roh telah memenuhi ruang depan, beterbangan di udara, umpama
ikan-ikan di akuarium. Berdiri di depan pintu kamar, ia mendengar
desahan-desahan sang istri. Ia merancap sebab
tak sabar menungguku pulang. Begitu membuka pintu, kontan si Pembunuh dan
istrinya menjerit kaget. Sang istri menjerit karena melihat si Pembunuh baru
pulang; si Pembunuh menjerit karena melihat sang istri sedang bersetubuh dengan
diri si Pembunuh yang lain! Diri si Pembunuh yang lain pun serta-merta berubah
ke wujud aslinya: roh sang gigolo muda. Itu adalah pembalasan dendam paling
menyakitkan yang pernah si Pembunuh terima dari korbannya.
***
Si Pembunuh berbisik pada istrinya, “Aku
akan mengucapkan kode begitu aku-yang-asli pulang nanti. Kodenya: pisau jatuh dari langit.”
Sang
istri bergumam, mengulang kode tersebut.
“Jika
aku tak mengucapkan kode itu,” tambah si Pembunuh, “berarti itu bukan aku.”
Si
Pembunuh pun pergi ke lokasi target pembunuhan selanjutnya, di sebuah rumah
sakit. Menurut surat pemesanan yang diterimanya pagi tadi, targetnya adalah
seorang dokter kandungan. Entah kenapa si Pemesan ingin dokter tersebut mati.
Yang jelas, setelah membunuh sang dokter kandungan dan menerima bayaran dari
sang pemesan, si Pembunuh langsung pulang dan mendapati sang istri, dikelilingi
roh-roh yang berdansa-dansi bahagia, menangis tersedu-sedu di tempat tidur.
“Pisau jatuh dari langit. Ada apa? Apa
hantu-hantu membuatmu takut?”
Setelah
bertanya demikian, tanpa sang istri menjawab, si Pembunuh tersadar bahwa perut
wanita itu telah mengempis. Bakal bayi mereka lenyap entah ke mana, dan
pembalasan dendam itu lebih menyakitkan ketimbang yang kemarin.
***
Sebelum menuju lokasi target pembunuhan
berikutnya, si Pembunuh mengantarkan istrinya ke Penginapan X yang jauh dari
rumah—dan tak terkena dampak gempa—yang tiap sisi dindingnya terbebas dari
retakan. Tentu itu dilakukannya karena pembalasan dendam yang ditujukan pada
orang-lain-yang-dicintai jauh lebih merepotkan ketimbang yang ditujukan pada
diri sendiri. Lebih-lebih, ia diberi tahu bahwa target pembunuhannya kali ini
adalah pensiunan pembunuh bayaran.
Dan,
sesuai dugaan si Pembunuh, terjadi pertempuran sengit antara ia dan targetnya. Di
akhir pertarungan, si Pembunuh kehilangan tangan kiri, sedang sang lawan
kehilangan nyawa.
Tidak,
itu bukan akhir pertarungan. Rupanya, korban si Pembunuh belum benar-benar kalah;
sesaat kemudian muncullah rohnya, yang segera memberi serangan bertubi-tubi.
Tapi tetap saja roh itu gagal menang, meski si Pembunuh telah benar-benar
kelelahan. Bagaimanapun, sebelum roh itu mati, si Pembunuh mesti kehilangan tangan
kanannya pula.
***
Para pekerja bangunan sedang menumpas
retakan-retakan pada setiap sisi dinding di rumah si Pembunuh. Sementara itu,
si Pembunuh diopname di sebuah rumah sakit sederhana—yang, telah ia pastikan,
tak memiliki retakan sama sekali pada tiap sisi dindingnya—di dekat Penginapan
X.
“Berjanjilah
untuk tak membunuh lagi,” kata sang istri, ketika menjenguk suaminya untuk
pertama kali, pada suatu pagi.
“Tentu.
Aku juga tak akan mendapat surat pemesanan lagi begitu kondisiku diketahui oleh
para pelanggan.”
“Kita
akan sama-sama memikirkan cara lain untuk mencari uang.”
Seminggu berlalu, akhirnya sepasang suami istri itu sudah bisa beristirahat dengan nyaman di kamar mereka, di rumah yang setiap dindingnya tak dihiasi retakan sekecil apa pun. Tentu saja kemudian mereka bersetubuh untuk “mengembalikan” bakal bayi yang hilang, tanpa disaksikan roh-roh yang mengisi udara malam. Tiba-tiba, gempa bumi. Sekitar lima detik kemudian, mereka yang masih telanjang dan berada pada posisi menyenangkan pun tak lagi melihat dinding-dinding di sekeliling, melainkan roh-roh yang berdansa-dansi bahagia.
*) Cerpen ini dimuat di Takanta.id pada 29 Maret 2020.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar