*Sumber: Pinterest
Tatkala Ayah bermimpi menjadi seorang astronaut
yang sedang melayang di ruang angkasa—persis seperti apa yang diidam-idamkan
dirinya semasa kecil dulu—yang ia lihat di sekelilingnya cuma bintang-bintang
kecil di antara kegelapan; tak ada bulan, matahari, maupun planet. Tak ada pula
pesawat ruang angkasa yang menjadi penambat bagi tubuhnya.
Mimpi
itu muncul pada Senin pagi pukul setengah tujuh, saat Ibu sedang membikin
sarapan di dapur, sedangkan Dody, sang anak yang sedang dalam masa libur-kenaikan-kelas—menuju
kelas 2 SD—sibuk berlarian mengitari meja makan, dengan bus mainan di tangan
kanannya yang terangkat tinggi, seakan ia sedang memainkan pesawat-pesawatan.
Ayah
tak tahu apa yang mesti dilakukannya di ruang angkasa. Kemudian ia memutuskan
untuk bergerak maju dengan gaya renang konvensional, karena gerakan itulah yang
pertama terlintas di kepala, berhubung sensasi yang dirasakannya di ruang
angkasa tak berbeda jauh dengan saat berada di permukaan kolam renang. Apakah
yang Ayah tuju? Tentu tidak ada. Namun barangkali pergerakannya itu akan
menarik perhatian penghuni ruang angkasa—yang sejauh ini belum ada dilihatnya—sehingga
penghuni yang satu itu bakal datang menghampirinya, dan Ayah tak lagi kesepian.
Lelah
berlari mengitari meja makan, Dody pun berbaring di lantai, tanpa melepaskan
bus mainan itu dari tangannya, pula tanpa berhenti memainkannya;
digerak-gerakkannya bus itu maju-mundur di lantai, lantas merayap ke
anggota-anggota tubuhnya sendiri, hingga tiba di wajah dan berhenti. Pelan-pelan,
Dody melepaskan pegangan pada bus mainan, dan membiarkan bus itu terparkir di
wajahnya yang sebisa mungkin tidak digerakkannya—agar bus tersebut tidak sampai
terjatuh dari sana. Tiba-tiba terdengar Ibu memanggil Dody dari dapur, meminta
tolong pada bocah itu untuk membangunkan Ayah—agar tak sampai ketinggalan bus,
agar tak sampai terlambat sampai di kantor.
Ayah
mulai kebingungan—selain kesepian—di ruang angkasa. Setidaknya, ia membatin, di
sini aku tak perlu berhadapan dengan urusan kantor lagi. Tak perlu pula berhadapan
dengan si Bos yang terlampau banyak maunya. Ayah pun tetap berenang, berenang, dan berenang …
tanpa tujuan. Tapi akhirnya ia merasa lelah dan memutuskan untuk diam di
tempat, berusaha menikmati pemandangan di sekitarnya. Mendadak Ayah menyadari, sedari
tadi tak ada satu bintang pun yang dilewatinya, seakan bintang-bintang itu
terus menjaga jarak darinya.
Dody
masuk ke kamar itu—dengan bus mainan di tangan—dan mendapati Ayah masih
terlelap-telentang di tempat tidur. Ia naik ke tempat tidur, duduk di samping
ayahnya, dan beberapa kali berkata, “Bangun, Ayah.” Namun Ayah tak juga bangun.
Kemudian Dody memutuskan untuk mencoba membangunkan Ayah dengan cara yang
berbeda: ia menempelkan bus mainannya ke kaki Ayah, lantas menjalankannya
pelan-pelan ke arah perut. Dody berharap, pergesekan antara roda-roda bus
mainan dengan kulit Ayah akan menimbulkan geli yang membangunkannya.
Di
dalam mimpinya, entah kenapa, Ayah malah mendengar deru mesin bus yang selalu
ditumpanginya saban berangkat ke kantor. Ayah reflek menebar pandangan ke
sekeliling, tapi tak ada tampak bus satu pun—hanya bintang-bintang yang
bersinar di antara kegelapan yang tertangkap oleh sepasang matanya. (Dan, Ayah
tak merasakan geli yang ditimbulkan oleh pergesekan antara roda-roda bus mainan
Dody dengan kulitnya.) Ayah pun menajamkan pendengaran, mencoba mencari arah
asal bunyi itu … tapi yang didapatinya adalah bunyi tersebut berasal dari
segala arah. Maka, Ayah lanjut bergerak ke salah satu arah yang dipilihnya
secara acak, berharap semakin lama deru mesin bus itu bakal terdengar semakin dekat.
Bus
mainan Dody telah sampai di perut Ayah. Lalu bus itu dijalankannya ke dada,
kembali ke perut, ke dada lagi, dan ke perut lagi, begitu terus hingga entah berapa
kali. Namun Ayah tak kunjung bangun. “Ayah, cepat bangun,” akhirnya Dody
berkata lagi. “Ayah enggak takut ketinggalan bus? Ayah enggak takut terlambat sampai
di kantor?”
Deru
mesin bus itu tidak kunjung terdengar semakin dekat, tak pula semakin jauh, padahal
Ayah sudah mencoba bergerak ke segala arah. Setidaknya, kemudian ia mendapati
sesuatu selain bintang-bintang: kemeja, celana panjang, pantofel, dan dasi yang
biasa ia kenakan saban bekerja di kantor tampak melayang-layang beberapa meter
di hadapannya, muncul begitu saja. Disusul dengan laptopnya yang
sekonyong-konyong melintas di depan wajahnya dengan cepat—seolah dilempar
dengan sekuat tenaga—dan akhirnya lenyap entah di mana.
Dari
dada, Dody menggerakkan bus mainannya ke paha Ayah. Dody lantas berkata, “Waktu
itu, Ibu sempat marah-marah karena Ayah terlambat bangun pagi. Apa sekarang
Ayah enggak takut kalau Ibu marah-marah lagi?”
Kemeja,
celana panjang, pantofel, dan dasi itu menghilang begitu saja. Tiba-tiba, dari
belakang Ayah, ada yang meminta-minta tolong dengan suara lemah. Ayah reflek
berbalik dan mendapati selingkuhannya yang melayang dengan tubuh dipenuhi
luka-luka dan perut yang besar, berisi janin berusia delapan bulan. “Kenapa kau
mampir ke mimpiku?” Ayah bertanya, tapi selingkuhannya tak menjawab, entah
karena malas menjawab atau sebab suara Ayah tak mampu menembus helm astronaut
yang dikenakannya. Mendadak, tubuh sang selingkuhan pecah bagai gelembung, tak
meninggalkan jejak apa pun di ruang angkasa yang dipenuhi deru mesin bus dari
suatu jarak itu.
“Apa
Ayah sudah bangun, Dody?” Ibu berkata lantang dari dapur.
Dody
menyahut, “Belum, Bu! Ayah enggak bisa saya bangunkan!”
“Kalau
begitu, kau sarapan saja dulu. Biar Ibu yang membangunkan Ayah.”
Dody
pun menggerakkan bus mainannya dari paha ke wajah Ayah, sebagai usaha
terakhirnya untuk membangunkan pria itu. Tapi karena Ayah tak juga bangun, Dody
pun menyerah, turun dari tempat tidur, dan keluar dari kamar. Bus mainannya ia
biarkan berada di wajah Ayah, sebagai pelampiasan kecil-kecilan atas
kekesalannya terhadap kegagalan diri sendiri dalam membangunkan pria tersebut.
Langkah
kaki Ibu lantas mulai terdengar, semakin lama semakin mendekati tubuh Ayah.
Akhirnya,
deru mesin bus terdengar semakin dekat. Ayah lumayan kaget, sebab dirinya belum
lagi bergerak ke mana pun setelah syok melihat selingkuhannya pecah bagai
gelembung. Saat ia menoleh ke belakang, diketahuinyalah bahwa bus itu sudah
bergerak mendekat … dengan cepat … hingga menabrak dirinya.
*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada 4 Juni 2018.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar