Sumber gambar: Pinterest.com
/1/
“Bu, bagaimana caranya membunuh Tuhan?”
tiba-tiba anakku, yang berusia 8 tahun, bertanya sepulangnya ia dari sekolah.
Aku
spontan mengernyit. “Pertanyaan macam apa itu?”
Anakku
mengernyit pula. “Maksud Ibu?”
Aku
berdeham. “Nak, coba kau duduk di sini,” ucapku seraya menepuk-nepuk paha,
sebelum kumatikan televisi, bersamaan dengan duduknya ia di pangkuanku.
“Kenapa
kau bertanya seperti itu?” ucapku lagi, sembari mengelus-elus kepalanya.
“Pertanyaan
itu adalah PR dari guru agamaku, Bu.”
“PR
dari guru agama?”
Anakku
mengangguk. “Jawabannya mesti kutulis di selembar kertas, dan akan dinilai oleh
guru agamaku besok.”
Aku
menghela napas. “Kalau Ibu tidak tahu jawabannya, bagaimana?”
“Aku
akan menanyakannya pada Ayah.”
“Ah,
maaf, bukan begitu maksud Ibu.”
“Lalu?”
sahut anakku cepat.
“Maksud
Ibu, bagaimana kalau kau tidak mengumpulkan tugas itu besok, melainkan ... dua
hari lagi, seminggu lagi, atau kapan pun itu, sampai kau mendapatkan jawaban
yang benar?”
“Kalau
tugas ini tidak kukumpul besok, guru agamaku akan membakar rumah kita.”
***
Keesokan harinya, aku dan suamiku
sepakat untuk tidak mengizinkan anak kami pergi ke sekolah—sebab, pertanyaan
yang menjadi PR itu terlampau tidak wajar! Sebagai gantinya, aku akan pergi ke
sekolah anakku untuk menemui guru agamanya.
***
Empat jam kemudian, akhirnya istriku tiba
di rumah.
“Bagaimana
hasilnya?” tanyaku setelah membukakan pintu untuknya.
“Bagaimana
caranya membunuh Tuhan, Sayang?”
/2/
“Siapakah di sini yang diciptakan bukan
oleh Tuhan?!” tanya si Pembajak Satu dengan galak.
Tak
ada yang menjawab, tentu saja. Aku, dan siapa pun yang berada di pesawat ini—termasuk
ketiga pembajak itu—pastilah diciptakan oleh Tuhan!
“Cepat
jawab!” bentak si Pembajak Dua.
Beberapa
detik kemudian—tak kunjung ada yang menjawab—tiba-tiba si Pembajak Tiga
menembak kepala salah seorang penumpang. Penumpang-penumpang lain, termasuk
aku, reflek menjerit ketakutan. Beberapa orang menyambung jeritannya dengan
tangisan dan doa.
“Kami
tanya sekali lagi,” kata si Pembajak Satu. “Siapakah di sini yang diciptakan
bukan oleh Tuhan?!”
Sunyi
.... Aku dan yang lainnya membungkuk di tempat duduk masing-masing sembari
melindungi kepala dengan kedua tangan—dan itu jelas percuma.
“Cepat
jawab!” bentak si Pembajak Dua.
Tak
kunjung ada yang menjawab … dan tahu-tahu kali ini si Pembajak Tiga
menembak-mati lima orang penumpang sekaligus!
“Siapakah
di sini yang diciptakan bukan oleh Tuhan?!” lagi-lagi si Pembajak Satu bertanya
dengan galak.
Aku
mulai bisa membaca urutan kejadian berikutnya. Kalau tak kunjung ada yang
menjawab, maka si Pembajak Dua bakal membentak-menyuruh kami untuk menjawab;
kalau masih tak ada yang menjawab, maka si Pembajak Tiga bakal menembak-mati
satu orang atau lebih dari kami.
“Cepat
jawab!” bentak si Pembajak Dua.
Karena
aku tak ingin ada yang mati lagi—lebih-lebih jika aku yang ditembak oleh si
Pembajak Tiga nanti—aku pun memberanikan diri untuk mengacungkan tangan.
“Lihat!
Ada yang mengangkat tangan!” seru si Pembajak Tiga dengan antusias.
“Kau,”
panggil si Pembajak Satu dengan tatapan sinis, “berdirilah di depanku.”
Kuturutilah
perintahnya itu. Dan, kakiku gemetaran hebat ketika kugunakan untuk melangkah
dan berdiri di hadapannya.
“Kau
bukan diciptakan oleh Tuhan?” tanya si Pembajak Satu.
“Bukan,”
sahutku terbata-bata.
“Lantas,
siapa yang menciptakanmu?”
***
Pesawat ini sudah terbang cukup tinggi.
Tak ada lagi daratan yang tampak ketika aku menatap ke bawah melalui jendela. Sepucuk
pistol ajaib di saku jaketku, yang dengan sendirinya bisa menipu metal detector, mulai terasa hangat.
Aku
menatap kedua temanku secara bergantian—yang satu duduk di samping kiriku,
satunya lagi di samping kanan. Masing-masing dari mereka mengangguk, sebuah
isyarat bahwa ....
Kami
bertiga bangkit dari tempat duduk dan mengeluarkan pistol masing-masing.
Orang-orang
langsung terkejut-ketakutan.
“Siapakah
di sini yang diciptakan oleh Tuhan?!” tanyaku dengan galak.
Mereka
semua pun tampak ragu-ragu … tak kunjung ada yang menjawab pula ....
/3/
“Seandainya membunuh orang lain itu
dilegalkan oleh hukum Tuhan maupun hukum negara, siapakah orang pertama yang
akan kau bunuh?”
Aku
pun terkejut bukan main. Bukankah pertanyaan itu tidak wajar jika dilontarkan
oleh orang yang baru saja mengajak kita berkenalan? Terlebih, ia melontarkan
pertanyaan itu setelah kusebutkan namaku—alih-alih balas menyebutkan namanya!
“Tidak
ada waktu buat bengong barang sedetik pun, Bung!” ucapnya seraya menepuk-keras
pundakku. “Ayo, jawab pertanyaanku!”
Aku
menggaruk-garuk tengkukku. “Hmmm … sebentar … biarkan aku berpikir.”
Ia
mendengus dan mengepalkan kedua tangannya. “Jangan pura-pura berpikir panjang
untuk mengulur waktu!”
“Tapi,
berpikir pendek pun aku belum sempat, Bung!” Suaraku sedikit bergetar.
“Kalau
begitu, cepat berpikir!” balas orang aneh itu dengan volume suara yang amat
tinggi, sehingga orang-orang lain di ruang tunggu ini pada menoleh ke arah
kami. Mungkin pula orang yang berada di dalam ruang wawancara sana—si
Terwawancara maupun si Pewawancara—juga mendengar suaranya.
Tiba-tiba
aku teringat akan Jontor, salah seorang temanku yang kubunuh gara-gara ia
berhasil mendapatkan pekerjaan di kantor ini. (Karena ia telah kubunuh, maka
kantor ini kehilangan pekerja barunya, dan terpaksalah membuka lowongan lagi.)
Tapi, kau tak bisa menyalahkan pembunuhan yang telah kulakukan itu. Pasalnya,
Tuhan tidak melarangnya—setidaknya, Tuhan di agamaku. Di agamaku, ada sebuah
ayat yang menyebutkan bahwa kita diperbolehkan untuk membunuh binatang jikalau,
selain untuk korban dalam upacara suci, binatang itu merugikan kita. Dan, di
dalam biologi, manusia adalah binatang. Sebab Jontor telah merugikanku—dengan
memenangkan lowongan pekerjaan di kantor ini—bukankah berarti aku boleh
membunuhnya?
Orang
aneh itu sekonyong-konyong memukul ubun-ubunku. “Hei! Cepat jawab!”
“Kalau
kau mau jawabanku, kau harus menjawab pertanyaanku dulu!” aku memberanikan diri
untuk membentaknya—semakin banyak orang lain yang memerhatikan kami. “Untuk apa
kau melontarkan pertanyaan tengik itu kepadaku, heh?!”
Seketika
ekspresinya melunak. “Bung, aku hanya ingin mengetahui pola pikir calon rekan
kerjaku. Kebetulan saja kau adalah orang pertama yang ingin kutanyai. Tapi,
nanti, yang lainnya pasti akan kutanyai pertanyaan serupa pula.”
“Tadi
kau bilang ‘calon rekan kerja’?” aku mengernyit. “Mana mungkin aku menjadi
rekan kerjamu? Kantor ini hanya membuka lowongan kerja untuk satu orang. Satu
orang, Bung! Kau tahu, kan, apa artinya?”
“Dan
lagi,” lanjutku cepat, “bagaimana bisa kau mengetahui pola pikir orang lain
dengan pertanyaan macam itu?!”
Tahu-tahu
terdengar suara ledakan dahsyat yang berasal dari dalam ruang wawancara.
Tahu-tahu pula penglihatanku berkunang-kunang, lantas orang aneh itu terlihat
tersenyum begitu lebar. Senyum lebar yang mengingatkanku akan senyuman khas
Jontor … serta hari kematiannya yang pahit.
/4/
“Maaf, apa kau tahu alamat ini, Tuan?”
tanya pria itu, setelah menepuk pundakku dari belakang dan menyodorkan selembar
kertas.
Aku
pun mengambil selembar kertas itu dan membaca alamat yang tertulis di sana.
“Kenapa
kau tampak terkejut, Tuan?” ia bertanya lagi.
Aku
menghela napas sejenak. “Apa kau tahu siapa yang tinggal di alamat rumah ini?”
“Tentu
saja aku tahu bahwa ini adalah alamat rumahnya Tuhan.”
“Lantas,
buat apa kau mencari alamatnya?”
Ia
mengernyit. “Ada yang salah dengan itu?”
“Tidak.
Hanya saja, biasanya orang-orang datang ke pulau kecil ini buat berlibur, bukan
buat mengunjungi rumah Tuhan.”
“Ah,
Tuan, tak ada liburan bagiku di tengah penderitaan yang terus berdatangan!”
“Ah,
tolong jangan tersinggung dengan kata-kataku.”
“Aku
tidak tersinggung, kok.”
“Eh,
tapi Tuan tahu, kan, di mana rumah Tuhan?” lanjut pria itu dengan cepat.
“Tentu
saja aku tahu. Hampir semua penduduk asli sini mengetahui letak rumah Tuhan.”
Pria
itu mengembuskan napas lega. “Baguslah kalau begitu. Jadi, bisa Tuan beri tahu
aku sekarang?”
Aku
pun memberitahukannya secara detail. Kemudian, aku bertanya, “Kalau aku boleh
tahu, kenapa kau ingin pergi ke rumah Tuhan?”
“Aku
ingin melamar Tuhan.”
“Maaf,
apa aku tidak salah dengar?”
“Aku
ingin melamar Tuhan, Tuan. Aku ingin mempunyai keturunan dari Tuhan. Aku ingin
keturunanku kelak jauh lebih baik
ketimbang aku.”
***
Beberapa minggu kemudian, tak ada satu
doa pun yang dikabulkan oleh Tuhan. Orang-orang berpikir bahwa Tuhan sedang
marah pada dunia. Padahal, tak ada yang tahu, Tuhan hanya sedang cuti hamil.
*) Cerita ini dimuat di Nyonthong.com pada 17 April 2018.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar