*Sumber Gambar: Pinterest
Bocah itu kembali ke ruang dalam rumah dengan
batu memenuhi genggamannya. Ia berdiri beberapa langkah di hadapan televisi
yang menyala, menampilkan film kartun pahlawan super kesukaannya. Ia mengambil
ancang-ancang; selain batu, sebilah pedang sudah siaga di tangan satunya lagi,
sebilah pedang yang sama dengan milik sang pahlawan super, sebagaimana kostum
yang dikenakannya kini. Di layar televisi, akhirnya sang pahlawan super
berjumpa dengan monster musuh beratnya. Bocah itu memantapkan ancang-ancang.
Ketika layar televisi terlihat dipenuhi oleh big close-up[i] ekspresi marah sang monster, bocah itu segera
melayangkan batu di tangannya. Layar televisi pun pecah, tapi tak ada monster
yang keluar dari sana, padahal ia sudah siap untuk menghadapinya, dalam rangka
membantu sang pahlawan super, sekaligus melatih diri untuk menjadi pelindung
bagi ibunya yang sudah tak bersuami.
Terkejut,
ibu bocah itu keluar dari kamar, dan ia hanya bisa memarahi putranya, sekaligus
sekali lagi berusaha meyakinkannya bahwa monster itu tidak ada di dunia nyata,
dan tidak akan pernah ada, sebelum menyuruhnya untuk membantu membersihkan
pecahan layar televisi yang terserak di lantai.
Sekonyong-konyong
bocah itu berkata, “Bagaimana kalau sebenarnya Ayah mati karena dibunuh oleh
monster, Bu?”
Ibu
bocah itu langsung tercelus dalam kesedihan. Sejenak ia memandangi lubang di
tubuh televisi yang sebelumnya tertutupi oleh layar; di bagian pinggirnya masih
terdapat pecahan layar yang menempel, berbentuk seperti taring. Lalu ia
mengalihkan tatapan ke putranya dan membentak, “Sudah Ibu bilang, jangan katakan
itu lagi!”
Bocah
itu segera menangis dan berlari ke kamarnya. Ia duduk menekuk lutut di sudut, tampak
seperti pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya karena tak ada monster barang
seekor pun untuk dikalahkan, untuk membuat masyarakat tetap membutuhkan jasa
seorang pahlawan super.
Ia
menangis terus sampai ketiduran, sampai tiba pagi keesokan harinya. Setelah
bangun, ia langsung membuka kostum pahlawan super itu, lantas bersama pedangnya
ia buang ke tempat sampah yang ada di sudut lain kamar.
Dari
luar ruangan, terdengar ibu bocah itu berkata, “Cepatlah mandi, Nak. Sebentar
lagi kita akan kedatangan seorang tamu istimewa. Aku ingin memperkenalkannya
padamu.”
Tak
lama kemudian, bocah itu dan ibunya sudah duduk di ruang tamu, menunggu
kehadiran sang tamu istimewa.
“Apa
kau ingat saat ibu mengatakan soal ‘ayah baru’?”
Bocah
itu mengingat-ingat barang sejenak, lalu mengangguk.
Kemudian
hening, sampai terdengar suara mobil dari luar sana, disusul jeritan klaksonnya
yang jelas-jelas membuat sang ibu begitu bahagia. Wanita itu cepat-cepat
bangkit dari sofa, melangkah ke pintu, dan ....
Bocah
itu menyesal telah membuang kostum dan pedang pahlawan supernya.
Bocah
itu melihat seekor monster seukuran pria dewasa berpelukan dengan ibunya,
lantas menoleh ke arahnya sembari berkata, “Jadi, itukah putramu, sang pahlawan
super?”
***
Monster itu meninggalkan ruang tamu, menuju
toilet.
Dengan
tubuh dan suara bergetar, sang bocah berkata, “Bu, bolehkah aku membunuh
monster itu?”
“Apa?”
“Boleh
aku membunuh monster itu? Monster yang bertamu kemari, maksudku!”
“Monster?
Jaga omonganmu! Ia adalah pria yang sangat baik. Ia itu calon ayah barumu!”
Bocah
itu tertegun. Ia tak mengerti kenapa ayah barunya mesti seekor monster, alih-alih
seorang pahlawan super.
Sang
monster telah keluar dari toilet dan kembali duduk di ruang tamu bersama
mereka.
Bocah
itu langsung berlari ke kamarnya, mengabaikan sang ibu yang terus memanggilnya,
mengunci diri di sana, dan memungut kembali kostum serta pedangnya.
***
Ibu bocah itu dan sang monster pun
menikah. Padahal, sebelumnya, bocah itu sudah menyatakan keberatan, tapi sang
ibu berpikir bahwa nanti putranya akan sadar dengan sendirinya bahwa sang ayah
baru adalah orang baik. Justru, bocah itu melihat sang monster berubah menjadi
semakin menakutkan semenjak ia resmi menjadi ayah barunya; tubuhnya membesar,
tanduknya memanjang, cakar dan geliginya meruncing!
Kenapa Ibu tidak bisa melihat kengerian
monster itu? pikir bocah itu. Kalau
begitu, Ibu bisa-bisa dibunuh dengan mudah!
Tiba-tiba
bocah itu mengingat sebuah adegan di salah satu episode film pahlawan super, ketika
sang monster membunuh kawan baik sang pahlawan super dengan mudah, karena orang
yang dibunuh itu sedang tidur nyenyak.
***
Beberapa menit sesudah sang ibu mencium
kening bocah yang pura-pura tidur itu dan pergi, sang bocah diam-diam mengenakan
kostum pahlawan super, keluar dari kamar dengan menenteng pedangnya, melintas-tanpa-suara
di ruang tengah di mana ibunya dan sang monster sedang asyik bercumbu—Monster itu pasti sedang menyerap sari
kehidupan ibuku!—dan menyelinap ke kamar mereka, bersembunyi di kolong
ranjang.
Beberapa
jenak kemudian, sang ibu dan sang monster masuk, disusul dengan terdengarnya
suara kunci pintu yang diputar. Bocah yang dengan sabar menunggu di kolong
ranjang itu tak tahu bahwa ibu dan ayah barunya sedang bersetubuh di atas
kasur; ia hanya merasakan kasur berguncang-guncang, menyangka bahwa sang
monster sedang menyiksa ibunya, lebih-lebih sang ibu mengeluarkan desah-desahan
yang dipikirnya merupakan reaksi dari rasa sakit.
Satu
jam kemudian, kasur berhenti berguncang-guncang, sang ibu berhenti
mendesah-desah, dan tiga puluh menit berikutnya sudah terdengar dengkuran sang
monster, dengkuran yang menurut bocah itu akan membuat hantu penguasa malam
jadi kejer saking takutnya.
Ia
pun keluar dari kolong ranjang, sejenak memandangi sang monster yang telentang
dan sang ibu yang memeluknya dari samping, dengan tangan mulusnya di atas perut
monster itu. Lantas ia, teramat perlahan, naik ke kasur, mengangkat pedang tinggi-tinggi
seraya mengarahkan ujungnya ke dada kiri sang monster, dan … ia berhitung dalam
hati, satu sampai tiga, dan … ia menarik napas, mengumpulkan energi agar
hunjamannya semakin mantap, dan … sekonyong-konyong, tanpa alasan jelas, dari
perut sang monster, tangan sang ibu bergeser ke atas dada kirinya, bersamaan
dengan dihunjamkannya pedang itu sekuat tenaga.
***
Pintu kamar sang pahlawan super dikunci
dari luar. Di tangan kanannya adalah bilah pedang yang patah, terpisah dari
gagangnya yang ia genggam di tangan kiri. Dan, topeng itu sudah basah, juga
asin, karena ia terus menangis. Ia merasa dirinya adalah pahlawan paling tolol,
yang pasti akan dikucilkan oleh pahlawan-pahlawan lainnya.
Sang
ibu yang tadi terbangun langsung memekik kesakitan—membangunkan sang monster—dan
berteriak marah, sebelum mematahkan pedangnya. Berkat bantuan pencahayaan dari
lampu tidur, bocah itu dapat melihat kulit punggung tangan ibunya yang robek,
walau pedangnya hanyalah mainan. Apa yang dilihatnya itu membuatnya bergidik
ngeri, dan semakin ngeri lagi saat darah menetes dari sana, menimpa dada kiri
sang monster. Dan, rupanya, bocah itu masih bisa merasa jauh lebih ngeri lagi,
yaitu saat melihat ibunya, perlahan tapi pasti, berubah menjadi monster—sepasang
tanduk mencuat dari kepala, geligi dan kuku-kukunya meruncing—kala sang ayah
baru memeluk wanita itu sambil menenangkannya dengan sikap manis.
Tiba-tiba
bocah itu merasa amat lelah. Ia melempar gagang pedang dan bilahnya ke tempat
sampah, lantas berbaring di kasur. Ia terus memandang ke arah pintu, berharap
akan segera ada yang membukanya dari luar. Bocah itu kemudian merasa topengnya
yang basah menciptakan sensasi tak nyaman di wajah. Ia bangkit, melangkah ke
hadapan cermin, melihat pantulan seorang pahlawan super yang gagal, berkata
dalam hati, Aku akan berhenti menjadi
pahlawan super dan berhenti melawan monster, sebelum melepas topengnya. Dan,
bocah itu menjerit ketakutan karena melihat wajah seekor monster di cermin!
[i] Salah satu tipe (ukuran) shot dalam dunia fotografi dan perfilman; dalam konteks ini, berarti menampilkan wajah sang monster dari dagu hingga dahi.
*) Cerpen ini dimuat di kurungbuka.com pada 14 Juli 2019.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar