*Sumber gambar: Pinterest.
Hanya ada satu sepeda. Hanya ada satu
anggota keluarga yang akan pergi ke kota untuk membeli empat kotak es krim. Hanya
ada satu anggota keluarga yang kelak mati di kota itu.
Di
dalam rumah yang terletak di sebuah desa itu terdapat sebuah keluarga yang
terdiri dari empat orang anggota: satu ayah, satu anak perempuan, dan dua anak
laki-laki. Di dalam rumah yang terletak di sebuah desa itu, mereka berempat
sedang amat kepanasan sampai-sampai bermandikan keringat, karena memang sedemikian
terik cahaya matahari di sana saban musim panas. Di dalam rumah yang terletak
di sebuah desa itu, mereka akhirnya merencanakan untuk makan es krim—dengan
jatah satu kotak untuk setiap orang—tapi tentu terlebih dahulu salah satu dari
mereka mesti pergi ke kota, karena di desa tersebut tidak ada satu toko pun
yang menjual es krim.
Ayah
memutuskan dirinyalah yang akan pergi ke kota, dengan mengendarai satu-satunya
sepeda yang keluarga itu miliki. Ayah awalnya mengendarai sepeda dengan
biasa-biasa saja, tapi sekonyong-konyong ia berhenti beberapa meter sebelum
mencapai jembatan yang menghubungkan desa dengan kota. Ayah semakin berkeringat;
keringat yang membasahi tubuhnya kini bukan cuma keringat yang timbul akibat
kepanasan, namun telah bercampur dengan keringat dingin. Ayah gemetaran hebat
dan jantungnya berdetak-detak terlampau kencang. Ayah tak tahu ketakutan yang
disebabkan oleh apakah yang tiba-tiba menghinggapi dirinya. Ayah akhirnya
memutuskan untuk kembali ke rumahnya, tanpa empat kotak es krim yang
dijanjikan.
Ketiga
anak Ayah mendesah kecewa. Ketiga anak Ayah bertanya-tanya perihal penyebab
Ayah tak jadi pergi ke kota. Ketiga anak Ayah mendapatkan jawaban yang
sungguh-sungguh tidak memuaskan dari ayah mereka. Ketiga anak Ayah, pula Ayah
sendiri, bagaimanapun tetap ingin memakan es krim. Ketiga anak Ayah serempak
berpikir bahwa sebenarnya ayah mereka mengalami encok mendadak, tapi malu
mengakuinya karena tak ingin dianggap sudah sedemikian tua. Ketiga anak Ayah lantas
merundingkan siapakah di antara mereka bertiga yang akan pergi ke kota untuk
membeli empat kotak es krim.
Anak
Ketiga yang cantik dan berkulit putih dan sipit seperti orang Cina itu mengajukan
diri untuk pergi ke kota, tapi kedua kakaknya—yang laki-laki—melarang, karena
ia adalah perempuan. Anak Ketiga kecewa, sebab ia merasa kedua kakaknya
menganggap remeh kaum perempuan. Anak Ketiga pun terpaksa menuruti larangan
kedua kakaknya, karena memang begitulah kebiasaannya sejak ia dilahirkan 16
tahun lalu.
Anak
Pertama mengajukan diri untuk pergi ke kota, dan tak ada yang melarangnya. Anak
Pertama menerima uang belanja dari Ayah sebelum naik ke sepeda. Anak Pertama tidak
mengayuh sepeda ke arah kota. Anak Pertama malah mengayuh sepeda mengitari
sebuah sawah yang terletak tak jauh dari rumah. Anak Pertama, entah kenapa,
merasa bahwa dirinya sedang mengayuh sepeda menuju kota. Anak Pertama, tiga
puluh menit kemudian, akhirnya berhenti mengitari sawah dan kembali ke rumah,
tapi yang ada di penglihatannya adalah dirinya sedang mengayuh sepeda menuju
kota, tepatnya menuju sebuah toko yang menjual es krim.
Ayah
dan kedua anaknya yang lain begitu senang melihat Anak Pertama kembali ke
rumah. Ayah dan kedua anaknya yang lain langsung menagih es krim yang
seharusnya Anak Pertama beli. Ayah dan kedua anaknya yang lain malah mendapati
Anak Pertama terkejut sebab dirinya bukan memasuki sebuah toko yang menjual es
krim, melainkan masuk ke rumahnya sendiri. Ayah dan kedua anaknya serempak
berpikir bahwa Anak Pertama sesungguhnya tadi sengaja membatalkan niat untuk
masuk ke toko, karena mendapati sang penjaga kasir adalah mantan
kekasihnya—memang begitulah kabar yang beredar di keluarga itu belakangan
ini—dan dirinya terlalu lelah—kalau tak malas—untuk mengayuh sepeda menuju toko
lain yang lebih jauh.
Anak
Kedua pun mengajukan diri untuk pergi ke kota, dan tak ada yang melarangnya. Anak
Kedua menerima uang belanja dari Anak Pertama sebelum naik ke sepeda. Anak
Kedua mengayuh sepeda ke arah kota, tetapi tiba-tiba ia merasa menjadi orang
lain saat dirinya sampai di jembatan yang memisahkan desa dengan kota itu. Anak
Kedua pun berbalik, menuju rumahnya, merasa bahwa dirinya adalah seorang pria
lain yang hendak menemui Anak Ketiga. Anak Kedua sendiri tak mengenal sang pria
lain yang dirasakannya menjadi dirinya. Anak Kedua pula tak tahu kenapa pria
lain yang “menjadi” dirinya hendak menemui Anak Ketiga. Anak Kedua, ganjilnya,
tak merasakan keganjilan sama sekali dengan apa yang terjadi pada dirinya. Anak
Kedua, akhirnya, sampai juga di rumah, tentu tanpa membawa es krim satu kotak
pun.
Tersadarlah
Anak Kedua bahwa dirinya gagal untuk membawa pulang empat kotak es krim,
sebagaimana Ayah dan Anak Pertama. Tersadarlah Ayah, Anak Pertama, dan Anak
Kedua bahwa ada suatu fenomena tak terjelaskan yang, sepertinya, hendak
menghalangi keluarga mereka untuk memakan es krim di hari yang panas ini. Tersadarlah
Anak Pertama dan Anak Kedua bahwa diri mereka tak mungkin lagi melarang Anak
Ketiga yang mengajukan diri untuk pergi ke kota, karena bagaimanapun mereka
berdua—juga Ayah dan Anak Ketiga sendiri—masih sangat ingin memakan es krim.
Anak
Ketiga menyangka bahwa Anak Kedua terpaksa kembali ke rumah—sebelum membeli es
krim—karena sempat bertemu dengan Apong, musuh yang ditakutinya—Anak Kedua
sempat bercerita soal musuhnya itu pada Anak Ketiga—di tengah perjalanan. Anak
Ketiga yakin perjalanannya menuju kota akan baik-baik saja, karena dirinya tak
mungkin encok, tak memiliki mantan kekasih yang mesti dihindari, tak juga
mempunyai musuh yang ditakuti. Anak Ketiga pun menerima uang belanja dari Anak
Kedua dan mengayuh sepeda menuju kota. Anak Ketiga, dengan cepat, sampai di
jembatan yang memisahkan kota dengan desa, dan melewatinya dengan lancar.
Hari
sudah sore, tapi tetap panas. Hari sudah malam, tetap panas pula.
Anak
Ketiga belum pulang juga. Anak Ketiga
pasti berjumpa dengan pacarnya yang adalah penduduk kota itu, dan mereka terlampau
asyik berpacaran sampai lupa waktu, pikir Ayah, Anak Pertama, dan Anak
Kedua secara serempak.
Hari
sudah pagi lagi—dan rasanya semakin panas saja—dan tanggal berganti menjadi 14
Mei 1998.
Ayah,
Anak Pertama, dan Anak Kedua menyangka bahwa Anak Ketiga tak kunjung pulang
sebab semakin lupa waktu, karena menjumpai hal “menarik” lainnya di kota itu.
Ayah, Anak Pertama, dan Anak Kedua pun serempak menarik kesimpulan: Anak Ketiga
bisa digolongkan sebagai anak yang tak tahu diri.
Oh
ya, aku lupa memberi tahu kau sesuatu: kota itu bernama Jakarta.
*) Cerpen ini dimuat di Semay Media.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar