Sabtu, 23 Januari 2016

MATINYA MALAIKAT KEMATIAN -- Sebuah Cerpen





Aku ingin membunuh sang malaikat kematian. Malaikat itu merenggut nyawa Ayah saat aku berusia tujuh tahun. Kala itu seharusnya Ayah bisa sembuh dari suatu penyakit yang hinggap di jantungnya, kalau saja malaikat kematian tidak turut campur dan tidak terburu-buru mencabut nyawanya. Aku yakin seharusnya Ayah belum mati.
       Aku ingin menghabisi sang malaikat kematian. Berkat malaikat itu pula, adikku, saat aku berusia delapan tahun, tewas akibat dipukuli oleh teman-teman sepermainannya—yang sebagian besar lebih tua satu-dua tahun darinya—hanya karena dianggap melakukan kecurangan dalam bermain petak umpet. Seharusnya Adik tidak mati, dan aku seharusnya bisa menyelamatkannya, kalau saja sang malaikat kematian tidak buru-buru turut campur, sehingga kini aku hanya memiliki dua orang adik.
       Aku ingin mencingcang-cincang sang malaikat kematian. Kini, ketika aku menginjak usia dua puluh enam tahun, malaikat itu pasti sedang mencari kesempatan untuk mencabut nyawa Ibu, mentang-mentang wanita itu hanya bisa tergeletak lemah di kasur sembari mengerang kesakitan.
      Aku ingin sang malaikat kematian mati. Tapi bisakah pembawa kematian itu mengalami kematian?

***

Di kantor, aku menerima telepon dari Imran, salah satu adik kandungku. Katanya penyakit Ibu semakin parah lagi setelah baru saja kemarin semakin parah. Aku dimintanya untuk segera menuju ke rumah sakit, sebagaimana Laksmi—adik perempuanku—yang bekerja di kantor lain. Mudah saja aku minta izin pada Bos, sebab sepertinya ia tahu bahwa sewaktu-waktu aku bakal harus meninggalkan kantor karena ibuku.
   Rupanya Laksmi telah tiba di rumah sakit terlebih dahulu. Tangan adik perempuanku itu menggenggam erat tangan kiri Ibu, sedangkan Imran menggenggam erat tangan kanannya. Sementara itu, sang dokter, yang ditemani oleh dua orang perawat, sedang menyuntikkan suatu cairan bening ke selang infus.
     Sekonyong-konyong Ibu mengucapkan sesuatu yang begitu lirih dan tak jelas dalam erangannya; tak satu pun dari kami yang menangkap kalimatnya. Mudah-mudahan saja itu bukan salam perpisahan.

***

Aku adalah tunggal. Namun aku bisa ada di banyak tempat dalam waktu yang bersamaan. Tapi aku bukanlah Tuhan. Aku hanyalah ciptaanNya, sebagaimana para iblis, para binatang, juga para manusia yang pada zaman ini mulai susah dibedakan dengan kaum iblis maupun binatang-binatang yang buasnya bukan kepalang.
       Setiap hari, partikel-partikel tubuhku selalu berserakan di dunia ini, tiada lain sebab setiap hari ada saja orang yang mati; baik karena memang ajalnya sudah tiba, maupun karena ajalnya dipaksakan untuk tiba. Tugasku hanyalah membantu mereka semua untuk keluar dari tubuh masing-masing. Untuk masalah “mencari jalan pulang ke sana”, itu urusan tersendiri buat mereka; jika memang sudah waktunya mereka mati, pintu itu akan terlihat jelas oleh mereka; jika mereka mati sebelum waktunya mati, pintu itu tak akan pernah terlihat oleh mereka, kecuali sudah tiba waktu yang sesungguhnya bagi mereka untuk mati.
     Pernah suatu malam kudengar seorang bocah laki-laki berusia delapan tahun mengatakan, “Kalau aku adalah malaikat kematian, aku tidak akan mencabut nyawa Nenek supaya Nenek bisa terus bersama kita.”
    Itu adalah ketika salah satu partikelku sedang menunggui seorang manusia sekarat—dengan bersembunyi di kolong ranjang—yang disebut “Nenek” oleh bocah itu. Berdasarkan apa yang tertera di catatanku, ajal wanita tua itu akan tiba tak lebih dari semenit lagi.
    “Tapi, kalau Nenek hidup terus,” balas seorang bocah perempuan—tampak lebih tua dari si bocah laki-laki. “bukankah itu berarti seumur hidup ia harus merasakan sakit?”
       Si bocah laki-laki tak bisa menjawab apa-apa.
      Benarlah apa yang dikatakan oleh si bocah perempuan; andai orang yang seharusnya mati tak kunjung kubuat mati, maka mereka akan merasakan sakit—yang luar biasa hebatnya—seumur hidup. Sesungguhnya, mematikan tubuh-tubuh yang seharusnya mati itu adalah upayaku untuk menyelamatkan mereka.
     Saat waktu hidup wanita tua itu tinggal sembilan detik lagi, kurapalkan sederet mantra dengan lirih agar kedua bocah itu tertidur. Saat waktu hidup wanita tua itu tinggal tiga detik lagi, aku keluar dari kolong ranjang, dan menarik nyawa sang wanita ketika waktu hidupnya telah habis menggunakan sabit pencabut nyawa yang menjadi properti wajib bagiku.
     Pernah pula salah satu partikelku mendengar seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun meneriakkan, “Ayah seharusnya belum mati! Malaikat kematian yang terlalu buru-buru mencabut nyawanya!”
    Itu adalah ketika baru saja kucabut nyawa ayahnya yang memiliki masalah besar pada jantung. Sesungguhnya, kalimat bocah laki-laki itu sungguh mengiris-iris. Apa dikiranya aku senang memiliki kekuasaan-atas-kematian? Apa dikiranya aku senang mencabut nyawa orang? Apa dikiranya hatiku tidak luka setiap melihat reaksi orang-orang yang teman, keluarga, atau kekasihnya kumatikan? Tapi, ketahuilah, hatiku akan lebih luka lagi kalau membiarkan orang-orang sakit itu digerayangi oleh rasa sakit secara terus-menerus—dan itu bisa saja kulakukan kalau aku mau.

***

Sekarang, taklah lebih dari tiga menit hidup wanita paruh baya itu. Jarang benar kutemui orang sekarat di rumah sakit yang tak ditemani oleh seorang pun, seperti wanita tersebut. Di kamar ini hanya ada aku—sang malaikat kematian dengan sabit pencabut nyawa—serta dirinya yang tergeletak tiada daya di atas kasur. Entah kenapa, wanita paruh baya itu tak asing di mataku.
    Sekonyong-konyong ada yang menghantam samping kepalaku dari belakang, membikinku terjatuh ke lantai, dan sabit pencabut nyawaku tergeletak tak jauh di sampingku.
    “Imran! Laksmi! Lihatlah, malaikat kematian datang!” teriak pria itu, sebatang kayu di tangan kanannya menunjuk tepat ke wajahku.
     Seorang perempuan dan seorang lelaki keluar dari kamar mandi; mata mereka sembap, menandakan bahwa mereka habis menangis, sebagaimana si pria yang menghantam kepalaku dari belakang.
    Aku tertipu oleh mereka … Mendadak aku teringat kenapa wanita paruh baya itu tak asing di mataku, juga pria yang menghantam kepalaku, dan si perempuan dan lelaki yang barusan keluar dari kamar mandi.
  Pria itu menginjak dadaku dengan kaki kanannya dan menghantamkan sebatang kayu itu ke pelipisku. “Kau tidak boleh mencabut nyawa Ibu!”
     “Semua yang sudah waktunya mati haruslah mati,” bantahku, berusaha untuk tetap tenang.
      Lagi-lagi sebatang kayu itu dihantamkannya ke pelipisku. Si lelaki dan perempuan—yang dipanggil “Imran” dan “Laksmi”—itu kini tersedu-sedan. Sementara itu, dari luar kamar, tepatnya dari koridor rumah sakit, kudengar suara langkah kaki yang berderap cepat, mungkin tiga orang, yang mengarah tepat ke kamar ini. Sial …

***

Mulut malaikat kematian itu komat-kamit, entah mantra apa yang sedang dirapalkannya, tidaklah terdengar jelas. Dengan gerakan cepat, kusambar sabit pencabut nyawa yang tergeletak tak jauh darinya dan segera menghunjamkan ujung dari sabit tersebut ke dadanya.
   Laksmi dan Imran sontak menjerit, sebagaimana tiga orang perawat yang baru saja membuka pintu kamar ini.
       Mulut sang malaikat tak lagi komat-kamit.
   “Kalian tidaklah perlu repot-repot lagi untuk merawat orang sakit,” ucapku. “Orang-orang sakit itu tak bakal mati, sebab malaikat kematian telah mati di tanganku.”

***

Jalan di malam kelam itu akan melompong oleh makhluk hidup kalau saja bukan karena keberadaan seorang lelaki yang berjalan amat lambat di pinggir jalan. Senyum terkembang di bibirnya, sebab ia baru saja melakukan sesuatu yang amat membuatnya senang. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengoyak kesunyian kelam malam.
    Menempellah ponsel ia punya di telinganya, sampai ketika seorang preman yang muncul dari sebuah gang sempit berlari ke arahnya dan merebut ponselnya. Lelaki itu sempat melawan, tetapi tak ada lebih dari sepuluh detik, sebab sang preman telah menusuk-nusuk perutnya dengan pisau sebanyak enam kali. Pada tusukan yang ketujuh, pisau itu melubangi lehernya. Preman itu melarikan diri bersama ponsel yang berhasil direbutnya, dan si lelaki terjatuh … namun tak mati.
    Rupa-rupanya hidup abadi tidaklah menyenangkan, meski segelintir orang menginginkannya. Seharusnya aku tak usah membunuh malaikat kematian, sehingga kini, aku yang dijilati luka tusuk, tak akan pernah mengalami kematian, dan akan kesakitan selama-lamanya.




*Catatan:
1) Cerpen ini pernah dimuat di Bali Post, 23 Agustus 2015, dengan judul Matinya Malaikat.
2) Sumber gambar: https://masshar2000.files.wordpress.com/2015/06/wpid-malaikat2bmaut2bkunjungi2bmanusia2bsetiap2b212bmenit2bsekali.jpg

Senin, 11 Januari 2016

Kemunculan KISAH DARI HUTAN





AWAL Januari ini, akhirnya Poetry Prairie Literature Journal #2 telah muncul, dengan tema kisah dari hutan.
          Kalau ada yang bertanya kenapa saya membikin post ini, itu karena satu puisi saya--berjudul Meraba Jejak-jejak Hutan--terselip di dalamnya, dan mendapat reward satu puisi terpilih.
          Untuk membacanya, silakan klik di sini.

Sabtu, 02 Januari 2016

POET OF THE WEEK on the Poetry Super Highway



PUISI di atas adalah satu bagian dari sebuah puisi saya yang terdiri dari tiga bagian. My Family in Three Parts membawa saya memperoleh Poet of the Week dari Poetry Super Highway. Untuk membaca puisi di atas secara lengkap, klik di sini.