*Sumber gambar: Screenshot film Funny Games (1997)
Namaku Arno Frisch, sebelum dipaksa
berubah menjadi Paul.
Pada
awal 1997, suatu malam, ketika aku sedang tidur nyenyak, Michael
Haneke—sutradara asal Austria itu—tiba-tiba membangunkanku dengan satu colekan
di dahi. Jangan tanya bagaimana bisa ia masuk ke kamarku. Tanpa tedeng
aling-aling, ia berkata, “Aku mau kau bermain di filmku, sebagai seorang pemuda
psikopat.” Tentu aku kaget bukan main, dan kurasa wajar saja andai aku marah
pada ketidaksopanannya. Namun, karena pada 1992 aku bermain di filmnya, Benny’s Video, sebagai tokoh utama—waktu
itu, ia menawariku peran dengan cara “normal”—kuputuskan untuk tak memarahinya,
dan bertanya soal film yang akan dibuatnya itu. Secara singkat, beginilah
kira-kira penjelasannya: Film tersebut berjudul Funny Games; aku berperan sebagai Paul; bercerita tentang sebuah
keluarga yang sedang berlibur di sebuah rumah di samping danau, lalu mereka
kedatangan dua orang tamu psikopat yang pada akhirnya membunuh mereka semua
secara perlahan-lahan dan “lucu”.
Aku
kurang ingat bagaimana Haneke mengakhiri pertemuan kami malam itu. Yang jelas,
keesokan paginya, di meja makan, tahu-tahu telah tersaji secangkir teh, sepiring
tafelspitz[1],
skenario Funny Games, dan surat
perjanjian. Sesudah menghabiskan teh dan tafelspitz, aku membaca skenario film tersebut
hingga selesai, dari pagi sampai siang. Lantas, setelah berdecak kagum sambil
memaki Haneke dengan suara lirih, aku menandatangani surat perjanjian itu.
“Terima
kasih banyak, Paul,” sekonyong-konyong Haneke muncul di belakangku dan menyambar
surat perjanjian itu, sebelum mendadak lenyap, seakan tubuhnya menyatu dengan
udara. (Belakangan, aku bertanya-tanya, kenapa Haneke yang mengambil surat
perjanjian itu, alih-alih Veit Heiduschka, sang produser?)
Karena
saking sukanya dengan skenario Funny
Games, tadi aku terburu-buru menandatangani surat perjanjian, sebelum
membaca isi dari surat tersebut. Namun, sudah terlambat ....
***
Sekitar dua minggu kemudian, sesudah aku
membaca skenario Funny Games
berkali-kali, aku mendapat panggilan telepon dari Haneke, berbunyi, “Besok
pagi, kita akan mengadakan rapat kecil-kecilan di sebuah studio. Di sana, kau
akan kuperkenalkan dengan aktor-aktor lainnya. Oya, aku akan menjemputmu.”
Tapi
nyatanya Haneke tak menjemputku; begitu terbangun, aku, dan tempat tidurku,
tahu-tahu sudah berada di suatu tempat asing, yang perlahan-lahan kusadari
adalah sebuah studio. Di sudut studio, terdapat sebuah televisi; kamera yang
mengambil gambar di televisi itu berada di sebuah perahu kosong yang mengapung
di tengah danau, dan di tepi danau tersebut terlihat sebuah rumah. Di samping
televisi, duduklah Haneke seorang diri—tak ada siapa pun di studio ini kecuali
kami berdua—yang segera menyambutku dengan, “Selamat pagi, Paul, ayo kita mulai
sekarang.”
“Mulai
apa?” tanyaku. “Rapat kecil-kecilan itu? Di mana yang lainnya?”
Dengan
langkah-langkah tenang, Haneke mendekatiku. Kusadari ia memegang sebatang
tongkat golf di belakang punggungnya. Ia pun duduk di tepi kasur, di sampingku,
dan merangkulku dengan tangan yang tak memegang tongkat. “Hari ini kau akan
kumasukkan ke dalam televisi itu.”
“Hah?”
Haneke
berdiri, dan tanpa basa-basi ia menghantam kepalaku dengan tongkat golf! Aku
tidak pingsan; tubuhku hanya mendadak tak berdaya, tatapanku berkunang-kunang.
Aku masih dapat merasakan tubuhku yang diseret Haneke mendekati televisi,
lantas ia angkat dengan bersusah payah, dan ia lempar ke dalam layar televisi
tersebut!
Aku
pun secara ajaib telah berada di atas perahu di tengah danau itu. Ternyata,
dari posisiku sekarang, yang kulihat bukan hanya ada sebuah rumah di tepi
danau, melainkan beberapa. Dan, di perahu ini rupanya aku tak sendirian; ada
seorang pria lain, yang segera memperkenalkan diri sebagai Peter.
“Jadi,”
kata Peter, “ayo kita mulai permainan ini. Aku pilih rumah yang itu sebagai
target pertama, karena barusan kulihat ada sebuah keluarga yang baru sampai di
sana.”
“Mesti
buru-buru seperti inikah?” Suaraku bergetar.
“Oh
ya, di film ini, bukankah kau yang seharusnya lebih dominan ketimbang aku?”
“Ya
....”
“Tapi
kenapa kau sekarang terlihat seperti anak anjing sekarat?”
***
Kukira keluarga yang dimaksud oleh Peter
adalah keluarga Anna, sang tokoh utama.
“Bukan.
Keluarga Anna belum datang,” jelas Peter, seraya menyalakan mesin perahu. “Mereka
yang baru datang adalah keluarga Fred. Keluarga yang akan kita bantai terlebih
dahulu sebelum keluarga Anna.”
“Kita
harus benar-benar membantai keluarga Fred?” sahutku, terbata-bata.
“Kau
belum membaca skenario, heh?”
“Aku
sudah membaca skenario, tentu saja. Maksudku, di skenario, bukankah tidak
diperlihatkan adegan kita membantai keluarga Fred?”
Peter
tertawa kecil, seakan melihat seekor anak anjing terbuang yang sedang bertindak
bodoh di hadapannya. “Benar. Tapi, sesuai isi surat perjanjian, kita harus
benar-benar membantai keluarga Fred juga. Bahkan, sesudah membantai keluarga
Anna, walaupun film telah selesai pada adegan di mana kau memasuki rumah keluarga
selanjutnya, kita tetap harus benar-benar membantai keluarga itu.”
“Kau
dapat surat perjanjian, bukan?” lanjut Peter.
Perahu
mulai melaju. Rasanya aku ingin segera tenggelam saja di danau ini, persis
seperti yang Anna alami pada bagian klimaks film.
***
Setelah dipaksa membunuh tiga keluarga
dalam permainan lucu ala Michael Haneke dan dibebaskan dari dalam televisi, aku
cepat-cepat pergi ke psikolog.
Sepuluh tahun kemudian, ketika aku merasa kejiwaanku sudah sedikit membaik, aku melihat Michael Pitt di layar bioskop, dipaksa menjadi Paul dalam permainan lucu yang pernah kualami.
[1] Masakan terkenal dari Wina, berupa daging sapi yang direbus
dalam kaldu, lalu disajikan dengan saus apel dan lobak.
*) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada 25 Januari 2020.