Jumat, 03 Mei 2019

MATINYA SUN IE KAI -- Sebuah Cerpen


Visual Gräfenberg
*Sumber Gambar: Pinterest



Sekitar 30 menit lagi aku akan sampai di kediaman Sun Ie Kai. Itu berarti Sun Ie Kai akan mati sekitar 30 menit lagi, dengan darah menodai bilah pedangku ini. Tak ketinggalan menodai tanah. Mungkin pula akan menodai pakaian, wajah, serta rambut putihku yang panjang. Setidaknya, setelah mati, Sun Ie Kai tidak akan menodai dunia ini lagi.
            
Cuaca di gurun pasir yang kulewati ini sungguh panas. Tapi tentu panas yang badanku rasakan taklah sepanas api yang membunuh-hanguskan adik perempuanku, Ming Yu Tai. Tepatnya, tidak sepanas api yang dikobarkan oleh Sun Ie Kai ke tubuh perempuan manis yang sedang bekerja di sebuah kedai itu, yang berkali-kali menolak ajakannya untuk bercinta. Namun, apakah yang lebih panas ketimbang api neraka yang kelak membakar Sun Ie Kai setelah pedangku mencabut nyawanya?
            
Sun Ie Kai tinggal bersama anak-anak buahnya yang berjumlah sembilan orang. Dan, kesemua anak buahnya pandai beradu pedang, meski tentu tak sepandai Sun Ie Kai sendiri. Katanya, anak-anak buahnya itu akan mengeroyok orang-yang-menantang-Sun Ie Kai habis-habisan, bahkan sebelum penantang tersebut sempat mencabut pedang dari sarungnya atau mengeluarkan senjata apa pun dari wadahnya. Tapi aku tidak takut. Aku hanya takut jika Ming Yu Tai tidak tenang di alam sana, sebab orang yang membunuhnya masih berkeliaran dengan santainya di dunia ini.
            
Tak terasa, gubuk kayu tempat Sun Ie Kai tinggal—bersama anak-anak buahnya—sudah terlihat di depan sana. Gubuk tersebut terletak di tepian gurun pasir ini. Dari jarak ini, aku tak mendapati keberadaan siapa pun di sekitaran gubuk itu. Bagaimanapun, aku langsung mencabut pedangku dari sarungnya, sebelum melanjutkan langkah-langkahku yang entah kenapa semakin terasa berat—demi apa pun, jangan kauartikan itu sebagai ketakutan yang menghinggapiku.
            
Cahaya matahari terasa semakin panas. Angin berpasir pun bertiup kencang, membuat rambut putihku yang panjang berkibar seperti bendera.
            
Akhirnya, gubuk kayu itu tinggal beberapa langkah lagi di depanku. Dari sini pun aku tak mendapati keberadaan siapa-siapa di sekitaran. Bahkan, ketika kubuka lebar pintu gubuk itu, tampak ketidakberadaan siapa-siapa di dalam sana.

Apakah Sun Ie Kai dan anak-anak buahnya telah kabur, karena telah menduga bahwa aku akan datang? Apakah mereka takut padaku? Mungkin saja. Namun mungkin pula ini adalah jebakan dari mereka.
            
Sebelum aku masuk, aku memotong engsel-engsel pintu gubuk agar tak ada yang tiba-tiba mengunciku dari luar, dengan maksud menjebakku.

***

Sehabis merampok persediaan makanan di desa terdekat, kami bersembilan kembali berkuda untuk balik ke gubuk. Tiap kuda kami kebagian jatah mengangkut persediaan makanan dengan beban yang sama. Saat sedang kencang-kencangnya kuda kami melaju, tiba-tiba kuda yang kutunggangi terjatuh. Aku dan kudaku pun berguling-guling di pasir, sementara kedelapan kawanku reflek menghentikan laju kuda masing-masing.
            
“Satu-satunya perempuan di kelompok ini, satu-satunya pula yang terjatuh,” cemooh Wong Xie, dan aku segera mendelik padanya sebelum ia melanjutkan cemoohannya itu dengan tawa.
            
Lantas, salah satu dari mereka berdelapan, Yao Sin namanya—ia adalah saudara laki-lakiku—turun dari kuda dan membantuku berdiri. Ketujuh kawanku yang lain lalu turun dari kuda pula untuk membantu kudaku berdiri, tapi kuda itu segera terjatuh-menyamping begitu diberdirikan.
            
“Kudaku sudah menunjukkan tanda-tanda sakit sejak tadi pagi,” akuku.

“Kupikir sebaiknya kalian bertujuh kembali duluan ke gubuk,” sambung Yao Sin. “Barangkali Sun Ie Kai sudah sampai di sana dan menunggu kita dengan kelaparan. Aku akan pergi ke tempat lain untuk mencari dokter hewan buat kuda Mae Yun, sementara Mae Yun tetap di sini untuk menjaga kudanya.”

“Baiklah,” sahut Wong Xie. “Apa perlu kami membawakan persediaan makanan di kuda kalian, heh?”

“Tidak usah,” kata Yao Sin. “Kupikir, bisa saja kami membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengurusi masalah ini, sehingga kami perlu memakan persediaan makanan yang kami bawa.”

Tak lama kemudian, mereka bertujuh telah menghilang di balik cakrawala. Tinggallah aku dan Yao Sin di sini, serta kuda kami masing-masing. Tiba-tiba saja, Yao Sin memelukku erat-erat dan mencium bibirku. Ah, saudaraku ini memang benar-benar tahu bagaimana caranya membuatku bergairah ....

***

Sore ini aku kedatangan seseorang. Katanya, ia membutuhkan pertolonganku karena ada seekor kuda yang “tidak beres” di tengah gurun pasir. Dan, ia memintaku untuk datang menghampiri kuda tersebut, sebelum menanyakan berapa harga yang mesti dibayarnya.
            
“Masalah biaya, nanti saja kita bicarakan,” sahutku. “Omong-omong, siapa namamu, Tuan?”
            
“Aku Yao Sin.”
            
“Baiklah, Tuan Yao Sin, berikan aku waktu untuk menyiapkan obat-obatan yang akan kubawa. Tidak akan lama, karena aku akan dibantu oleh asistenku.” Kemudian aku menoleh ke samping, tepatnya ke arah asistenku yang berdiri membelakangi lemari obat-obatan, dan berkata, “Kau tahu kan apa saja yang kita perlukan untuk menolong kuda malang itu?”
            
Asistenku—yang sudah kudidik sedemikian rupa—pun dengan cepat memilih obat-obatan yang tepat dari dalam lemari, lalu menyerahkannya padaku.

***

Aku tidak menemukan apa pun yang berarti di dalam gubuk kayu ini. Aku hampir merasa tak menemukan alasan untuk tetap di sini, sampai ketika kudengar derap-cepat beberapa ekor kuda dari kejauhan, yang semakin lama semakin dekat. Saat aku mengintip keluar melalui jendela, kulihat anak-anak buah Sun Ie Kai sedang menuju kemari. Tapi entah di mana Sun Ie Kai.
            
Aku menggenggam erat gagang pedangku ....

***

“Masalah biaya, nanti saja kita bicarakan,” sahut si Dokter Hewan. “Omong-omong, siapa namamu, Tuan?”
            
Aku menjawab, “Aku Yao Sin.”
            
“Baiklah, Tuan Yao Sin, berikan aku waktu untuk menyiapkan obat-obatan yang akan kubawa. Tidak akan lama, karena aku akan dibantu oleh asistenku.” Kemudian si Dokter Hewan menoleh ke samping, tepatnya ke arah sebuah lemari yang entah apa isinya, dan berkata, “Kau tahu kan apa saja yang kita perlukan untuk menolong kuda malang itu?” entah kepada siapa. Kepada kekosongankah?
            
Lantas dokter itu melangkah ke lemari tersebut, membukanya, dan dengan cepat memilih obat-obatan yang terdapat di dalam sana. Si Dokter Hewan pun berkata lagi kepada kekosongan, “Terima kasih, asistenku yang cerdas.”

***

Kudaku akhirnya bisa berdiri dengan baik. Si Dokter Hewan pun pergi. Tinggallah aku dan Yao Sin di sini, serta kuda kami masing-masing. Tiba-tiba saja, Yao Sin memelukku erat-erat dan mencium bibirku. Beberapa jenak kemudian, Yao Sin mengajakku bersenggama di titik ini juga, dan aku dengan tegas menolaknya—meski aku yakin bahwa aku akan menikmati persenggamaan itu.

Rupanya Yao Sin tak langsung menyerah; beberapa kali lagi ia memintaku, beberapa kali lagi pula aku menolak ajakannya dengan tegas. Dan ....

***

Tujuh anak buah Sun Ie Kai berhasil kubunuh. Tujuh buah kepala terpisah dari leher masing-masing. Darah mereka menodai pedangku, menodai lantai gubuk yang hanya berupa tanah, dan tak ketinggalan menodai pakaian, wajah, serta rambut putihku yang panjang. Tapi, ya, hanya tujuh anak buah Sun Ie Kai yang kubunuh, karena hanya tujuh anak buahnya yang datang ke gubuk kayu ini. Entah ke manakah perginya dua orang anak buah yang tersisa itu.
            
Tahu-tahu, entah sejak kapan, Sun Ie Kai telah berdiri di ambang pintu gubuk dengan pedang siaga di tangan kanannya. Aku pun tersenyum dingin kepadanya, dan ia membalas dengan tatapan penuh amarah. Segeralah Sun Ie Kai menerjang ke arahku, dan kami bertarung hebat ....

***

Ketika gubuk kayu sudah tampak di hadapan aku dan Yao Sin, kami lihat ketujuh kuda kawan-kawan kami berada di luar gubuk tanpa ditambatkan—tidak seperti biasanya. Tiba-tiba terlihat Sun Ie Kai terlempar keluar dari dalam gubuk, dengan tubuh berlumuran darah. Bahkan, saking banyaknya darah, keseluruhan rambut putihnya yang panjang itu menjadi merah.

Kami reflek mempercepat laju kuda kami untuk menolong Sun Ie Kai. Sementara itu, Sun Ie Kai langsung bangkit, meraih pedangnya yang mendarat tak jauh darinya, dan .... menyabet-nyabetkan pedangnya ke udara kosong.
            
“Tuan, apa yang kau lakukan?!” seru Yao Sin.
            
Sun Ie Kai menoleh ke arah kami, lalu menusukkan pedangnya ke dada kirinya sendiri!

***

Sun Ie Kai tumbang. Yao Sin dan Mae Yun segera memeriksa tubuhnya, mendapatkan kepastian bahwa pemimpin mereka telah mati, sebelum memeriksa bagian dalam gubuk, untuk mencari tahu siapakah yang tadi membuat Sun Ie Kai terlempar dari dalam sana. Namun, tak mereka dapati keberadaan siapa-siapa di dalam gubuk kayu yang adalah markas mereka itu, kecuali mayat ketujuh kawan mereka ....



*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada April 2019.