*Sumber Gambar: archive.thedali.org
Bandar melahirkan sebuah penemuan baru:
dunia tanpa Tuhan. Kita tak pernah tahu bagaimana bisa bujangan itu menciptakan
dunia tersebut, tapi kita tahu bahwa dunia tanpa Tuhan berada di balik salah
satu pintu di dalam rumahnya.
Penemuan
itu Bandar umumkan melalui Koran Negara edisi 21 Mei 20xx. Salah satu paragraf
di kolom pengumuman itu berbunyi, “Kau bisa membangun dunia itu sesuka hati,
tanpa ada peraturan yang menghalangi. Sederhananya: kau bisa menjadi Tuhan bagi
dunia tersebut.” Paragraf yang lain menyebutkan bahwa dunia itu akan ia sewakan
seharga 1000 Finto per lima belas menit untuk satu orang saja—harga yang sangat
mahal bagi ukuran negara kita.
Beberapa
jam setelah Koran Negara edisi 21 Mei 20xx terbit, ribuan orang telah berkumpul
di sekeliling rumah Bandar. Mereka semua
ingin menyewa dunia tanpa Tuhan, tetapi hanya dua puluh satu orang yang mampu dan akan menyewanya. Sisanya hanya akan menyaksikan bagaimana reaksi
dari para penyewa setelah keluar dari dunia itu.
Bandar
membuat undian-nomor-antrian bagi para calon penyewa penemuannya. Dan,
Vixien-lah yang mendapatkan nomor urut pertama.
“Untuk
pertama kali, aku akan menyewanya selama lima belas menit saja,” kata Vixien. Setelah
ia membayar 1000 Finto—tunai—pada Bandar, Bandar langsung mengantarnya masuk ke
ruang dalam rumahnya, lantas membiarkannya melangkah sendiri ke balik pintu itu,
pintu yang menutupi dunia tanpa Tuhan.
Bandar
mempunyai usaha berupa warung makan sederhana yang terletak di halaman depan
rumahnya. Bangku-bangku di warung itu kebetulan bisa menampung dua puluh orang.
Di warung itulah, para penyewa lainnya duduk menunggu. Sesekali mereka memesan
makanan atau minuman—yang disuguhkan oleh Kontan, pemuda yang dua tahun lalu
mengemis pekerjaan di warung itu pada Bandar. Sebenarnya, mereka merasa jijik
dengan makanan-minuman yang disajikan—karena mereka terbiasa makan di restoran-restoran
mewah—tapi mereka tak mau pergi ke tempat lain saking tak sabarnya menyaksikan
reaksi Vixien saat keluar dari dunia tanpa Tuhan—seakan waktu lima belas menit
itu bisa habis kapan saja.
Sementara
itu, para wartawan, termasuk dari Koran Negara, sibuk mewawancarai orang-orang
yang berada di sekitaran rumah Bandar—soal tanggapan mereka begitu mendengar
kabar tentang dunia tanpa Tuhan—baik yang akan menyewa penemuan itu maupun
tidak. Tapi tak ada satu pun yang berhasil mewawancarai Bandar saat itu, karena
Bandar selalu menolak buat diwawancarai—ia sekadar ingin “mendramatisasi”.
***
Akhirnya giliran Vixien habis.
Para
wartawan menyiagakan kamera.
Para
calon penyewa menyiapkan diri untuk takjub atau kecewa.
Bandar
menggiring Vixien ke halaman depan rumah untuk memberikan komentar atas dunia
tanpa Tuhan, dan ....
***
Awalnya, Bandar tidak ingin menyewakan
dunia tanpa Tuhan demi mengeruk keuntungan dari orang lain. Bandar memutuskan untuk
menyewakan penemuannya itu sejak, pada suatu malam, ia masuk ke dunia tanpa
Tuhan dan menciptakan harta yang tak terhingga—mudah saja dilakukannya karena
ia adalah “Tuhan”—tapi begitu ia membawa harta tersebut keluar dari sana,
tiba-tiba saja kesemuanya menghilang tanpa jejak, seolah tanpa suatu cara pun.
Barangkali Tuhan tidak ingin ada sesuatu pun
di dunia ini yang diciptakan bukan atas kehendaknya, pikir Bandar pada
mulanya. Tapi Bandar lantas menghapus pikiran itu karena ia yakin Tuhan tidak seegois
apa yang dipikirkannya. Jadi, ia membiarkan kejadian itu tetap misteri.
Semisal Tuhan seegois itu, ia pasti sudah
menghilangkan dunia tanpa Tuhan yang kuciptakan, pikir Bandar lagi.
***
Berkat reaksi positif Vixien, Bandar
mendapatkan jauh lebih banyak pelanggan pada hari berikutnya, bahkan ada banyak
yang berasal dari luar negeri. Saking banyaknya pelanggan, Bandar yakin bahwa antrian
tak mungkin habis selama satu hari, sedangkan ia akan menutup tempat usahanya
itu pada tengah malam—agar dirinya bisa beristirahat, tentu saja—dan membukanya
kembali pada pukul delapan pagi.
Agar
para calon penyewa yang belum kebagian kesempatan pada hari itu tak perlu menunggu
terlampau lama di sekitaran rumah Bandar, ia pun merancang “estimasi waktu
giliran tiba” yang dibuatnya berdasarkan nomor antrian. Jadi, jika nomor
antrian masih jauh, para calon penyewa bisa pulang atau pergi ke tempat lain,
dan Bandar akan menghubungi mereka—melalui Juru Panggil yang ia bayar sejak
hari kedua—kurang lebih satu jam sebelum giliran masing-masing tiba.
Mulai
dari hari keempat setelah penemuannya diumumkan lewat Koran Negara, Bandar
telah membayar puluhan orang penjaga bersenjata lengkap untuk berjaga di dalam
dan sekitaran rumahnya, sebab di hari ketiga ada segerombolan “orang jahat”—mereka
adalah orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip “hanya ada satu Tuhan”—yang
menerobos ke dalam rumah Bandar untuk menghancurkan dunia tanpa Tuhan, tetapi
untungnya para calon penyewa beramai-ramai menghadang-mengusir gerombolan
tersebut.
Setelah
itu, para calon penyewa meminta pengurangan harga sewa—sebanyak lima puluh
persen—karena merasa telah amat berjasa bagi dunia tanpa Tuhan. Dan, Bandar tak
mempunyai alasan untuk menolak permintaan mereka. Lalu, setelah Bandar
hitung-hitung secara matang, uang yang dikorbankan untuk membayar puluhan orang
penjaga bersenjata lengkap jauh lebih sedikit ketimbang memberikan pengurangan
harga sebanyak lima puluh persen kepada para calon penyewa.
***
Prokhova keluar dari dunia tanpa Tuhan.
Ia membawa kebahagiaan yang bukan main, sekaligus kebingungan karena tak bisa
membawa sumber kebahagiaan yang bukan main itu ke “dunia yang sesungguhnya”. Bagaimanapun,
ia tak repot-repot memprotes keadaan karena ia sudah sempat terlampau bahagia
di dalam sana, sampai-sampai ia takut seandainya kebahagiaan macam apa pun
bakal jadi terasa membosankan.
Ketakutan
seperti itu juga yang dirasakan oleh Mendevka dan Parwiro dan Husein dan
Michael dan Tophany dan yang lainnya, sehingga mereka mengeluarkan diri dari
dunia tanpa Tuhan dalam waktu kurang lebih lima jam, padahal mereka sudah
membayar mahal untuk menyewa dunia itu selama lebih dari dua puluh empat jam—maka
kacaulah “estimasi waktu giliran tiba”, tapi hal itu bukan masalah besar. (Mereka
memang dirugikan secara finansial, tetapi mereka tak meminta-kembali kelebihan
pembayaran masing-masing sebab, seperti Prokhova, semuanya sudah sempat
terlampau bahagia di dalam sana.)
Ketakutan
serupa pulalah yang membuat Bandar sejak awal memutuskan untuk tak tinggal selamanya
di dalam dunia ciptaannya sendiri, meskipun ia bisa dan berhak untuk itu.
***
Bertahun-tahun kemudian, tak ada seorang
pun yang mengantri untuk menyewa dunia tanpa Tuhan. Tapi Bandar tak ambil
pusing; kekayaan yang dimilikinya sudah terlampau banyak. Hal itu membuat
Bandar terlampau bahagia—sampai-sampai ia merasa tak membutuhkan istri seorang
pun—sebagaimana para bekas pelanggan setia dunia tanpa Tuhan yang sudah bosan
dengan dunia tersebut.
Tentu
saja masih ada sangat banyak orang yang berminat dengan dunia tanpa Tuhan;
mereka adalah orang-orang “miskin” yang tak kunjung mempunyai cukup uang buat
menyewa dunia itu.
Suatu
hari, Bandar ditemukan tewas di kamarnya karena ia sudah terlalu tua. Kekayaannya
tak diwariskan ke siapa pun. Tak ada lagi yang membayar Kontan, para penjaga
bersenjata lengkap, maupun Juru Panggil, dan dengan sendirinya mereka tak lagi
bisa dikatakan bekerja di bawah naungan Bandar.
Bagaimanapun,
dunia tanpa Tuhan tetap ada, dan tak ada yang “menjaga”-nya. Maka, orang-orang
yang belum sempat mengunjungi dunia tanpa Tuhan pun berbondong-bondong masuk ke
sana dan saling bertarung untuk menjadi Tuhan-nomor-satu.
***
Dari sana, Tuhan menatap ke bawah
sembari tertawa terbahak-bahak. Tak jauh dari-Nya, berdirilah Bandar yang hanya
bisa tertunduk malu.
*) Cerpen ini dimuat di Janang.id pada 30 Juni 2018, kemudian dimuat pula di Balairung Press pada 9 februari 2019.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar