Jumat, 09 Desember 2022

TUHAN MENJAWAB DARI DALAM LEMARI -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: omong-omong.com



Tuhan menjawab doaku secara langsung, dari dalam lemari pakaian.

Malam itu aku hanya berdoa seperti biasa: bersila di kasur, dan memejam, dan mencakupkan tangan di depan dada. Pendingin ruangan berdecit dengan ritme konstan, bercampur pekik gergaji mesin dan geram ekskavator yang tak beraturan dari belakang gedung apartemenku. Aku baru saja berkata dalam hati, “Ya Tuhan …” dan tiba-tiba terdengar balasan: Aku mendengarmu. Aku refleks membuka mata. Suara itu berupa bisikan, tapi menggema memenuhi kamarku. Tidak ada siapa pun di sini selain aku; semuanya gelap kecuali lemari pakaian itu: cahaya lampu LED dari papan iklan menerobos jendela dan jatuh ke sana, pantulan diriku di bagian cerminnya tampak berkilau. Menghadap lemari itulah selama ini aku berdoa: bukan atas alasan khusus, melainkan sekadar karena kebiasaan; bagaimanapun baru kali ini pantulan diriku sedemikian berkilau. Aku langsung memejam lagi dan, dengan keringat seperti ujung jemari dingin meraba leher sampai punggungku, kurapalkan doa pengusir iblis.

Dan sesungguhnya tak semua manusia siap menerima kehadiran-Ku, balas-Nya, di tengah rapalan doa pengusir iblis; kubuka mata, kutebar pandangan. Sedang dalam setiap doa mereka Aku datang dalam hal-hal teremeh; sedang Aku senantiasa mendengar doa mereka meski tak senantiasa Aku menjawab.

Aku curiga, suara-Nya berasal dari dalam lemari pakaian itu. Lemari yang tubuhnya berbahan cedar, yang bagian cerminnya dipenuhi jejak-jejak stiker—yang di dalamnya kusimpan celana dalam Dara.

Entah buat apa Tuhan hadir dalam lemari pakaian; satu kemungkinan terbesit dalam pikiran, satu kemungkinan yang memanjang menuju kemungkinan lainnya: Apa karena di sana tersimpan celana dalam Dara? Mungkinkah Tuhan hadir di sana karena telah kuturuti satu perintah terberat-Nya, yaitu membunuh manusia homoseks?

Tidak—aku tak pernah benar-benar membunuh Dara. Secara tidak langsung, barangkali iya.

Aku mengenal Dara di kampus sejak semester pertama, dan ialah alasan kenapa aku sering menghabiskan sejam sendiri di toilet kampus. Pada semester ketiga, aku meminjamkan uang untuknya membayar SPP, dan sejak saat itulah hubungan kami begitu dekat: sepasang sahabat, ia berkata begitu, dan aku ingin lebih dari sekadar sahabat. Maka kuperkosa ia kemarin malam. Kujambak rambut merah sebahunya, tanganku hangat berkat keringat dari ubun-ubunnya; kukulum anting salib pada kuping kirinya, rasanya setengik garam yang busuk. Sejauh itu tubuhnya membeku, ia membisu; ia baru memekik sehabis kulepas celana dalamnya, kuendus dalam-dalam kain merah yang lembap tersebut—bau lavender dan koin berkarat menyatu. Sekitar lima menit kemudian, setelah ia mengenakan kembali pakaiannya—kecuali celana dalam yang masih sibuk kukulum, serasa mengisap daging ayam mentah penuh darah—seperti orang gila ia kabur dari apartemenku, menyeberangi jalan, dan tersambar Mercedes merah. Dengan cepat darahnya menggenang di aspal.

“Ya Tuhan, apa kau datang kemari untuk menghukumku? Atau memujiku?”

Bilamana kebaikan belum utuh engkau tunaikan, sesungguhnya belumlah kau layak mendapat puji-Ku. Bilamana kebaikan tak kunjung utuh engkau tunaikan, sesungguhnyalah keragu-raguanmu pada-Ku sedang menyala. Dan, sungguh, hukuman terberat adalah untuk mereka yang ragu-ragu pada tugas dari-Ku.

Apa Ia menganggapku ragu-ragu padanya? Aku tidak ragu sedikit pun pada-Nya—kuyakin begitu—tapi tampaknya tugasku belum selesai di sini. Apa tugasku? Dara sudah mati. Apa aku perlu mengakui perbuatanku?

Sejauh ini tak ada polisi atau siapa pun yang bertanya padaku perihal kematian Dara. Polisi yang menyelidiki kasus ini hanya bertanya pada si Penjaga Apartemen, dan pria itu tak tahu bahwa Dara adalah tamuku. Atau mungkin ia tak peduli? Harusnya ia bisa melihat rekaman CCTV, atau harusnya polisi menyuruhnya memperlihatkan rekaman tersebut: Dara datang sendiri ke sini pada tengah malam; langkahnya mesti tergesa, sebab lewat telepon kukatakan aku hendak bunuh diri.

Atau, mungkin Tuhan bermaksud lain? Mungkin Tuhan sengaja membuatku lolos dari penyelidikan, sehingga tugas suci ini lancar kujalankan. Dan jika memang begitu yang Ia rencanakan, maka aku tak harus mengakui perbuatanku, dan aku harus menumpas tak hanya Dara.

 

***

 

Di kampus, aku hanya bersahabat dengan Dara, namun ia tak hanya bersahabat denganku. Sahabat lainnyalah yang hendak Dara ajak menikah—secara langsung ia mengakui hal itu padaku. Namanya Eva, dan mereka bersahabat sejak kecil. Perempuan itu sering melihat tubuh telanjang Dara di kamar mandi, berhubung dari dulu mereka sering mandi bersamasedang aku tak pernah mendapat kesempatan itu, dan sekalinya kesempatan tersebut datang, tak lama kemudian Dara dihajar Mercedes merah.

Bagaimanapun, aku tak dekat dengan Eva. Kami hanya saling mengenal, dikenalkan oleh Dara tentunya, dan kami hampir tak pernah bepergian bertiga. Hanya ada aku dan Dara, atau Dara dan Eva—dan lebih sering yang kedua. Aku kerap membayangkan, saban Dara menginap di rumah Eva, perempuan itu akan bercerita tentang aku, lelaki murah hati yang meminjamkan uang SPP padanya, dan membuatnya diam-diam jatuh cinta. Eva tak pernah meminjamkan uang, begitu kata Dara padaku. Aku senang luar biasa: minimal ada satu hal yang membuatku lebih unggul ketimbang Eva.

Satu? Tidak, mestinya dua: karena aku lelaki, dan sahabat sebenarnya seorang perempuan adalah seorang suami.

Namun Dara dan Eva tak mengikuti kehendak Tuhan. Di hari ulang tahun Dara, ia mengundangku dan Eva ke apartemennya. Kami bertiga duduk di karpet beludru merah, beludru yang menggelitik sela-sela jemari tanganku; kami melingkari kue ulang tahun penuh krim stroberi, krim yang menyebar aroma gula; kemudian kami menyanyi bersama dan memotong kue dan menempelkan sepotong LSD ke lidah masing-masing—dalam halusinasiku, seluruh warna berubah menjadi negatif. Ketika tersadar, aku tergeletak di lantai yang dingin, belakang kepalaku tersandar di kaki sofa dan berdenyut-denyut, dan tak jauh dariku: Dara dan Eva bercinta di karpet beludru.

Tuhan tak suka manusia homoseks, dan tubuhku terlalu lemas untuk mengambil tindakan tegas.

Harusnya tak perlu ada sepotong LSD di lidahku, atau aku pasti dapat membantu-Nya memisahkan kedua manusia tak beriman tersebut. Sekarang, aku yakin, Tuhan menuntutku membayar utang.

 

***

 

Eva sudah mendengar kabar kematian Dara—begitulah yang ia katakan di seberang telepon. Namun ia tak tahu bahwa apartemen dari mana Dara berlari seperti orang gila adalah apartemenku, dan aku langsung memberitahunya.

“Kami di bawah pengaruh LSD,” kataku. “Aku tak dapat mencegahnya. Omong-omong, ia mengucapkan sesuatu yang penting padaku. Kau harus mendengarnya.

Malam itu juga Eva datang ke apartemenku. Ia melepas jaket kulit hitamnya, meletakkannya di punggung kursi dekat jendela yang terbuka—geraman alat-alat berat masuk lewat sana, dan kupingku berdenging. Di kursi itulah Eva duduk, aroma parfum pria menjulur dari tubuhnya, menjulur sejauh empat petak lantai menuju aku, yang duduk di tepi kasur, menyulut rokok bersamaan dengannya; asbak kuletakkan di lantai di antara kami. Di balik jaket hitamnya Eva memakai tanktop berwarna serupa; di atas payudara kirinya terdapat tato berupa tulisan: Dara. Aku menatap lemari pakaianku, dan dalam hati berkata, “Ya Tuhan, akan kutunaikan tugasku seutuhnya.” Kubayangkan Tuhan tersenyum padaku, meski tak sekali pun wajah-Nya muncul dalam kepalaku.

“Apa yang Dara katakan padamu?” tanya Eva, lalu mengembuskan asap lewat hidungnya; aroma mentolnya mendinginkan lubang hidungku.

Aku ingin sekali sedikit bermain-main dengannya. Sebagai jawaban, aku ingin mendadak berlagak misterius dan membuka lemari dan menunjukkannya celana dalam Dara. Aku ingin melihat ekspresi terkejut Eva. Aku ingin melihat bagaimana rautnya jika jeritan tertahan di kerongkongannya. Pasti menyenangkan. Namun sejak semalam aku tak membuka pintu lemari: Tuhan masih di sana dan ia belum tentu suka kuganggu. Maka sedari pagi tadi aku terus mengenakan pakaian ini, dan mengambil celana dalam Dara dari sana mungkin dapat mengganggu-Nya.

Demi Tuhan, aku tak bisa bermain-main! Bagaimana bisa aku berpikir untuk bermain-main, sementara yang kujalankan kini adalah tugas suci?

“Aku mau minum sebentar,” balasku.

Aku melangkah ke dapur, dengan tungkai gemetar. Rasanya sesulit melangkah dengan egrang yang retak, dan Eva pasti memerhatikanku dari belakang dengan curiga. Aku ingin menoleh ke arahnya, memastikan bagaimana tatapannya; aku tak berani; aku mempercepat langkah menuju dapur—apartemen kecilku sontak memanjang-melebar. Dan begitu melewati birai dapur, napas legaku berembus: dari sini Eva tak bisa melihatku. Kutekan sakelar, yang entah sejak kapan dingin dan membekukan ujung telunjukku. Di rak piring: mata pisau berkilau memantulkan cahaya lampu.

“Eva … boleh tolong tutupkan jendela?” kataku.

Ia tak menjawab. Tapi kudengar jendela ditutup.

Geraman alat-alat berat mereda. Tapi tidak denging dalam kepalaku ....

 

***

 

 “Sekarang, apa yang mesti kulakukan, ya Tuhan?”

Tuhan hanya diam. Aku mengulangi pertanyaanku, dan Tuhan masih diam. Tapi aku tetap tenang: aku masih merasakan betul Tuhan ada di dalam lemari. Dan setelah kupikirkan lebih detail, itulah jawaban Tuhan: diamnya Ia, disertai menghilangnya suara dari sekelilingku. Ia memberiku kesempatan untuk berpikir keras dan mandiri, tentang apa yang harus kulakukan selanjutnya. Mungkinkah aku perlu meletakkan celana dalam Eva di dalam lemari sebagai semacam sesajen, sebagaimana celana dalam Dara?

Ujung jari-jari kakiku menghangat. Aliran darah Eva menyentuhnya. Tergeletak di lantai, puntung rokoknya benar-benar merah sebab menyerap darah. Genangan itu melebar cepat: darahnya mengucur deras dari wajah dan perut dan, terutama, dada kirinya. Pisauku masih menancap di sana, di atas payudara kirinya, secara horizontal membelah tato bertuliskan Dara.

Aku pergi ke dapur, menuangkan obat pel ke ember, dan mengaduk-aduknya dengan pel seraya berpikir: Hadiah apa yang akan Tuhan berikan padaku?

Ketika aku kembali ke kamar, tampak pintu lemari sudah terbuka, mayat Eva melayang seringan kain ke dalam lemari, dan pintu lemari tertutup.

Terima kasih, kata Tuhan-ku.

 

***

 

Sembari mengepel darah Eva, aku membayangkan kemungkinan-kemungkinan hadiah yang akan Tuhan berikan padaku. Di kitab Tuhan berkata bahwa manusia tak boleh mengharapkan imbalan apa pun, tetapi aku tak sanggup menahan diri untuk tak mengharapkan imbalan apa pun.

“Jika kau tak keberatan, ya Tuhan,” kataku, setengah bercanda, “bolehkah aku mendapat cinta sebagai imbalan?”

Tuhan tak berkata-kata.

“Jika aku terdengar memaksa,” sambungku cepat, “kau boleh mengabaikan permintaanku barusan. Aku tidak keberatan, ya Tuhan.”

Tuhan tak berkata-kata. Maka aku lanjut fokus mengepel darah Eva. Sekitar dua jam kemudian, setelah tak tampak bekas darah sama sekali, setelah kubersihkan pelku di kamar mandi, di samping bantal ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari Adam—mantan pacarku.

Aku memicing ke lemari pakaian ....




*) Catatan: Cerpen ini dimuat di omong-omong.com pada 27 November 2022.

Minggu, 27 November 2022

AYAH MENJADI POHON -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Pinterest



Menonton berita pembakaran hutan itu, aku kembali terkenang pada Ayah yang secara menyakitkan berubah menjadi pohon.

Sebenarnya bukan sekali ini saja aku terkenang padanya. Kenangan itu selalu serupa ranting pohon berduri yang membelit kepala, setiap aku melintas di suatu tempat berpohon, atau tanpa sengaja melihat gambar pohon di koran atau majalah atau apa pun. Kenangan itu membuatku membenci pohon, membuatku memilih tinggal di tengah kota yang minim pohon dan terkepung pabrik-pabrik serta asapnya—dan terutama sekali membuatku ingin menebang setiap pohon yang kujumpai, tapi aku tak ingin bernasib serupa Ayah. Maka aku membiarkan diriku tersalib oleh kenangan buruk, dan aku tak kunjung terbiasa oleh kenangan buruk.

Dan berita pembakaran hutan itu membuat kenangan menyerang secara lebih menyakitkan: aku langsung muntah di depan televisi, sebelum kulempar benda itu keluar jendela apartemenku.


***


Pada Minggu pagi kedua di bulan April, waktu aku masih dua belas tahun, di sela jeritan ayam hutan aku mendengar Ayah terbatuk-batuk keras di kamar, seakan di kerongkongannya menyangkut sebilah silet. Aku, dengan ubun-ubun masih berdenyut nyeri akibat hantaman rotan semalam, buru-buru mengambil segelas air dari dapur dan berlari ke kamar Ayah; aku tak ingin ubun-ubunku dihantam sekali lagi, karena kurangnya inisiatifku sebagai anak untuk membantu orang tua. Menghadap cermin, Ayah menganga selebar-lebarnya. Ia terus terbatuk, atau tepatnya membatukkan diri sekeras-kerasnya, sampai ludah terciprat ke permukaan cermin. Ia pun menoleh padaku, dan menunjuk ke dalam mulutnya yang menyimpan deretan gigi kuning kecokelatan dan gusi menghitam. Perlahan aku mendekat, sampai tercium busuk mi kuah santapan semalam: dari kerongkongannya, mencuat tunas tumbuhan entah apa, dengan dua lembar daun selebar kuku telunjukku pada pucuknya.

“Ayah menelan biji?” tanyaku.

Ayah menampar pelipisku, sebelum menyambar gelas air dari tanganku dan menenggaknya. Tapi ia langsung terbatuk—air minum menciprati wajahku. Aku bertanya apa Ayah baik-baik saja, dan ia langsung mengambil pulpen, membuka telapak tanganku, lalu menulis sesuatu di sana: Panggilkan mantri!

Tanpa mengelap wajah, aku berlari keluar rumah, melewati setapak di antara barisan pohon yang cecabang dan daun-daunnya menggelapkan jalurku, lalu pematang sawah yang membelah barisan padi kering di tanah penuh retakan; keringat dari ubun-ubun membasahi wajah dan memerihkan mataku; hingga akhirnya aku menerobos antrean di depan tempat praktik Pak Mantri, antrean orang-orang yang menenteng bebuahan dan sayuran, lantas kepada Pak Mantri, yang sedang menempelkan stetoskop ke dada seorang pria tua, aku menceritakan apa yang terjadi.

Pak Mantri melepas stetoskop dari kupingnya, membisikkan sesuatu pada sang asisten, dan sembari memasukkan sejumlah peralatan ke tas ia berkata padaku, “Kulihat kemarin ayahmu membawa kapak ke hutan.”

Aku mengangguk.

Pak Mantri menutup risleting tas, mata berkantungnya mengarah ke kalender di dinding. “Kemarin bukan hari baik untuk menebang.”


***


Ayah duduk bersandar ke punggung kasur, menganga selebar-lebarnya, dan kepalanya  seperti tengkorak dengan rahang yang patah, sedang Pak Mantri menyorotkan senter ke kerongkongannya. Batuk Ayah sudah mereda: mungkin ia mulai terbiasa dengan sensasi mengganjal di kerongkongannya; mungkin ia mulai sadar membatukkan diri tak akan melontarkan tunas itu keluar.

Aku mengamati mereka dari tempat dudukku di depan cermin; cipratan ludah Ayah telah mengering di permukaan cermin, dikeringkan sorotan sinar matahari dari jendela bergorden rombeng. Jejak ludah yang mengering itu menguarkan bau bangkai kucing membusuk di got. Ya, aku yakin bau itu berasal dari jejak ludah; aku mendekatkan hidung ke permukaan cermin, dan muntahan menjotos pangkal lidahku, dan aku cepat-cepat membuang muka ke arah kasur.

Pak Mantri mengambil pinset dari tasnya dengan satu tangan, sementara tangan satu lagi tetap menyorotkan senter ke kerongkongan Ayah. Lalu, ketika Pak Mantri memasukkan pinset ke mulut Ayah, aku mendekat dan berdiri di sampingnya. Mata pinset menjepit ujung tunas. Ayah menarik napas panjang, Pak Mantri menarik napas panjang, dan aku pun sama—dan Pak Mantri mulai menarik tunas itu. Awalnya Pak Mantri menarik dengan kekuatan untuk mencabut rumput mungil di tanah, dan Ayah mengeluarkan suara kkkhhh! Kemudian Pak Mantri menggunakan kekuatan setara untuk mencabut gigi, dan Ayah terbatuk sekeras-kerasnya; Pak Mantri refleks melepas pinset, darah dan ludah terciprat ke kemeja putihnya.

Dan, yang tak kalah mengejutkan: Ayah langsung meninju leher Pak Mantri hingga ia tumbang. Dan seperti Ibu setelah dulu ditinju Ayah, Pak Mantri pun berlari keluar dari rumah.

Tunas itu tidak tercabut sama sekali.


***


Di lenganku, Ayah menuliskan: Bubur. Aku memasak untuknya; dari depan kompor aku dapat melihat Ayah duduk di ruang makan, ia menuangkan air dari teko ke gelas dengan tangan gemetar, dan minum perlahan-lahan. Percobaan pertama: ia terbatuk dan air terciprat. Ia menyeka meja dengan lengannya, sebelum melakukan percobaan kedua: ia minum lebih perlahan-lahan, dan kali ini berhasil. Aku menarik napas lega.

Untuk sesaat, aku bisa fokus ke wajan, mengaduk-aduk nasi yang semakin mengencer, dengan uap menghangatkan wajah. Sampai tiba-tiba, Ayah menjerit keras, ia terjungkal dari kursi, dan memegangi leher sendiri—batuknya semakin menjadi-jadi! Aku mematikan kompor. Mata Ayah membelalak padaku, seperti mayat hidup yang mengancam. Ia memekikkan maikhhh! beberapa kali, sampai aku tersadar maksudnya mantri, dan aku kembali berlari keluar.

Aku kembali menerobos antrean di depan tempat praktik Pak Mantri; mantri itu sedang menyuntik paha seorang wanita yang berbaring menyamping di ranjang, yang ujung dasternya terangkat sampai ke pinggang. Aku pun menjelaskan dengan kalimat terputus-putus apa yang tadi terjadi, dan Pak Mantri, setelah menurunkan ujung daster sang pasien, membalas, “Itu pekerjaan dukun, Nak.”


***


Ayah tak pernah percaya dukun sejak Ibu keguguran saat mengandung adikku—dan Ayah sempat meninju leher sang dukun. Maka aku langsung pulang dengan kaki selemas lidi; ubun-ubun dan pundakku basah: hujan sebenarnya cukup deras, tapi hanya terasa bagai gerimis, sebab terlalu banyak rintiknya tertahan oleh cecabang dan daun-daun lebat di atasku.

Ketika aku sampai di rumah, Ayah telah duduk dengan lebih tenang di meja makan. Ia mengisyaratkanku untuk melihat ke dalam mulutnya. Sial: tunas itu sudah bertumbuh. Kini tunas lebih panjang dan lebih lebar seujung kuku, daunnya berjumlah empat lembar. Apa tunas itu bertumbuh karena Ayah barusan minum? Entahlah. Lebih buruk lagi: mulut Ayah berbau bangkai kucing membusuk di got. Lebih buruk dari bau mulut Ayah beberapa jam lalu; bahkan bau bangkai ini lebih terkutuk ketimbang bau jejak ludahnya di cermin. Dan, karena tak ingin Ayah mengamuk, aku berkata, “Tampak baik-baik saja, Yah,” dan lanjut memasak bubur. Ketukan hujan di atap asbes jauh mereda.


***


Horor sebenarnya terjadi setelah bubur hampir matang. Air di bak mandi habis. Aku hendak ke sumur di belakang rumah sembari menunggu bubur matang, tapi Ayah memberi isyarat agar aku tetap fokus memasak, dan ia keluar. Tersisa gerimis di luar, dan gerimis membuatku cukup takut; aku membayangkan tiba-tiba tunas itu bertumbuh semakin besar di tubuh Ayah. Aku mematikan kompor dan diam-diam mengikuti Ayah ke sumur, dengan langkah-langkah pelan karena tanah yang licin.

Tampaknya Ayah baik-baik saja: ia menurunkan ember ke sumur, katrol berkarat itu berdecit-decit, dan tak ada tanda-tanda Ayah akan mendadak menjerit.

Aku hanya terlalu cemas. Sebelumnya, tunas itu bertumbuh karena Ayah minum—mungkin. Ayah tidak meminum gerimis, dan harusnya rasa cemas kusimpan untuk sarapan nanti, saat ia menelan bubur dan air. Aku pun kembali ke dapur, menyalakan kompor, dan mematangkan bubur.

Dan, di antara kuak kawanan kodok, terdengar sesuatu yang berat tercebur ke sumur!

Aku berlari ke halaman belakang, terpeleset jatuh hingga kerikil-kerikil tajam merobek telapak tangan serta lututku. Ayah tak tampak di mana pun. Katrol telah menghilang dari atas sumur. Dan ada yang ber-glubug. Aku berlari ke tepi sumur. Ember mengambang di bawah sana. Wajah Ayah muncul dari permukaan air. Matanya nyalang. Ia berusaha memanjat dengan merentangkan kedua tangan ke dinding sumur berlumut, di mana kawanan kecoak berlarian. Dan, ia menganga, daun-daun telah memenuhi mulutnya.

“Ayah!” pekikku.

Ayah terus memanjat, dan tangannya terpelest—ia tercebur, tenggelam, permukaan air ber-glubug. Entah berapa banyak air yang ia telan.

Ketika wajah Ayah muncul lagi ke permukaan, daun-daun dari mulutnya melebat, bahkan telah keluar dari mulutnya. Mulut Ayah menganga lebih lebar dari sebelumnya, tunas telah menjadi batang setebal pergelangan tanganku, rahang Ayah akan segera patah.

Hujan menderas.

Ayah kembali memanjat. Dan, perlahan-lahan, dari balik kulit leher dan lengannya, mencuat sesuatu yang cokelat dan selebar kelingking dan runcing. Akar. Akar terus mencuat memanjang dan merobek kulitnya semakin lebar dan kucur darah memerahkan air sumur. Ayah memekik. Darah mengucur dari kulit pipinya yang robek karena bukaan rahang melebar, dari lubang hidungnya yang melebar, dari matanya yang membelalak semakin lebar dan memerah dan seolah akan pecah—sebelum daun-daun berlapis darah keluar dari setiap lubang di wajah, termasuk dari sela kelopak mata. Terakhir, ujung-ujung akar selebar leher merobek perutnya dari dalam, membuat ususnya menjuntai—dan tangan Ayah terpeleset, byur!

Dan aku pingsan ....


***


Ketika aku siuman, langit merah dan matahari sudah di barat. Aku tergeletak telungkup dan kulepehkan tanah basah dari mulutku. Sekujur tubuhku basah. Aku menggigil. Dan, dari mulut sumur itu, telah menjulang sebatang pohon lebat, setinggi dua kali rumahku. Burung-burung gagak bertengger di cabangnya. 



*) Cerpen ini merupakan juara II di Sayembara Cerpen Media Indonesia 2022, dan dimuat di Media Indonesia pada Minggu, 27 November 2022.

Jumat, 18 November 2022

BOM DAN BAPAK -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Wiradinata



Aku sedang bermain Crash Bandicoot di PS ketika Ibu mengatakan: Bapak kena bom. Ibu pernah bilang kita tidak boleh menangis jika sudah besar—tapi Ibu menangis ketika mengatakan Bapak kena bom. Ibu mirip karakter sebuah gim petualangan ketika nyawanya hampir melayang: pucat dan bungkuk dan matanya basah.

Tunggu dulu … Bapak kena bom, katanya?

“Apa Bapak melayang seperti malaikat?” tanyaku. Crash Bandicoot akan melayang arwahnya jika terkena bom: tubuh-putih-kebiruan akan terbang keluar dari tubuh aslinya; tubuh-putih-kebiruan itu bersayap persis malaikat. Mungkin Bapak juga begitu.

Dan Ibu menggeleng. Ia menyuruhku bersiap-siap ke rumah sakit dan mematikan PS, lalu ia memasuki kamarnya dan aku lanjut bermain PS. Level ini mestinya selesai sebentar lagi. Tetanggaku berada di level yang lebih jauh dan aku tak boleh tertinggal—aku pernah kalah balap sepeda dengannya dan aku tak akan kalah di Crash Bandicoot.


***


Kemarin Minggu aku menonton Scooby-Doo di TV, dan selagi menonton Ibu bersila di lantai, memotong kuku kakiku. Sesekali Ibu menoleh ke TV tiap aku tertawa, dan aku ingin Ibu menyukai tontonanku, sehingga aku sering tertawa saat tak ada yang lucu. Akhirnya Ibu ikut tertawa saat Scooby si Pengecut dengan keras menarik sehelai perban di tubuh mumi gentayangan, dan tubuh mumi itu berputar kencang seperti gasing seiring lepasnya perban, dan terbongkarlah siapa penjahat yang menyamar jadi mumi tersebut.

“Bapak sekarang seperti mumi,” kata Ibu di taksi. Suaranya persis tetanggaku tiap habis menangis. Mungkin bagi Ibu mumi hanya lucu kemarin Minggu, dan hari ini mumi tak lagi lucu.

Selain menonton kartun dan bermain gim PS, aku juga suka menonton sinetron tiap malam. Aku merasa memasuki dunia sinetron saat tiba di rumah sakit: seorang perempuan tua menangis di depan pintu rumah sakit dan berteriak, “Anakku! Anakku!” Hanya orang dewasa di sinetron yang sering menangis—di dunia nyata mereka tak pernah menangis, kecuali Ibu dan perempuan tua itu. Ibu terus menggandengku hingga akhirnya kami berbelok ke sebuah kebun, yang menghadap deretan jendela lebar. Di kebun itu orang-orang dewasa yang menangis berkumpul, sedang anak-anak seusiaku bersikap biasa-biasa saja atau justru berlari-lari sambil tertawa. Mungkin rumah sakit adalah dunia yang ajaib: anak-anak tak lagi cengeng; orang dewasa tak lagi kuat.

Oh, ada juga pria pembawa berita di TV: ia berbicara sambil memegang mik, ia berbicara menghadap pria lain yang mengarahkan benda besar padanya seperti bazoka. Biasanya di gim aku akan berlari jika ditodongi bazoka, tapi pria itu tetap di tempat dan terus bicara.

Ibu menggandengku ke hadapan satu jendela besar. Astaga. Aneh sekali. Kupikir ada banyak jendela berarti ada banyak ruangan. Ternyata hanya ada satu ruangan yang luas, dengan banyak jendela berderet menghadap kebun—kenapa mesti ada sebanyak itu jendela?—dan ada banyak tempat tidur tempat para mumi berbaring!

“Scooby pasti akan ketakutan di sini, Bu!”

“Itu Bapak,” kata Ibu, menunjuk ke dalam ruangan.

Aku tak tahu mumi mana tepatnya yang ia tunjuk—terlalu banyak mumi serupa. Dan untuk apa pula Bapak menjadi mumi? Bapak tak suka Scooby-Doo: ia sering merebut remote TV dariku dan mengganti Scooby-Doo dengan berita atau pertandingan sepak bola—tapi kenapa sekarang ia menjadi mumi seperti penjahat di Scooby-Doo?

“Lihat, yang itu,” kata Ibu lagi, dengan senyum aneh, senyum disertai mata orang menangis. “Lambaikan tanganmu, ayo.”

Aku menurut. Para perawat di sekeliling para mumi menoleh padaku dan tersenyum. Tapi aku tetap tak menemukan Bapak.

“Bapak tersenyum, lihat ….”

Aku tetap tak melihat Bapak ….


***


Esok dan esok dan esoknya, terus-menerus Ibu mengajakku ke rumah sakit, ke kebun yang menghadap jendela kamar para mumi, dari hari masih terang sampai malam tiba. Aku sering merengek karena bosan, dan Ibu meminjamiku ponselnya, di sanalah aku bermain Snake terus-menerus—memang tak seseru Crash Bandicoot, tapi aku suka Snake—dan aku hampir tak pernah berdiri dari bangku kebun, sementara Ibu terus berdiri menghadap jendela, sesekali ia melambaikan tangannya padaku, dan aku tak peduli.

Suatu kali si Pembawa Berita menghampiriku, bersama temannya yang memegang bazoka. Si Pembawa Berita mengajakku berkenalan, dan sejenak aku berhenti bermain Snake.

“Kau mau masuk TV?” tanyanya kemudian.

Masuk TV? Luar biasa! Aku mengangguk.

“Kau bisa terlihat sedih?”

Aku mengangguk lagi. Tapi aku tak tahu kenapa aku harus bisa terlihat sedih. Orang dewasa seperti Ibu dan Bapak tak suka melihatku sedih.

Si Pembawa Berita lalu menanyakan nama serta umurku, dan aku tentu menjawab jujur.

“Dan jika saya bertanya, ‘Siapa keluargamu yang menjadi korban bom?’ kau menjawab …?”

Aku berpikir sejenak. “Bapak …?”

“Bagus. Jika saya bertanya, ‘Bagaimana perasaanmu sekarang?’ kau harus menjawab …?”

“Eee … bosan? Aku bosan. Sekarang hari Minggu, dan harusnya aku bisa menonton banyak film kartun atau bermain Crash Bandicoot di PS.”

Si Pembawa Berita dan si Pembawa Bazoka langsung bertukar tatapan. Mereka seperti berbicara tanpa suara. Kerutan-kerutan di wajah mereka berubah-ubah cepat. Si Pembawa Berita pun mengedikkan bahu dan berkata padaku, “Baiklah, terima kasih untuk waktumu.”

“Omong-omong,” kataku, “apa di TV aku bisa bertemu Scooby-Doo?”

“Scooby-Doo? Tidak.” Ia terbatuk sejenak. “Semoga bapakmu cepat sembuh.”

Mereka pun pergi dariku, dan tak lama segera mendekati anak yang lain.


***


Sekali waktu aku bermimpi Scooby bermain ke rumahku. Mimpi itu tak akan terwujud sekarang: Bapak pulang dalam keadaan seperti setengah-mumi, dan Scooby mesti takut padanya. Aku bilang setengah-mumi, sebab wajahnya tak diperban—tampak luka-luka berbentuk aneh di sana, seperti lumut hitam kemerah-merahan—tidak sebagaimana tubuhnya dari leher ke bawah.

Dan aku lebih menyukai Bapak setelah ia pulang dari rumah sakit: ia tak banyak bicara, ia tak lagi menggangguku ketika bermain gim PS, dengan tiba-tiba menyambar remote dan mengganti gimku dengan berita atau pertandingan sepak bola. Kini Bapak hanya duduk dan diam seraya menontoniku bermain Crash Bandicoot, sementara Ibu mengoleskan sesuatu ke luka-luka di wajahnya, lalu turun ke leher dan dada dan terus ke bawah setelah melepas perbannya—sebelum memasangnya kembali.

“Bapak, lihat!” kataku. “Aku bisa membuat Crash Bandicoot bunuh diri dengan bom.”

Aku pun membuat Crash Bandicoot melompat ke atas kotak merah bertuliskan TNT. Bapak menoleh ke TV. Bunyi tet menandakan TNT akan meledak. Tet ketiga: duar!!! Arwah Crash Bandicoot langsung melayang ke langit. Aku terkekeh. Tatapan Bapak tertuju padaku.

Dan hening.

Ibu juga menatapku. Tatapannya seolah-olah aku habis berbuat nakal, semisal melempar kepala tetangga dengan batu.

Aku menatap Bapak; Bapak menatapku marah: seolah-olah ia ingin memukul pantatku dengan sapu—Apa aku telah berbuat nakal? Dan mata Bapak berair. Memerah. Ia menarik-mengeluarkan napas sekencang banteng bersiap menyeruduk. Ibu mengelus-elus punggungnya. Dan bibir Bapak bergetar. Aku tidak berbuat nakal—Kenapa orang-orang begitu aneh?—tiba-tiba Bapak berdiri cepat dan membanting PS-ku!

Ibu menjerit ….

Bapak memasuki kamar. Ibu menangis seperti bayi yang dibuat kaget. Semut-semut memenuhi layar TV dan mendesis. Kulit sofa yang kududuki mendadak dingin. Dan PS-ku … hancur seperti terkena bom ….

Aku benci Bapak! 


*) Catatan: Mengenang bom Bali I, dan Bapak yang terluka karenanya.

**) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada 30 Oktober 2022.

LELAKI BERNAMA ANJING -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: omong-omong.com




Anjing: demikian nama lelaki itu—aku serius. Sang ibu yang konon memberinya nama begitu. Seminggu sebelum melahirkan, di sebuah gang sepi kira-kira pukul sepuluh malam, seorang pemalak menempelkan golok ke leher wanita itu, dan seekor anjing liar, yang muncul entah dari mana, mendadak menanamkan gigi-geliginya di selangkangan si pemalak. Kutebak nama Anjing merupakan doa agar sang anak kelak menjadi penyelamat bagi ibunya, atau bagi orang lain—yang jelas wanita itu tak pandai dalam urusan berdoa.

Aku tak pernah bertemu langsung dengan si Anjing; aku tak pernah berkenalan dengannya. Tapi, di beberapa kesempatan, aku pernah bertemu beberapa orang yang sempat berurusan dengannya. Dan jelas berurusan dengan si Anjing sama sekali tak menyenangkan: semua orang yang pernah bertemu dengannya memiliki bekas luka gigitan, entah di pundak atau lengan atau leher, bahkan di daerah yang tak ingin mereka tunjukkan pada siapapun. Untung aku tak pernah bertemu langsung dengan si Anjing.

Molly: dari gadis itu aku pertama kali mendengar tentang si Anjing. Kami pertama bertemu di kafe X, seminggu setelah rutin bertukar pesan di Tinder. Ketika ia mengajakku ke apartemennya dan dia melepas sweter merahnya dan atasan lainnya, terlihat bekas luka gigitan pada pundak kirinya. Aku segera bertanya soal penyebab luka tersebut, dan Molly mulai bercerita padaku.

Molly pernah sekelas dengan si Anjing di SMA, sebelum lelaki yang duduk di bangku tersudut itu ditendang dari sekolah. Di hari pertama sekolah, para murid memperkenalkan nama satu per satu di depan kelas; murid di bangku terdepan mendapat giliran pertama, namun lelaki yang mendapat giliran terakhir itu tak kunjung berdiri dari bangku setelah teman sebangkunya kembali dari depan kelas. Molly dan semua murid menoleh padanya: si Anjing menunduk-diam seakan tak sadar dirinya sedang berada di kelas. Ia baru bergerak ketika Pak Guru berdehem keras; ia seperti melangkah di atas kaca tipis transparan dan awan-awan terlihat di baliknya. Sementara si Anjing bergerak lamban, Pak Guru terus mengernyit menatap daftar kehadiran. Dan ketika lelaki itu sampai di depan kelas, ia berkata: “Halo. Nama saya Anji.”

“Kenapa di sini kau bernama Anjing?” sahut Pak Guru, sembari melihat kembali daftar kehadiran di tangannya.

Molly pun iseng menjulurkan lidah dan bernapas kencang lewat mulutnya, dan seisi kelas terbahak-bahak. Gadis itu tak pernah membayangkan gigi-gigi si Anjing menancap pada pundak kirinya beberapa jam kemudian.

“Omong-omong,” kata Molly, sembari melepas ikat pinggangnya, “hari pertama kami sekolah adalah hari terakhir si Anjing ada di sekolah.”

Di mata pelajaran terakhir, setelah kira-kira enam jam si Anjing menerima ejekan tanpa henti karena namanya, ia mulai bersikap seperti anjing betulan. Molly sedang mencatat rumus phytagoras di buku tulisnya ketika tahu-tahu si Anjing menggigit pundak kirinya: gigi-gigi itu menembus seragam, dan Molly memekik, dan si Anjing pasti akan menggigit para pengejek lainnya jika saja para murid tak segera meringkusnya.

Cerita Molly tentang si Anjing berhenti sampai di situ. Ia ingin berdansa dan aku menurut dan kami tahu-tahu sudah berciuman dan sekitar satu jam kemudian aku meminjam kamar mandinya. Aku kembali bertanya soal si Anjing begitu keluar dari kamar mandi, tapi Molly mengaku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, kecuali lelaki itu dikeluarkan dari sekolah hari itu juga.

Aku tiba-tiba jadi terobsesi untuk mengorek lebih jauh cerita tentang si Anjing. Rencananya akan kutanyakan lebih jauh pada Molly—kami berjanji untuk bertemu lagi minggu depan—namun tak pernah ada pertemuan kedua. Tahu-tahu saja Molly memblokir seluruh kontakku enam hari sejak pertemuan pertama kami, dan aku jadi terlalu malas untuk menghampiri apartemennya.

Setelah tak memikirkan lagi kisah si Anjing, tiba-tiba aku bertemu seorang lain yang pernah bertemu dengannya, dua hari setelah Molly memblokirku, di kereta bawah tanah. Gerbong begitu sesak dan penuh getaran, rasanya aku dan para penumpang akan tinggal remah-remah begitu kereta berhenti, ketika seorang wanita di depanku mendadak berbalik dan berteriak padaku, “dasar cabul!”

Seisi gerbong sontak hening, hanya tersisa bunyi gesekan roda dengan rel, dan dipandangi banyak orang dalam kesesakan begini sama sekali tak menyenangkan. Mendadak pria di samping wanita itu menjotos wajahku. Aku tumbang dan seseorang di belakang menangkap tubuhku, dan seseorang yang sama melepasku hingga belakang kepalaku menghantam lantai gerbong. Si Pria Penjotos menahan perutku dengan sebelah lututnya, ususku terasa akan terlontar lewat mulut, dan seperti karakter lelaki pencemburu dalam sinetron ia berkata, “jangan sentuh pacarku!” lalu ia mencekik batang leherku. Di momen itulah aku menyadari bekas luka gigitan pada lengan bawahnya. Maka aku berkata, “si Anjing!” dan pria itu membelalak, cekikannya sedikit melonggar, oksigen berebut masuk lewat batang leherku, dan aku lanjut berkata, “kau kenal si Anjing?”

“Kau kenal si Anjing?” ia membeo. “A-aku… ia pernah menggigitku!”

Si Pria Penjotos adalah mantan polisi—ia bilang begitu setelah kereta berhenti, dan ia mengajakku duduk di Starbuck dalam stasiun. Si Pria Penjotos berpisah dengan pacarnya di stasiun itu, sang wanita bersalaman denganku dan kami saling meminta maaf setelah kujelaskan aku tak pernah meremas bokongnya. Si Pria Penjotos mentraktirku Caramel Macchiato sebagai permintaan maaf, dan selagi menunggu kopi ia mulai bercerita tentang si Anjing.

Ia pertama bertemu si Anjing setelah mendapat laporan tentang kasus penggigitan brutal di sebuah sekolah, dan ia ditugaskan menghampiri rumah si Anjing. Sang ibu membukakan pintu untuknya, tatapan wanita itu adalah tatapan seseorang yang seolah sedang menghadapi malaikat maut sendirian. Si Anjing sedang telentang di kasur dan tatapan kosongnya menembak langit-langit kamar. Persis filsuf yang sedang merenungkan akhir dunia. Wajahnya penuh lebam, dan darah masih basah di kerah bajunya. Si Mantan Polisi pun berjongkok di samping kasur si Anjing yang tanpa ranjang, lalu bertanya bagaimana kabarnya.

“Dia tak sekali pun menjawab pertanyaanku,” jelas si Mantan Polisi. “Dan itulah awal mula aku diceraikan mantan istriku.”

Karena tujuh pertanyaan berturut-turut tak dijawab oleh si Anjing, si Mantan Polisi bertanya pada sang ibu yang berdiri di depan pintu kamar, “apa aku boleh membawa anakmu ke kantor?”

Sang ibu langsung menangis—tak mengangguk ataupun menggeleng. Si Mantan Polisi lalu menyelipkan tangan kanannya ke bawah leher si Anjing. Ia hanya bercita-cita membuat si Anjing duduk, dan membantunya berdiri, dan merangkulnya ke kantor polisi—tetapi si Anjing adalah anak yang penuh kejutan: tahu-tahu ia menggigit lengan kanan si Mantan Polisi. Pria itu refleks meninju-ninju wajah si Anjing dengan tinju kirinya, refleks itu tetap bekerja bahkan hingga si Anjing pingsan dan melepas gigitan.

Si Anjing diangkut menuju ambulans dan Atasan si Mantan Polisi datang ke TKP khusus untuk memecatnya. Esoknya ia digugat cerai oleh mantan istrinya—ia menangis tepat ketika pelayan Starbuck memanggil namanya dari balik meja kasir: Caramel Macchiato dan Americano telah disiapkan. Aku bingung antara harus mengambil kedua kopi itu atau menunggunya selesai menangis.

“Mau kopi?” tanyaku.

Ia terlalu sibuk menangis, dan aku mengambil kedua kopi itu. Satu kudekatkan padanya. Barangkali menenggak kopi dapat menenangkannya—tetapi pria yang menangis itu tampaknya tak pernah ingin menenggak kopi. Ia menangis selama kira-kira tiga puluh menit: aku terus berpikir tentang film macam apakah yang bisa kubuat dari kisah si Anjing—entah fiksi atau dokumenter; entah film panjang atau pendek atau serial. Dan ketika ia selesai menangis, Caramel Macchiato-ku keburu habis, dan ia berkata, “aku ingin pulang saja.”

Aku menahan lengannya ketika ia berdiri. Aku tak bisa memaksanya lanjut bercerita, tentu saja, jadi kumintai ia alamat rumah si Anjing. Aku butuh kisah si Anjing lebih jauh. Tapi tentu aku tak mengatakan itu padanya ketika ia bertanya untuk apa. Aku hanya bilang, “setelah si Anjing menggigitku, aku memukul wajah ibunya. Aku harus meminta maaf.”


***


Dan aku benar-benar ke rumah si Anjing. Di dalam tasku, kamera dan perekam suara telah bersiap merekam sesuatu yang hebat. Tanganku telah bersiap memegang dinginnya piala di panggung besar. Dari sebuah jalan besar aku berbelok ke Gang Kucing, yang dipenuhi kecoak berebut keluar dari jeruji selokan, lalu aku berbelok ke gang lain dengan nama binatang lain, dan begitu seterusnya, semua gang di sini menggunakan nama binatang.

Sekali aku berhenti dan bertanya tentang arah rumah si Anjing pada wanita tambun berpipi serupa skrotum yang kering. Wanita yang sedang sibuk menghajar kecoak-kecoak di dinding gang berlumut dengan sapu lidi itu berbalik padaku, dengan tatapan seolah aku bertanya jalan mana yang menuju neraka, dan ia menunjuk satu arah serta bercerita tentang kesintingan si Anjing: suatu malam lelaki itu, sepulangnya dari rumah sakit sehabis dihajar si Mantan Polisi, merangkak sendiri melewati rumah sang wanita tambun, dan ia langsung mengusirnya, dan si Anjing langsung menggigitnya. Bekas luka gigitan itu berada di area yang tak ingin ia tunjukkan. Lalu ia menunjuk ke lain arah, ke gang di mana ibunya si Anjing dihampiri pemalak dan diselamatkan seekor anjing. Di gang itu sekarang kulihat seekor anjing tergeletak di tengah jalan, kejang-kejang dengan perut sobek dan jejak ban motor berupa darah memanjang dari tubuhnya—tak ada yang peduli padanya. Kemudian aku mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalananku.

Aku menemukan rumah si Anjing. Pintu depan rumah itu terbuka sedikit, suara pembaca berita di TV menyeruak dari celah pintu, dan aku mengetuk pintu itu. Rumah itu tampak membosankan: tak bertingkat dan berdinding hijau penuh retak dan berbau ikan asin. Ibu si Anjing pasti habis menggoreng ikan asin. Dan ia tak kunjung menyambutku. Maka aku sengaja sedikit menendang pintu dengan ujung kakiku, dan pintu terayun lebih lebar, dan di sanalah terjawab kenapa aku tak kunjung disambut: seorang wanita terkapar di lantai, lehernya koyak, genangan darah pelan-pelan merambat menuju pintu.

Aku tak melihat si Anjing di rumahnya. Aku juga sudah tak terobsesi melihat si Anjing. Entah ia kabur setelah apa-yang-terjadi-pada-ibunya, atau ia sembunyi di dalam rumah. Aku tak ingin tahu.

Pintu rumah para tetangga tertutup. Itu hari yang sepi. Angin tiba-tiba melesat mengentakkan daun pintu rumah si Anjing ke dinding, aku sedikit terlonjak dan langsung menggigil. Aku menutup pintu itu pelan-pelan, seperti maling yang hendak pamit, dan aku segera pulang.

Si Wanita Pemukul Kecoak sudah tak terlihat; dinding gang penuh tubuh kecoak yang hancur; kecoak-kecoak lain merayap dari selokan dan mengelilingi mayat saudara-saudara mereka. Dari titik ini, terlihat anjing sekarat di gang sebelah sana semakin lemah kejangnya—dan seperti tadi: tak ada yang peduli padanya. Aku berjongkok di sampingnya; putih matanya; aku ingin mencekik batang lehernya—kasihan ia.




*) Cerpen ini dimuat di omong-omong.com pada 23 Oktober 2022.

Jumat, 14 Oktober 2022

NERAKA PARA PENULIS FIKSI -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Pinterest


Sebelum terlalu terlambat, sebelum kau keburu bercita-cita menjadi penulis fiksi, kuberi tahu satu hal: ada tempat khusus bagi para penulis fiksi di neraka. Semakin baik fiksi yang ditulis seorang penulis, semakin berat hukuman yang didapatkannya—begitupun sebaliknya: jika fiksinya buruk, hukumannya akan kurang berat, bahkan bisa jadi ia dihina dengan ditendang ke surga. Sudah cukup jelas: janganlah jadi penulis fiksi; jadilah sesuatu yang lebih berguna, semisal polisi atau pelacur atau presiden atau pembunuh bayaran. Agar argumenku lebih meyakinkan lagi, mari, kuperkenalkan kau pada Fixo.

***

Fixo, 25 tahun, mati karena terjatuh dari tangga indekos, dalam keadaan jomblo dan perjaka, tak lama setelah ia menulis paragraf penutup untuk draf pertama manuskrip novel terbarunya. Semasa hidup Fixo telah menerbitkan tiga novel; novel ketiganya mendapat penghargaan sastra nasional, beberapa kritikus sekitar menganggapnya inovatif dalam menggambarkan keadaan psikologis seorang remaja di bawah kaki negara yang otoriter.

Apa yang tubuh Fixo alami adalah terguling-guling di tangga sebelum mendarat di lantai dengan wajah terlebih dahulu. Namun apa yang arwahnya alami adalah, selepas terguling dari tangga, lanjut meluncur menembus lantai, menuju kedalaman yang selama beberapa saat tampaknya tak berdasar, membuat arwah Fixo menjerit sejadi-jadinya, dan tiba-tiba ia mendarat di kursi empuk dalam sebuah studio bioskop, dalam posisi duduk yang baik, seolah-olah ia bersiap menikmati satu hari libur menyenangkan.

Aku serius: kursi bioskop. Di kiri-kanan serta depan-belakang telah mendarat lebih dulu para penulis fiksi lainnya. Aroma brondong jagung tercium dari seluruh penjuru. Terdengar menyenangkan? Di sinilah hukuman pertama dimulai: pada layar lebar, mereka harus menonton hukuman yang dijalani beberapa penulis fiksi pendahulu mereka, hukuman berdasar konflik apa yang penulis-penulis itu jatuhkan ke protagonis di fiksi mereka.

Para penulis terbaik adalah para penulis terjahat: mereka sangat tahu cara menjerumuskan protagonis ke dalam konflik; mereka sangat tahu bagaimana cara membuat konflik seberat-beratnya, tanpa bisa ditolak oleh sang protagonis. Itulah kenapa ada hukuman khusus penulis fiksi di neraka, dan beruntunglah para penulis fiksi yang buruk: mereka tak tahu cara menciptakan konflik yang kuat, protagonis mereka tak seberapa menderita, dan besar kemungkinan mereka lebih cocok di surga.

Tayangan pertama yang muncul di layar: seorang lelaki tua sendiri di tengah laut, di atas perahu kayu. Ia sedang mengikat seekor ikan marlin besar ke tubuh perahu, ikan marlin yang setara perahu itu sendiri, dan sirip-sirip hiu terlihat mendekat, mengitari perahu si Lelaki Tua yang mulai panik. Gambar diambil dari sudut yang tinggi, seolah dari CCTV yang melayang di udara. Fixo segera mengenali si Lelaki Tua: Ernest Hemingway. Napasnya tertahan—begitupun napas para penulis lainnya. Ia menyukai Hemingway, dan karena Lelaki Tua dan Laut-lah ia mulai belajar menulis, dan sekarang ia melihat penulis itu dihukum di neraka, neraka yang Hemingway ciptakan sendiri untuk protagonisnya. Hemingway mengambil sebatang harpun dan menusuk-nusuk permukaan laut, tapi hiu-hiu tak kunjung pergi. Seekor hiu mulai menancapkan gigi-geligi ke tubuh marlin raksasa, Hemingway mengarahkan mata harpun ke mata hiu tersebut—tiba-tiba seekor hiu lain melompat dan menerkam Hemingway ke laut.

Fixo dan para penulis lain menjerit ketakutan—laut segera memerah. Fixo ingin muntah. Fixo ingin berlari keluar studio dan mencari toilet. Tapi ia tak bisa berdiri: entah sejak kapan sebatang besi membelitkan dirinya ke kursi. Para penulis lain di kiri-kanannya pun sama: mereka baru menyadari keberadaan sebatang besi itu; mereka meronta-ronta dan tetap tak bisa melepaskan diri; semakin Fixo memberontak, besi itu semakin panas dan melelehkan kulitnya. Para hiu tak lagi peduli pada marlin raksasa; mereka memperebutkan tubuh Hemingway. Fixo muntah ke pangkuannya sendiri. Para penulis lain pun sama. Dan jeritan-jeritan memekakkan kupingnya. Fixo ingin menutup telinga tapi tangannya tertahan belitan besi. Dan semakin ia berusaha memejam, semakin lebar terbuka kelopak matanya; semakin ia berusaha menunduk, semakin kaku batang lehernya; maka ia terus melihat Hemingway terkoyak gigi-geligi para hiu.

Dan tayangan segera berganti:

Seorang pria sedang tidur telentang sendiri di kamarnya. Mendadak bagian-bagian tubuhnya berubah satu per satu: tubuhnya membulat-mengeras, tangan dan kakinya memanjang serta meruncing ujungnya seperti mata tombak, lalu tumbuh sepasang lagi tombak serupa dari kedua sisi samping perutnya, dan sepasang antena mencuat dari pelipisnya, dan tumbuh yang lain-lainnya lagi, begitulah seterusnya: sempurnalah pria itu menjadi seekor serangga besar menjijikkan. “Kafka!” seorang penulis berteriak, dan ia menangis meraung-raung, tapi ia tak akan bisa mengubah apa pun. Beberapa saat kemudian, setelah lebih banyak penulis yang menjerit ketakutan, bahkan ada yang pingsan—dengan mata menganga lebar—setelah Kafka si Serangga Besar Menjijikkan akhirnya mati karena gagal meyakinkan keluarga untuk menerimanya, tayangan berganti lagi.

Mereka dipaksa menyaksikan Shakespeare menenggak racun; mereka dipaksa menyaksikan Akutagawa terjebak dalam dunia Kappa; Orwell dikoyak-koyak para anjing di sebuah peternakan; dan tak hanya para penulis fiksi dalam bentuk karya sastra, di layar terlihat hukuman para penulis skenario film fiksi terbaik: Stanley Kubrick terjebak dalam Overlook Hotel dan harus menyelamatkan diri dari Jack Torrance yang berlari ke sana kemari membawa kapak; Akira Kurosawa harus mengalahkan para samurai jahat sendirian di tengah gurun yang panas; Tobe Hooper harus menahan sakitnya perut yang dibelah dengan gergaji mesin oleh Leatherface—Fixo dan siapa pun penulis di studio itu menyesal: harusnya mereka tak menjadi penulis fiksi.

Tapi semua sudah terlambat bagi mereka. (Sedangkan sekarang belum terlambat bagimu.)

Setelah diteror dengan tontonan, dimulailah pertunjukkan sesungguhnya: lantai studio bergetar dan retak dan pecah, lalu semua penulis itu terjun bebas bersama, namun mereka tiba di tempat berbeda-beda.

***

Seperti yang kukatakan sebelumnya: novel ketiga Fixo mendapat penghargaan sastra nasional. Judulnya Cinta dan Puisi yang Berbahaya. Hukuman yang ia peroleh akan berdasarkan konflik utama di dalam novel tersebut.

Protagonis dalam novel itu adalah F, seorang remaja SMA culun yang baru pertama kali jatuh cinta, dan ia bertekad menulis puisi cinta pertamanya untuk perempuan yang dicintainya: seorang teman sekelas. Puisi itu berjudul Cinta adalah Mesiu yang Tersulut. Ia menyelesaikannya dalam tiga hari, setelah dua hari pertama ia habiskan untuk memikirkan cara menjadikan bubuk mesiu sebagai metafora bagi cintanya. Setelah puisi selesai, ia mencetaknya sebanyak sebelas lembar dan menempelkannya di mading, dinding kantin, dinding kelas, di titik mana pun yang sangat mungkin terlihat oleh pujaan hatinya. Esoknya F langsung menjadi buronan pemerintah. Sungguh absurd, memang. F tak pernah terpikir bahwa, dengan menggunakan bubuk mesiu sebagai metafora, mata-mata pemerintah yang menyamar menjadi guru di SMA itu tersinggung, ia pikir F sedang membicarakan penembakan para demonstran.

Setelah Fixo terjun dari studio bioskop, ia mendapati dirinya terikat di ruang interogasi, persis apa yang F alami setelah mendadak dibekap dari belakang dalam perjalanan pulang sekolah. Si Interogator mengisap panjang rokoknya, mematikan baranya di asbak, dan menyiagakan tongkat bisbol yang pernah menghancurkan lebih dari sepuluh kemaluan. Bagaimana cara Fixo mengakhiri hukumannya? Ia harus melarikan diri dari ruang interogasi, dan kabur dari negara itu bersama perempuan yang dicintainya, persis tujuan dari protagonis di novelnya. Apa yang terjadi jika Fixo gagal menyelesaikan konfliknya? Dunia Fixo akan mendadak gelap, dan sesaat kemudian ia akan kembali berada di titik awal adegan dalam hukumannya: terikat di ruang interogasi. Hal ini berlaku juga untuk Hemingway dan Kafka dan siapa pun penulis fiksi yang masuk neraka.

Jadi, bagaimana? Masih berminatkah kau menjadi penulis fiksi?

Untuk lebih meyakinkanmu memilih cita-cita lain, mari kita lihat nasib Fixo selanjutnya: ia berhasil kabur dari negara bersama peremuan yang dicintainya. Tujuannya tercapai. Apakah ini akhir dari hukumannya? Belum. Hukuman selanjutnya: ia akan reinkarnasi, dan bernasib serupa atau mendekati protagois dalam fiksinya. Kami memutuskan membuat Fixo terlahir dengan nasib mirip G, protagonis dalam novel keduanya yang berjudul Aku Bungkam, Maka Aku Menulis.

G terlahir di keluarga miskin dalam keadaan bisu, dan ia ingin membicarakan banyak hal, dan ia memutuskan untuk belajar menulis secara serius. Kelak G dikenal sebagai salah satu penulis fiksi terbaik di negaranya—penulis fiksi paling berbahaya dan dikejar-kejar para pembunuh bayaran.



*) Catatan: Cerpen ini dimuat di Lensa Sastra pada 24 September 2022.