Tentu kau tak pernah tahu bahwa burung
peliharaanmu yang bernama Petto itu ingin menjadi Tuhan. Keinginan tersebut
muncul setelah sebelumnya ia ingin menjadi manusia.
“Menjadi
manusia itu sangat menjijikkan!” kata seekor burung liar yang adalah teman baik
burung peliharaanmu. “Lebih baik kau menjadi burung liar saja seperti aku! Toh,
aku bisa membukakan pintu sangkarmu dari luar sini, seperti sebelum-sebelumnya
ketika kauminta, kemudian kau akan bebas dan berhak menjadi liar!”
“Ini
bukan perihal ‘bebas dan liar’,” sahut Petto. “Ini perihal ‘menjadi manusia
seutuhnya’.”
“Berarti
kau ingin menjadi makhluk yang menjijikkan seutuhnya!”
“Tidak
masalah. Walaupun manusia menjijikkan, tapi manusialah penguasa dunia ini. Dan,
aku juga ingin berkuasa, sehingga aku harus menjadi manusia.”
“Memangnya
kau tahu bagaimana cara menjadi manusia?”
“Tentu
saja dengan memakan manusia. Tapi, manusia yang akan kumakan bukanlah
majikanku. Dia terlalu baik. Aku akan memakan manusia yang lain saja.
Sayangnya, di sekitaran sini aku tak pernah melihat ada manusia yang lain.”
Hening
sejenak. Bahkan angin malam pun turut bungkam.
“Tunggu
… tunggu …” ujar si Burung Liar, mengoyak keheningan.
“Kalau aku tak salah
dengar, tadi kaubilang bahwa kau ingin menjadi manusia karena ingin berkuasa,
bukan?”
Petto
mengangguk mantap.
“Kenapa
kau tidak sekalian saja menjadi Tuhan?”
***
Keesokan malamnya, sebagaimana malam-malam
selanjutnya, si Burung Liar membukakan pintu sangkar Petto dari luar, dengan maksud
membantu sang teman dekat—dan berharap Petto gagal menjadi Tuhan, lalu sudilah
ia menjadi burung liar saja. Setelah keluar dari sangkarnya yang tergantung di langit-langit
beranda, bertenggerlah Petto pada bibir lubang udara kamarmu. Di dalam kamar,
dengan pencahayaan remang-remang dari lampu tidur, ia dapat melihat kau bersila
di kasur sembari mencakupkan tangan di dada.
Muncullah, Tuhan! Muncullah! Petto
berkata dalam hati sembari memandangi kau yang sibuk berdoa. Ia yakin Tuhan
akan muncul sebab begitulah yang tak sengaja dilihatnya beberapa bulan lalu—sebelum
ia ingin menjadi manusia—dari bibir lubang udara itu juga, dalam rangka sekadar iseng. Pada malam beberapa bulan
yang lalu itu, dilihatnya Tuhan masuk melalui pintu kamarmu tanpa perlu membuka
apalagi mengetuknya, sebab Tuhan bisa menembus apa saja. Dan, sebelum kau lepas
dari doa, Tuhan meletakkan segepok uang—yang kauminta dalam doa—di sampingmu.
Berdoalah yang ikhlas, oh majikanku, supaya
Tuhan sudi datang!
Tak lama kemudian ada yang menembus
pintu kamarmu sebagaimana malam beberapa bulan yang lalu itu. Tentu saja itu
Tuhan, dan kau tak akan melihatnya sebab kau masih terlarut dalam doa. Saat
itulah Petto beraksi; ia menukik tajam ke arah Tuhan, membuka paruhnya
lebar-lebar, tetapi sebelum Tuhan berhasil disentuh apalagi ditelannya, sekonyong-konyong
tubuh Tuhan memancarkan kalor yang membuat Petto kepanasan hebat. Petto pun cepat-cepat
menjauhi Tuhan dan keluar dari kamarmu melalui lubang udara.
Anehnya,
tubuhmu yang didekap doa itu taklah merasakan panasnya Tuhan sedikit pun.
***
“Sudah kubilang, mending kau menjadi
burung liar saja seperti aku!” si Burung Liar berkata, kemudian tertawa
terbahak-bahak.
“Awas
saja kalau aku sampai berhasil memakan Tuhan,” balas Petto dengan penuh
kekesalan.
***
Hingga enam malam berikutnya, usaha Petto
untuk memakan Tuhan masihlah gagal. Gagal dengan cara yang sama. Si Burung Liar
pun semakin sering mengejek Petto dan terus-menerus membujuknya agar mau
menjadi burung liar saja.
“Tetapi
burung liar tidak akan seberkuasa manusia apalagi Tuhan, Kawan!” kata Petto.
“Tak
masalah apakah kau penguasa atau kau yang dikuasai,” sahut si Burung Liar, “yang
penting kau berbahagia dan tak perlu menelan kekecewaan karena selalu gagal
memakan Tuhan!”
Pada
malam selanjutnya, Petto tak lagi mengamati kau—yang berdoa—dan Tuhan—yang datang—dari
bibir lubang udara kamarmu, sebab di sangkarnya ia sedang sibuk memikirkan “rencana
baru”.
***
“Apa? Burung betina? Sebanyak-banyaknya?”
si Burung Liar terbelalak. “Buat kaukawini?”
Dari
dalam sangkarnya, burung peliharaanmu menjawab, “Ya.”
“Setelah
berusaha untuk memakan Tuhan berkali-kali dan gagal, apa yang membuatmu
berpikir untuk kawin berkali-kali, Petto?”
“Kau
akan tahu nanti. Tak perlulah bertanya sekarang. Yang perlu kaulakukan hanyalah
membantuku mencari burung betina sebanyak-banyaknya.”
Tanpa
perlu berpikir panjang, si Burung Liar menjawab, “Tidak perlu kucarikan pun kau
pasti dapat. Hutan di mana rumah majikanmu ini berdiri menyimpan banyak burung
betina liar yang liar!”
***
Tentu kau tak pernah tahu bahwa burung
peliharaanmu itu dapat mengawini setidaknya sepuluh ekor burung betina liar tiap
malam, saban kau terlelap.
Petto
memang sudah tidak pernah lagi memerhatikan kau yang berdoa sebelum tidur dan
Tuhan yang mendatangimu, tapi bukan berarti keinginannya untuk memakan-menjadi
Tuhan telah lenyap. Justru ia sengaja mengawini burung betina liar
sebanyak-banyaknya karena itu adalah langkah awal dari “rencana baru”-nya.
Selain
burung betina liar yang masih sendiri, burung betina liar yang sudah punya
pejantan pun dikawininya. Jika ada pejantan yang marah, maka Petto akan
membunuh pejantan itu dengan caranya sendiri.
***
Berbulan-bulan kemudian, Petto sudah
memiliki ribuan ekor anak dari betina-betina yang dikawininya. Setiap ada
kesempatan, Petto selalu mendidik anak-anaknya untuk menyukseskan “rencana
baru” itu.
“Atas
tujuan apa kau mendidik anak-anak kita seperti itu?” suatu ketika salah seekor betinanya
bertanya.
Petto
menjawab, “Supaya anak-anak kita pintar seperti burung peliharaan manusia.
Tepatnya, pintar seperti aku.”
Berminggu-minggu
berikutnya, ketika Petto merasa bahwa semua anaknya sudah cukup pintar, ia pun
melaksanakan “rencana baru”-nya.
***
Dari bibir lubang udara itu, Petto
berkicau nyaring sehingga kau terenggut dari tidurmu. Kau pun terkejut
mendapati Petto yang telah lepas dari sangkarnya. Burung peliharaanmu itu lantas
terbang menuju bagian hutan yang paling mencekam dan pepohonannya begitu rapat.
Kau segera berlari mengejarnya—tidak mungkin mengendarai mobil pun motor karena
kerapatan pepohonan itu—sebab tak ingin kehilangan Petto.
Sekitar
sepuluh menit kemudian, kau benar-benar kehilangan Petto. Kau pun menyadari
bahwa dirimu sudah tersesat.
Petto
tahu betul kalau kau adalah tipe orang yang “selalu mencari aman”; berarti ia
sudah tahu kalau kau akan lebih memilih untuk diam di tempat hingga pagi tiba
ketimbang mencoba mencari jalan pulang di tengah rimba ketidaktahuan. Kau lalu mendudukkan
diri di tanah dan mencakupkan tangan di dada. Berdoa. Memohon keselamatan pada
Tuhan.
Momen
inilah yang Petto tunggu-tunggu: Tuhan hadir ke hadapan kau yang terlarut dalam
doa, hendak memberikanmu keselamatan. Tiba-tiba, dari balik lebatnya dedaunan,
ribuan anak Petto menukik ke arah Tuhan, sementara Petto masih mengumpet di
tempat yang aman. Rupanya, anak-anak Petto itu (awalnya) hanya bertengger-ramah
di tubuh Tuhan, sehingga Tuhan tak mempermasalahkan kehadiran mereka.
Petto
tersenyum licik di tempat persembunyiannya—dan kau tak perlu tahu di mana ia
bersembunyi.
Sesudah
Tuhan meletakkan keselamatan di sampingmu, serempak ribuan anak Petto
mematuk-matuki tubuh Tuhan. Tuhan pun kesakitan luar biasa, menjerit teramat
nyaring—tetapi kau tak mendengar jeritan itu sebab kupingmu tertutupi doa—dan
tubuhnya langsung memancarkan kalor. Sesuai didikan Petto, ribuan burung kecil
itu tetap mematuk-matuki tubuh Tuhan meskipun puluhan demi puluhan dari mereka terus
berjatuhan-tewas akibat kepanasan.
Bagaimanapun,
kesakitan itu akhirnya membuat Tuhan melemah. Otomatis, suhu kalor yang
memancar dari tubuhnya menurun drastis. Saat itulah Petto menukik tajam dari tempat
persembunyiannya ke arah Tuhan dengan paruh terbuka lebar.
***
Begitu selesai berdoa, kau terkejut
sebab mendapati diri sudah berada di dalam kamar tidurmu. Lantas kau cepat-cepat
melangkah ke beranda rumahmu untuk memastikan apakah Petto telah kembali ke
sangkarnya atau belum. Dan, betapa terkejutnya kau sebab “Aku”-lah yang
kautemukan terkurung di dalam sangkar itu!
*) Cerpen ini dimuat di Bali Post pada tanggal 5 Maret 2017.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar