Ode untuk Kata-Kata Kasar
terima
kasih kepada kata-kata kasar
yang
tak mungkin kusebutkan satu pun di sini
yang
tangan halusnya menyelamatkan
kepala
atasan dari bogemku
kepala
bawahan dari sol sepatuku
kepala
teman dan keluarga dari pelorku
dan
tangan lembut kata-kata itu
penuh
kesabaran menggandengku
menjauh
dari gerbang penjara
pun
gerbang neraka
terima
kasih kepada kata-kata kasar
yang
tak mungkin kusebutkan satu pun di sini
yang
ledakannya setia mengisi hati kosong
dan
memelankan detak jantungku
mencegahku
menyayat leher sendiri
lalu
penuh sopan santun mengingatkanku
untuk
terus menerima mereka
yang
tak mungkin kuterima
terima
kasih kepada kata
yang
berawalan b dan berakhiran t
yang
berawalan k dan berakhiran l
yang
berawalan t dan berakhiran i
karena
dengan kalian
yang
cukup kuucapkan dalam hati
aku
masih bertahan hidup
dan
orang-orang lain masih kuizinkan hidup
(Jakarta,
Desember 2023)
Musim
yang Buruk untuk Berdoa
musim
hujan bukan musim baik
untuk
berdoa: kalimat-kalimat terbang
hanya
untuk terempas ke bumi
dibawa
hujan
mama
yang bilang begitu
di
musim hujan kalimat-kalimat terserak
di
jalan, terseret ke selokan
hanyut
di sungai bersama sampah dan tahi
dan
sebaiknya kita hanya berdoa
di
musim panas
tapi
aku tetap berdoa di musim hujan
karena
aku terbiasa berdoa
dan
aku tak rugi:
suatu
hari di musim panas
aku
berlayar dan kapalku karam
dan
mayatku terombang-ambing
tapi
tak lama
doa-doaku
di musim hujan
menunggu
di laut
sebelum
menguap
dan
membawaku ke langit
(Jakarta,
Desember 2023)
Maut
Menunggu Waktu yang Tak Tepat
ketika
ia nongol dari vagina ibunya
maut
telah memantau dari balik pundak
perawat
yang menariknya keluar
ketika
ia menyesap puting ibu untuk pertama kali
maut
berlutut di samping ranjang
mendekatkan
wajah hingga napasnya
menyentuh
pipi merah sang bayi
— jangan sentuh aku dulu,
ini terlalu cepat.
— tentu tidak sekarang, manis. aku menunggu
ibumu
lebih bahagia lagi. begitulah cara mainnya.
ketika ia pulang, ayah telah menyiapkan satu
kamar
untuknya: dinding biru dengan gambar awan-awan
dan kawanan pelikan; ranjang bayi dengan
ikan-ikan
mainan menggantung di atasnya; salib di dinding
dan maut tersenyum di bawahnya
— jangan sentuh aku dulu,
jangan di sini.
— tentu tidak sekarang,
manis. tapi mungkin nanti di sini.
atau
entahlah, aku masih berpikir. mari kita tunggu ayahmu
mengeluarkan
belasan, puluhan, ratusan juta lagi untukmu.
begitulah
cara mainnya.
ketika
tengah malam, ia menangis dan ibu memasuki
kamarnya,
lalu menggendong dan meletakkannya
di
tengah ranjang yang lebih luas, di antara pelukan
ayah
dan ibu dan tatapan maut yang nakal
— jangan sentuh nanti,
sekarang saja.
— tentu tidak sekarang,
manis. aku menunggu waktu
yang
paling tak tepat. begitulah cara mainnya.
(Jakarta,
Desember 2023)
Via
Suara
evolusi
kami tak pernah mampir di pikiran para ilmuwan
evolusi
kami, mentok-mentok, hanya mampir di pikiran penulis
fiksi
sains yang entah dipuji atau ditertawakan
pendahulu
kami tak pernah berhenti berjalan
lewat
bersinmu, lewat ciprat ludahmu
lewat
lukamu, lewat segala sentuhanmu
pendahulu
kami hanya sembunyi sejenak
dari
badai pahit pil
dari
jarum-jarum suntikan
sampai
pelan-pelan—yang seolah
tiba-tiba—lahirlah
jenis kami secara tak terduga
jenis kami melayang bersama halo
yang kau lontarkan ke tetanggamu
jenis kami melayang bersama aku cinta kau
yang pacarmu bisikkan atau teriakkan padamu
jenis kami menyebar bersama pengumuman,
pengumuman
yang pak rt serukan lewat pengeras suara
jenis kami menyebar bersama selamat pagi,
pemirsa
yang pembawa acara katakan di tv
dan tak cukup sampai di situ
kami menyusupi kupingmu bersama sambutan
yang vlogger itu ucapkan di awal video
bersama lirik lagu paling hit
yang musisi favoritmu lantunkan
bersama desas-desus samar
yang tak sengaja kau dengar entah dari siapa
ketika kau mulai tumbang
semua terlambat:
kami hadir bersama kata pertama
dari resepsionis rumah sakit
kami hadir bersama diagnosa-diagnosa
yang dokter ucapkan
dan ketika jalan satu-satunya hanyalah berdoa
kami menghantammu lewat allahu akbar
dari masjid terdekat
(Jakarta, Desember 2023)
Tabrakan Brutal
di perempatan itu, lampu lalu lintas korslet
dan kata-kata bertabrakansecarabrutraldar!dar!dar!
semuaterlukaparahsulitterbaca
beberapakatamengalami patah tu
l
a
n
g
bebera
pa kata ters e r
a k angg ot a
t
u
b
u
h
n
y
a
hngga bbrp kta taklg mnja di kta
dan ambulans tiba
kata demi kata pun dibawa ke rumah sakit
tak sedikit dari mereka yang ingin bunuh diri
karena kata yang tak terbaca tak lagi ada
artinya
tapi tak sedikit juga yang menerima kenyataan
karena, toh, meski kecacatan bersifat permanen
mereka msih mmpnyai a
r
t
i
mrka mash bs dpahmi
(Jakarta, Desember 2023)
puisi cuma pria tua dengan sebelah kaki ditelan
ranjau
dan kantuk mengayun pelan kursi goyangnya
lalu ketakutan membakar ruang dalam mimpinya
puisi cuma wanita tua dengan doa setiap malam
agar almarhum anaknya pulang dengan selamat
dari medan penuh peluru melesat
demikianlah kenapa puisi tak mampu menolong kau
mendapatkan pujaan hatimu
apalagi meruntuhkan rezim itu
memberimu makan tiga kali sehari
apalagi membuatmu dikenang abadi
puisi cuma orang tua
yang tak bisa lagi kau harapkan
—atau sekilas terkesan begitu
tapi percayalah
orang tua dalam belenggu trauma
dalam satu atau dua kesempatan
mengalirkan cairan emas dari sudut matanya
(Jakarta, Desember 2023)
*) Puisi-puisi ini dimuat di Bacapetra.co pada 20 Agustus 2024.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar