Sabtu, 18 Agustus 2018

SIAPA YANG AKAN PERGI KE KOTA -- Sebuah Cerpen


*Sumber gambar: Pinterest.



Hanya ada satu sepeda. Hanya ada satu anggota keluarga yang akan pergi ke kota untuk membeli empat kotak es krim. Hanya ada satu anggota keluarga yang kelak mati di kota itu.
            
Di dalam rumah yang terletak di sebuah desa itu terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari empat orang anggota: satu ayah, satu anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Di dalam rumah yang terletak di sebuah desa itu, mereka berempat sedang amat kepanasan sampai-sampai bermandikan keringat, karena memang sedemikian terik cahaya matahari di sana saban musim panas. Di dalam rumah yang terletak di sebuah desa itu, mereka akhirnya merencanakan untuk makan es krim—dengan jatah satu kotak untuk setiap orang—tapi tentu terlebih dahulu salah satu dari mereka mesti pergi ke kota, karena di desa tersebut tidak ada satu toko pun yang menjual es krim.
            
Ayah memutuskan dirinyalah yang akan pergi ke kota, dengan mengendarai satu-satunya sepeda yang keluarga itu miliki. Ayah awalnya mengendarai sepeda dengan biasa-biasa saja, tapi sekonyong-konyong ia berhenti beberapa meter sebelum mencapai jembatan yang menghubungkan desa dengan kota. Ayah semakin berkeringat; keringat yang membasahi tubuhnya kini bukan cuma keringat yang timbul akibat kepanasan, namun telah bercampur dengan keringat dingin. Ayah gemetaran hebat dan jantungnya berdetak-detak terlampau kencang. Ayah tak tahu ketakutan yang disebabkan oleh apakah yang tiba-tiba menghinggapi dirinya. Ayah akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumahnya, tanpa empat kotak es krim yang dijanjikan.
            
Ketiga anak Ayah mendesah kecewa. Ketiga anak Ayah bertanya-tanya perihal penyebab Ayah tak jadi pergi ke kota. Ketiga anak Ayah mendapatkan jawaban yang sungguh-sungguh tidak memuaskan dari ayah mereka. Ketiga anak Ayah, pula Ayah sendiri, bagaimanapun tetap ingin memakan es krim. Ketiga anak Ayah serempak berpikir bahwa sebenarnya ayah mereka mengalami encok mendadak, tapi malu mengakuinya karena tak ingin dianggap sudah sedemikian tua. Ketiga anak Ayah lantas merundingkan siapakah di antara mereka bertiga yang akan pergi ke kota untuk membeli empat kotak es krim.
            
Anak Ketiga yang cantik dan berkulit putih dan sipit seperti orang Cina itu mengajukan diri untuk pergi ke kota, tapi kedua kakaknya—yang laki-laki—melarang, karena ia adalah perempuan. Anak Ketiga kecewa, sebab ia merasa kedua kakaknya menganggap remeh kaum perempuan. Anak Ketiga pun terpaksa menuruti larangan kedua kakaknya, karena memang begitulah kebiasaannya sejak ia dilahirkan 16 tahun lalu.
            
Anak Pertama mengajukan diri untuk pergi ke kota, dan tak ada yang melarangnya. Anak Pertama menerima uang belanja dari Ayah sebelum naik ke sepeda. Anak Pertama tidak mengayuh sepeda ke arah kota. Anak Pertama malah mengayuh sepeda mengitari sebuah sawah yang terletak tak jauh dari rumah. Anak Pertama, entah kenapa, merasa bahwa dirinya sedang mengayuh sepeda menuju kota. Anak Pertama, tiga puluh menit kemudian, akhirnya berhenti mengitari sawah dan kembali ke rumah, tapi yang ada di penglihatannya adalah dirinya sedang mengayuh sepeda menuju kota, tepatnya menuju sebuah toko yang menjual es krim.
            
Ayah dan kedua anaknya yang lain begitu senang melihat Anak Pertama kembali ke rumah. Ayah dan kedua anaknya yang lain langsung menagih es krim yang seharusnya Anak Pertama beli. Ayah dan kedua anaknya yang lain malah mendapati Anak Pertama terkejut sebab dirinya bukan memasuki sebuah toko yang menjual es krim, melainkan masuk ke rumahnya sendiri. Ayah dan kedua anaknya serempak berpikir bahwa Anak Pertama sesungguhnya tadi sengaja membatalkan niat untuk masuk ke toko, karena mendapati sang penjaga kasir adalah mantan kekasihnya—memang begitulah kabar yang beredar di keluarga itu belakangan ini—dan dirinya terlalu lelah—kalau tak malas—untuk mengayuh sepeda menuju toko lain yang lebih jauh.
            
Anak Kedua pun mengajukan diri untuk pergi ke kota, dan tak ada yang melarangnya. Anak Kedua menerima uang belanja dari Anak Pertama sebelum naik ke sepeda. Anak Kedua mengayuh sepeda ke arah kota, tetapi tiba-tiba ia merasa menjadi orang lain saat dirinya sampai di jembatan yang memisahkan desa dengan kota itu. Anak Kedua pun berbalik, menuju rumahnya, merasa bahwa dirinya adalah seorang pria lain yang hendak menemui Anak Ketiga. Anak Kedua sendiri tak mengenal sang pria lain yang dirasakannya menjadi dirinya. Anak Kedua pula tak tahu kenapa pria lain yang “menjadi” dirinya hendak menemui Anak Ketiga. Anak Kedua, ganjilnya, tak merasakan keganjilan sama sekali dengan apa yang terjadi pada dirinya. Anak Kedua, akhirnya, sampai juga di rumah, tentu tanpa membawa es krim satu kotak pun.
            
Tersadarlah Anak Kedua bahwa dirinya gagal untuk membawa pulang empat kotak es krim, sebagaimana Ayah dan Anak Pertama. Tersadarlah Ayah, Anak Pertama, dan Anak Kedua bahwa ada suatu fenomena tak terjelaskan yang, sepertinya, hendak menghalangi keluarga mereka untuk memakan es krim di hari yang panas ini. Tersadarlah Anak Pertama dan Anak Kedua bahwa diri mereka tak mungkin lagi melarang Anak Ketiga yang mengajukan diri untuk pergi ke kota, karena bagaimanapun mereka berdua—juga Ayah dan Anak Ketiga sendiri—masih sangat ingin memakan es krim.
            
Anak Ketiga menyangka bahwa Anak Kedua terpaksa kembali ke rumah—sebelum membeli es krim—karena sempat bertemu dengan Apong, musuh yang ditakutinya—Anak Kedua sempat bercerita soal musuhnya itu pada Anak Ketiga—di tengah perjalanan. Anak Ketiga yakin perjalanannya menuju kota akan baik-baik saja, karena dirinya tak mungkin encok, tak memiliki mantan kekasih yang mesti dihindari, tak juga mempunyai musuh yang ditakuti. Anak Ketiga pun menerima uang belanja dari Anak Kedua dan mengayuh sepeda menuju kota. Anak Ketiga, dengan cepat, sampai di jembatan yang memisahkan kota dengan desa, dan melewatinya dengan lancar.
            
Hari sudah sore, tapi tetap panas. Hari sudah malam, tetap panas pula.
            
Anak Ketiga belum pulang juga. Anak Ketiga pasti berjumpa dengan pacarnya yang adalah penduduk kota itu, dan mereka terlampau asyik berpacaran sampai lupa waktu, pikir Ayah, Anak Pertama, dan Anak Kedua secara serempak.
            
Hari sudah pagi lagi—dan rasanya semakin panas saja—dan tanggal berganti menjadi 14 Mei 1998.
            
Ayah, Anak Pertama, dan Anak Kedua menyangka bahwa Anak Ketiga tak kunjung pulang sebab semakin lupa waktu, karena menjumpai hal “menarik” lainnya di kota itu. Ayah, Anak Pertama, dan Anak Kedua pun serempak menarik kesimpulan: Anak Ketiga bisa digolongkan sebagai anak yang tak tahu diri.
            
Oh ya, aku lupa memberi tahu kau sesuatu: kota itu bernama Jakarta.



*) Cerpen ini dimuat di Semay Media.

Tidak ada komentar :