Dara hanya perlu bersikap tenang di meja makan ini, di hadapan keluarga Adam, sambil menyantap steik, dan menjawab pertanyaan kedua calon mertua soal seluk-beluk seorang pustakawan. Tapi, tatapan Birawan dari sisi seberang meja terus mengulitinya. Tatapan itu terlalu familiar, serupa tatapan dari banyak pria yang mengulitinya sejak lima tahun lalu—terutama lima tahun lalu—di mana pun perempuan itu berada. Ia berusaha tak peduli.
“Apa kita pernah bertemu?” tanya Birawan akhirnya.
Sisi kiri lidah Dara tergigit. Keringat dingin menuruni lehernya. Anyir darah segera bercampur dengan potongan steik di mulut. Di samping perempuan itu, Adam menatapnya bertanya-tanya; di hadapannya, kedua calon mertua menatapnya bertanya-tanya—dan di samping Calon Ayah Mertua, Birawan menatap Dara curiga, seraya membetulkan letak kaca mata yang berlensa tebal.
Tubuh tambun Birawan mengeluarkan bau kaus kaki berkeringat. Pipi kirinya bopeng dan berminyak, pipi kanannya tertutup sempurna oleh keloid luka bakar. Dara mual memikirkan bagaimana pria itu—pasti pernah—membayangkan menyentuhnya.
“Mungkin Kakak melihatnya di perpustakaan?” kata Adam.
“Aku tidak pernah ke perpustakaan pacarmu,” balas Birawan.
Hening sejenak, sampai Calon Ibu Mertua mengingatkan mereka untuk lanjut menyantap steik. Birawan mengatakan ia harus menjawab panggilan dari atasan—meski ponselnya tak berdering—dan tatapan Dara, diam-diam, mengikuti calon kakak iparnya ke balik bar dapur. Birawan mengeluarkan ponsel dari saku, menahan tombol untuk menurunkan volume suara, sebelum memerhatikan layar ponsel dengan dahi mengernyit. Sesaat kemudian, ia menatap lekat wajah Dara. Tatapan itu terlalu familiar, serupa tatapan dari banyak pria yang mengulitinya sejak lima tahun lalu—terutama lima tahun lalu—di mana pun perempuan itu berada.
***
Kau perempuan di video itu.
Ponsel terlepas dari tangan Dara, jatuh ke lantai. Pesan WhatsApp itu dikirim oleh nomor tak dikenal. Suatu gumpalan menyekat jalur napasnya mendadak. Tubuhnya gemetar, jatuh ke kasur, air matanya meleleh—jeritan tertahan di pangkal lidah.
Ponselnya berdering. Semenit. Dua menit. Dara tak sanggup bergerak. Ponsel berhenti berdering.
Dan terdengar pesan WhatsApp masuk.
Ketika Dara berhasil mengendalikan diri, ia mengambil ponselnya dari lantai. Nomor tak dikenal itu mengirim sebuah foto. Tangkapan layar dari sebuah video. Seorang perempuan, telanjang, terbaring di ranjang, dengan kain hitam membelit matanya, tali kabel membelit kedua tangannya di sandaran tempat tidur bermodel jeruji.
Dara menjerit dan membanting ponsel.
***
Dara tahu-tahu berada di sebuah kafe, tempat pertemuan pertamanya dengan Adam enam bulan lalu. Adam tak tampak di mana pun. Para Dara-yang-lain duduk di setiap meja, di sekelilingnya, dalam rangkulan pria-pria berbeda.
Mereka semua kompak berciuman.
Tiba-tiba Adam sudah duduk di depannya, menangis, menampar-nampar diri sendiri. Hentikan, pekik Dara. Adam terus menampar diri sendiri. Perempuan itu hendak menghentikannya, tapi tangannya terikat tali kabel ke lengan kursi.
***
Pergelangan Dara kembali berdenyut-denyut. Dengus napas lelaki itu kembali terdengar: awalnya hanya di dalam kepala, lama-lama seperti berasal dari antara rak-rak buku. Tak ada seorang pengunjung pun pagi ini. Dara berlari ke toilet dan muntah di wastafel. Wastafel mungkin akan mampet lagi, tapi masa bodoh.
Begitu ia keluar dari toilet, seorang pria telah berdiri di hadapan meja pustakawan yang kosong. Pengunjung pertama. Jantung Dara tercelos. Suatu gumpalan kembali menyekat jalur napas. Pria itu menoleh ke arahnya.
“Bisa bicara sebentar?” Suara Birawan bergetar.
Dara memaksakan senyum dan setenang mungkin kembali ke meja pustakawan. “Buku apa yang kau cari?”
“Perpustakaan selalu sepi, eh?” Birawan menoleh ke sekeliling, menyeka lensa kaca mata dengan ujung kemeja. Bau tubuhnya menyentak tenggorokan.
Satu hal yang paling Dara suka dari perpustakaan provinsi adalah jarangnya ada pengunjung. Jarangnya ada yang menemuinya. Jarangnya ada yang, kemungkinan, pernah melihat wajahnya—berbeda dengan di kafe dulu. Semakin sedikit orang yang suka membaca, semakin bagus.
“Maaf jika kedatanganku mengejutkanmu,” lanjut Birawan. Dari gemetar suaranya, ia tak siap untuk membicarakan topiknya. “Omong-omong, kenapa kau tidak membalas pesanku? Atau menjawab panggilanku?”
Mata Dara menghangat. Ia tak boleh menangis. Tangisan hanya membenarkan tebakan calon kakak iparnya. Dara hanya perlu bersikap tenang di meja pustakawan ini, di hadapan Birawan.
“Ponselku jatuh di tangga.” Dara mengeluarkan ponsel dari saku. Layarnya retak. “Lihat, aku tidak bisa menyalakannya. Akan kubawa ke tukang servis.”
Birawan menelan ludah. “Aku belum bilang apa pun ke adik atau orang tuaku. Tapi … boleh kita bicara sebentar?”
Dara mengangguk.
Dara telanjur mengangguk.
Kenapa ia harus telanjur mengangguk?
Birawan melangkah ke rak-rak buku. Dara mengikutinya, seperti melangkah di dasar sungai, melawan arus. Denyut di pergelangannya semakin menusuk. Rak buku setinggi dua ratus sentimeter di kedua sisinya semakin mengimpit dan mengimpit, bayangannya mengubur mereka berdua. Pria itu pun berhenti dalam apitan dua rak paling ujung, rak kategori teknologi dan budaya, dan terbatuk singkat.
“Aku tahu ini salah.” Birawan memijat-mijat jembatan hidung. “Tapi, aku hanya ingin merasa dicintai—sekali saja. Setelah itu, lupakan.”
Pola kalimat itu familiar.
Tatapan Birawan tertuju ke barisan buku terbawah di rak budaya. “Aku tak setampan Adam. Adam sudah enam kali berpacaran—termasuk denganmu—sedangkan aku tak pernah. Tidak ada yang suka dengan pipi kananku, bukan begitu? Satu kesalahan di masa lalu, dan tak ada yang menyukai pipi kananku selamanya.” Ia menyedot ingus. “Selain itu, Ayah memilih Adam untuk memimpin perusahaan—dan bukan aku. Aku tak pernah dapat kesempatan untuk apa pun.”
Salah satu kamera pengawas berada di sudut langit-langit terdekat, menatap mereka. Dara tak bisa menampar Birawan. Dengus napas itu pun terdengar lagi. Semakin keras dan semakin keras. Setiap buku di sekelilingnya bernapas, hidup, memerhatikannya.
“Besok malam Adam dan kedua orang tuaku pergi,” lanjut Birawan. “Dan, aku bisa menyuruh pembantu kami pergi beberapa jenak.”
Air mata Dara menetes. Ia langsung berbalik meninggalkan Birawan dengan langkah-langkah cepat, seolah lorong rak buku terus menyempit, hendak meremukkannya. Ia hampir terjatuh karena hak tinggi—tapi ia terus melangkah cepat. Ketika Dara lolos dari himpitan rak buku, tampak sepasang mahasiswa-mahasiswi berdiri bergandengan di depan mejanya.
“Hai, bisa bantu kami?” tanya si Mahasiswi. Ada cupang di lehernya.
***
Jalan termudah adalah meninggalkan Adam dan mencari pacar baru yang tak satu pun anggota keluarganya pernah melihat video itu. Tapi, tak ada jalan mudah dengan janin di rahim, dengan janji sang pacar untuk bertanggung jawab dalam waktu dekat—minimal hingga kedua orang tuanya benar-benar mengenal Dara.
Dara menekan tombol bel di samping gerbang. Sekitar lima menit kemudian, pintu beranda terbuka. Wajah Birawan pucat terkena cahaya lampu beranda. Tak tampak seorang tetangga pun di luar rumah.
“Kau belum memberi tahu mereka, bukan …?” tanya Dara.
***
Birawan menggandengnya ke kamar. Di samping ranjang, rak buku menutup satu sisi dinding, hampir menyentuh langit-langit. Dara familiar dengan beberapa punggung buku, semisal Kuasai Jalan Hidupmu. Birawan melepas gandengan dan menyalakan pendingin ruangan dan duduk di tepi kasur, keloid di pipi kanannya memantulkan cahaya, bau tubuhnya memenuhi ruangan. Di meja belajar: selembar masker penutup mata dan sebungkus tali kabel.
“Kau tidak perlu memakainya, jika keberatan.” Suara Birawan gemetar seperti kemarin.
Dara menatap wajah pucatnya di cermin. Sudah bertahun-tahun ia menolak cermin, sudah bertahun-tahun ia ingin menyayat wajah sendiri. Lekuk tubuhnya masih hampir sama seperti lima tahun lalu. Seperti di video. Seperti bentuk yang menguasai kepala banyak pria.
Ia tak ingin kabur lagi.
“Aku bersedia.”
Birawan menelan ludah. Dara mengambil masker penutup mata dan dua helai tali kabel. Ia tersenyum seraya menggigit bibir bawah—senyum yang pernah ia latih tanpa lelah. Birawan sekali lagi menelan ludah, dan Dara melepas kaca mata berlensa tebalnya—lantas memakaikan masker ke mata sang pria.
“Kenapa mataku …?” tanya Birawan.
“Sedikit variasi pasti lebih seru. Aku berpengalaman.”
Birawan cepat-cepat melepas pakaian, meletakkan kepala di bantal, merentangkan tangan. Ini pasti hari terindahnya. Dara mengikatkan kedua tangan pria itu ke sandaran tempat tidur bermodel jeruji seraya berbisik, “Nanti, usahakan sedikit melawan.”
“Terima kasih.” Birawan hampir menangis terharu.
Persiapan selesai. Tanpa suara, Dara melangkah ke rak buku. Ia tak bisa dibodoh-bodohi untuk kali kedua. Di antara buku Kuasai Jalan Hidupmu dan Menjadi Raja dalam Sehari, terdapat celah selebar setengah jengkal. Dalam keremangan celah, sebuah ponsel bersandar ke dinding dalam rak, kameranya mengarah ke tempat tidur. Dara sudah melihatnya dari awal. Pelan-pelan, ia mengeluarkan ponsel itu.
“Apa yang kita tunggu?” tanya Birawan.
Ponsel itu sedang merekam, kini memasuki menit keempat belas. Pasti rekaman dimulai sejak Dara menekan bel.
“Aku akan membuka pintu,” kata Dara. “Rasanya akan lebih menantang dan seksi.”
“Baik.”
Dara menghentikan dan menghapus rekaman, membuka Instagram Birawan, menggeser layar ke kanan. Live. Ia memastikan wajahnya tak tertangkap kamera, dan memberdirikan ponsel dengan menyandarkannya ke buku, kamera mengarah ke tempat tidur.
Dara membuka pintu kamar. Dan ia keluar.
***
Begitu Dara membuka pintu beranda, para Dara-yang-lain sudah menunggu di luar, menghadap ke arahnya. Mereka berjumlah belasan. Puluhan. Ratusan. Mereka memenuhi beranda. Memenuhi halaman. Memenuhi area di balik gerbang. Mau apa mereka? Ketika Dara melangkah meninggalkan ruangan, para Dara-yang-lain berbondong masuk, membuatnya berkali-kali terdorong kembali ke ruang dalam.
*) Cerpen ini dimuat di Janang.id pada 21 Oktober 2024.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar