Senin, 25 November 2024

SPA, KONTEN, DAN PERAMPOKAN -- Sebuah Cerpen

 
*Sumber Gambar: Solopos



Luxy Spa & Massage; ruang tunggu itu berwarna dominan krem dan beraroma lavender dan dipenuhi musik instrumental tenang. Di sofa panjang: Lea sedang mengatur posisi ponselnya di kepala monopod sebelum membuat vlog; Abeng sedang mengatur napasnya sebelum merampok.

Masker wajah Abeng basah oleh keringat dingin; kamera CCTV menatapnya tajam. Jendela menampakkan matahari kemerahan di langit barat, gumpalan awan yang lewat menyembunyikannya. Abeng pura-pura terbatuk agar tampak beralasan untuk terus bermasker. Pisau lipat di saku jinnya perlahan memanas.

“Hai, Leanicious!” Lea melambai ke kamera depan ponsel dan menjelaskan di mana ia berada dan lain-lain. Ada satu hal yang tak ia ucapkan: ia akan membuat konten prank.

Di samping meja si Resepsionis—yang sibuk menjawab telepon—terdapat koridor dengan tangga di ujungnya, dan dari sana turunlah dua orang terapis berpakaian krem dan bermasker wajah biru. Si Terapis Wanita, Glenda, mengajak Abeng mengikutinya; si Terapis Pria, Miko, mengajak Lea mengikutinya. Mereka berempat melangkah ke koridor dan menaiki tangga dan Lea terus merekam dengan ponsel di kepala monopod yang terjulur; Abeng terus menunduk sebab ia di belakang wanita itu dan tertangkap kamera depan ponselnya.

Musik instrumental tenang mencapai koridor lantai dua, di mana pintu-pintu ruang privat berjajar. Miko membuka pintu ruang nomor satu untuk Lea, paling dekat dengan tangga serta kamera CCTV; Glenda membuka pintu ruang nomor dua untuk Abeng, ruang bercahaya kuning remang selebar rentangan tangan dua orang dewasa, ruang yang ketenangannya tak menunjukkan tanda-tanda perampokan. Yang terpenting: tak ada kamera CCTV di dalam sana.

“Perampok tolol adalah perampok yang beraksi di bank,” kata pria kekar di sebuah film Hollywood, yang Abeng tonton lewat situs film bajakan di ponsel sambil sarapan di warteg bulan lalu. “Bank hanya akan membawamu ke penjara atau, paling untung, ke kuburan. Rampoklah tempat-tempat yang tak akan dirampok.”

Seketika Luxy Spa & Massage terlintas di kepala Abeng, tempat yang berkali-kali ia lewati saat menuju rumah sakit untuk menjenguk putrinya. Demikianlah ia berada di ruang privat nomor dua, melepas kemeja dan jin—segugup kali pertama menyewa pelacur—dan memindahkan pisau lipat ke balik boxer ketat, tepat di samping kemaluan yang mengerut karena dingin gagang pisau.

Glenda mengetuk pintu dari luar. “Sudah …?”

Abeng memasukkan pakaian ke laci di kolong ranjang, sebelum telungkup di kasur dan menyelimuti diri dengan selimut batik tipis dan mempersilakan Glenda masuk.

Miko memasuki ruang nomor satu dengan debar jantung bertalu-talu. Pertama, Lea adalah pelanggan ketiga sekaligus pelanggan perempuan pertamanya. Kedua, di balik selimut batik itu, Lea pasti hampir telanjang bulat. Ketiga, di sudut ruangan, berdiri monopod dengan ponsel di kepalanya, dengan kamera mengarah ke ranjang, dan akan menyaksikan kikuknya Miko. Apa ini yang Glenda rasakan waktu pertama kali, bertahun-tahun lalu, melayani lawan jenis? Untuk apa seorang perempuan meminta terapis pria? Apa akan terjadi adegan dari sebuah film porno, yang dimulai dari memijat daerah-daerah normal, berujung ke daerah-daerah sensitif?

“Maaf, bisa saya mulai?” tanya Miko, dan Lea mengiyakan.

Miko memijat punggung Lea dari luar selimut; Glenda memijat punggung Abeng dari luar selimut. Lea akan menunggu Miko memijat kakinya untuk memulai prank; Abeng akan menunggu Glenda memijat kakinya untuk memulai perampokan. Jantung Lea dan Abeng berdentum-dentum.

Akhirnya, Glenda memijat kaki kiri Abeng. Sejauh ini Glenda memijat sambil memikirkan putranya yang berusia tujuh tahun: dari kemarin, ia meraung-raung ingin meminjam ponsel Glenda untuk menonton YouTube, tapi Glenda menolak—ia tak ingin putranya bodoh. Tiba-tiba Abeng melepaskan kakinya dari pijatan, berdiri dan mengeluarkan pisau lipat dari boxer, lalu menghunus mata pisau.

“Jangan berteriak,” desisnya.

Glenda terbelalak. Ujung mata pisau yang dingin menyentuh kulit lehernya.

“Keluarkan ponsel, dompet, apa pun. Arlojimu juga.”

Dengan tangan gemetar, dengan gerak cepat, Glenda meletakkan ponsel dan dompet dan arloji di ranjang. Selama Glenda bergerak, Abeng memastikan ujung mata pisau tak lepas dari kulit leher sang terapis.

“Sesi kita berakhir pukul setengah delapan, benar?” kata Abeng. “Tetaplah di sini sampai setengah delapan. Jangan berbuat apa pun. Jangan bicara apa pun. Setelah sesi berakhir, aku akan keluar duluan. Kau baru boleh keluar lima belas menit kemudian. Paham?”

Glenda mengangguk. Abeng tak rugi berlatih dengan bicara di depan cermin kamar mandi berhari-hari.

Abeng pun menyuruh Glenda berjongkok di sudut dan menghadap dinding, sementara dirinya segera berpakaian lengkap dan mengantungi barang-barang sang korban dan duduk di kasur seraya terus memandangi wanita itu dengan pisau siaga di tangan. Tiba-tiba, terdengar jeritan dari ruang sebelah.

Lea menjerit-jerit seraya memegangi kaki kirinya. Barusan Miko menekuk kaki itu sesuai prosedur tapi entah apa yang salah: Lea seketika menjerit. Wajah panik Miko tertangkap kamera ponsel.

“Kau apakan kakiku, Tolol?!” pekik Lea.

Kata maaf tertahan di kerongkongan Miko. Entah apa yang menahan kata maaf di sana. Kakinya gemetar hebat, seakan bermasalah sehabis dipijat.

“Panggil atasanmu!” pekik Lea. “Kakiku patah!”

Tidak. Miko akan dipecat jika manajernya tahu. Ah—Glenda! Senior yang baik pasti akan menolong!

Glenda masih berjongkok mengadap dinding di sudut ruang nomor dua, keringat dingin membasahi kerah dan ketiak dan selangkangannya. Ia mengatur napas, ledakan tangisan akan membuatnya terbunuh. Apa yang perampok itu lakukan di belakangnya? Ketidurankah? Menodongkan pisau terus padanya? Diam-diam masturbasi sambil menunggu sesi berakhir? Glenda tak sekali pun menoleh—termasuk saat mendengar jeritan dari ruang sebelah.

Mendadak pintu digedor-gedor dari luar. “Glenda, tolong!”

“Siapa itu?” desis Abeng.

“Terapis junior. Dari ruang sebelah.”

“Glenda, buka pintunya! Aku mematahkan kaki pelanggan!”

Abeng cepat-cepat telungkup, menyelimuti diri, mengeratkan cengkeraman di gagang pisau. “Buka pintunya. Jawab yang cerdas.”

Glenda menelan ludah, melangkah dengan kaki dan tangan gemetar menuju pintu, memutar gagangnya yang dingin. Tampak wajah Miko pucat seperti mayat. Apakah wajah Glenda sepucat mayat sekarang? Seperti apakah jawaban cerdas yang akan mencegahnya menjadi mayat?

“A-Aku mematahkan kaki pelanggan. Entah, mungkin tak patah, mungkin sendinya hanya tergeser—bisa ikut ke ruang sebelah?”

“Aku tidak mungkin meninggalkan pelanggan.”

Jawaban cerdas, pikir Abeng.

“Maaf, Pak, Anda bersedia ditinggal sebentar?” kata Miko ke Abeng. “Demi Tuhan, ini darurat—saya akan memberi Anda cashback lima puluh persen!”

“Apa aku tampak butuh cashback?!” balas Abeng.

Lea menjerit dari ruang sebelah. Kulit pucat Miko bertambah pucat. Tak lama lagi ia akan pingsan.

“Saya mohon, Pak—lima menit saja!”

“Ayolah, Miko, belajarlah bertanggung jawab.” Glenda kembali memijati kaki Abeng. “Panggil ambulans. Atau apalah. Kalau kau dipecat, itu urusanmu.”

Tiba-tiba Glenda memuntir pergelangan kaki kiri Abeng—krak!—pria itu memekik singkat.

“Maaf, ini memang agak sakit.”

Glenda memuntir pergelangan kaki kanan Abeng—krak!—pria itu berhasil menahan pekikan.

“Glenda … kau benar-benar tak bisa menolong …?”

“Baiklah, Miko! Ayo ke sebelah!”

Glenda langsung keluar dari ruangan dan menutup pintu. Bajingan nekat! Abeng hendak mengejar, tapi, begitu berdiri, sekujur kakinya terasa tersetrum—terutama di pergelangan—dan ia terjatuh terduduk ke ranjang. Glenda telah melakukan sesuatu pada pergelangan kakinya!

“Dia merampokku,” bisik Glenda.

Miko mematung. Terlalu banyak peristiwa gawat yang harus kepalanya cerna. Air mata lolos dari mata Glenda. Wajahnya sepucat mayat.

Lea menguap. Ke mana terapisnya pergi? Sayang sekali jika pria itu kabur; Lea sudah menyiapkan satu juta Rupiah di tas, yang akan ia serahkan pada terapisnya di akhir nanti. Lea menjerit lagi, tapi tak terdengar apa pun dari luar. Ia melepas ponsel dari monopod—panas sekali ponselnya!—dan berpikir untuk mengecek ke luar.

Abeng melepas masker wajah, menyeka keringat di sekeliling bibir dengan kerah, dan kembali memakai masker. Ia menarik napas panjang, dan pelan-pelan menjejakkan kaki ke lantai, dan pelan-pelan berdiri. Sengatan dari pergelangan kaki seketika menyambar sekujur tubuh. Tapi ia tak jatuh. Ia mengembuskan dan menarik napas panjang. Terapis itu telah menipunya. Ia harus kabur sekarang dan menikam siapa pun yang mencegahnya kabur.

Tidak. Mungkin lebih aman jika ia pura-pura tak bersalah? Mungkin lebih aman jika ia menyembunyikan pisaunya dan keluar sebagai orang tak bersalah.

Tidak. Mungkin lebih aman jika ia mengambil jalan tak aman.

Lea keluar dari ruangan, ponsel di tangan, merekam gambar. Tak ada siapa pun di koridor. Musik instrumental tenang berakhir dan berputar dari awal. Ia baru akan turun ke ruang tunggu ketika Abeng membuka pintu ruang sebelah, keringat membasahi sekujur wajah pucatnya. Napasnya berat.

“Kau lihat terapisku?” tanya Lea, tanpa sadar kamera ponselnya mengarah ke Abeng. “Tadi kudengar ia mengetuk pintu ruanganmu.”

“Matikan kameramu,” desis Abeng.

“Maaf …?”

“Matikan kameramu, Anjing.” Abeng menunjukkan tangan kanannya yang dari tadi bersembunyi di balik punggung. Cahaya lampu terpantul di mata pisau. Masa bodoh pada kamera CCTV yang menatapnya tajam.

Lea menjerit.

Abeng berlari ke arahnya; Lea berlari ke tangga. Abeng langsung terjatuh karena pergelangan kakinya sakit; Lea langsung terjatuh karena tersandung kaki sendiri dan kepalanya menghantam anak-anak tangga. Abeng menjerit kesakitan; Lea tak menjerit sama sekali.

Terdengar sirine mobil polisi dari suatu jarak. Abeng menjerit dan menggebrak lantai bertubi-tubi. Lea masih diam. Genangan darah melebar dari kepala, menyentuh ponsel yang telungkup di lantai, merekam langit-langit, tak merekam apa pun yang berarti. Kamera-kamera CCTV merekam semua; esoknya semua viral.




*) Cerpen ini dimuat di Solopos pada 9 November 2024.

Tidak ada komentar :