Selasa, 16 Mei 2017

DI PERSIMPANGAN PENDAPAT

*Lukisan oleh: Nyoman Erawan



DI PERSIMPANGAN PENDAPAT
di desa ini
anak-anak tak berhak menghentikan
kematian
anak-anak hanya boleh bermain dengan
ketegangan kelamin dan keasaman
senja yang tak tertebak
di desa ini
pohon-pohon pencakar langit wajib menggantung
kebahagiaan untuk anak-anak di ketinggian
yang mustahil:
serangga-serangga penggigit menanti
di jarak yang mematikan;
keruncingan bumi mestilah mencintai
punggung anak-anak yang tak akan
pernah jatuh cinta
anak-anak tak boleh mengacungkan tangan
untuk bertanya pada guru di kelas. pertanyaan
macam apa pun terlalu berbahaya dan belum
pantas untuk kerontang usia mereka.
anak-anak hanya boleh mengangguk untuk
apa yang mereka mengerti maupun tidak
di desa ini
anak-anak bertumpahan dari rahim
untuk menambal retak di perut
dan ubun-ubun orang dewasa
anak-anak tak perlu menyadari betapa
rawannya dada mereka
di tengah desakan
sumber-sumber kematian
(Denpasar, 2016)

PUISI MENULIS AKU
ranting-ranting berjatuhan sebagaimana
kota-kota
isi-isian perut terburai sebagaimana
kata-kata
surat-surat cinta terbakar sebagaimana
kota-kota
mata-mata terbutakan sebagaimana
kata-kata
sungai-sungai tercekik arusnya sebagaimana
kota-kota
kaki-kaki pada pincang sebagaimana
kata-kata
remah-remah roti tersapu angin sebagaimana
kota-kota
kepala-kepala meledak sebagaimana
kata-kata
di belahan bumi yang tak terduga,
kota-kota hanya boleh ditinggali
oleh kata-kata—yang tak terduga.
(Denpasar, 2016)

SUSU LOKAL
saya menyusu dari sembahyang
dan tangis kalian. menyusu pula
dari pohon tarra*
dan puisi-puisi puang matua**
bila “waktu” tiba nanti,
di luar passiliran***,
adakah susu
yang tiba-tiba
menjadi fana?
(Denpasar, 2016)
*) Pohon besar—diameternya bisa mencapai 3 meter—yang dijadikan tempat untuk mengubur bayi di Toraja.
**) Tuhan.
***) Kuburan bayi di Toraja.

KEMEJA BASAH
menjemur kemeja putih di ruang berhujan
pintu dan jendela sila kaututup
agar panas pun angin tak mengganggu
ketenangan air
ratusan ekor lebah menjebak diri di dalam
pendingin ruangan
dua ekor ikan berenang-tanpa-jiwa
di langit-langit, mengitari bohlam yang
mewiru cahaya
sebuah kapal berlayar di kerah kemeja
itu. sesosok bayi kangguru dan bayi manusia
sekarat di dalam sakunya. para penduduk
desa mengungsi ke setiap kancing meski
mengetahui adanya bahaya di lubang-lubang
pasangannya.
*
terdengar ada yang mencakar-cakar pintu
ruang berhujan dari luar:
maaf, tapi aku tak memelihara anjing,
atau kucing, atau hewan apa pun yang bercakar
—lantas, siapa di luar sana?
terdengar ada yang mengetuk-ngetuk kaca jendela
ruang berhujan dari luar:
maaf, tapi tak ada orang lain yang hidup di negara
ini selain kami yang berada di dalam rumah ajaib
—lantas, siapa di luar sana?
*
menjemur kemeja putih di ruang berhujan
pintu dan jendela jangan kaubuka
agar tak ada apa-siapa pun yang terlibat
dalam hujan
pendingin ruangan mati. bohlam padam.
kapal karam. sesosok bayi kangguru dan
bayi manusia dibunuh musim. semua kancing
berjatuhan dari kemeja putih itu, membunuh
para penduduk desa yang mengungsi
sembari menantikan
bahaya di tiap-tiap lubang kancing.
tak ada yang mencakar-cakar pintu
tak ada yang mengetuk-ngetuk kaca jendela
menjemur kemeja putih di ruang berhujan:
lima menit lagi aku harus pergi ke kantor,
mengenakan kemeja itu
(Denpasar, 2016)

PERHITUNGAN
satu lembar gurun pasir
dua orang musafir
tiga ekor burung merpati
empat orang pemburu
lima butir pelor
enam kali senapan menyalak
tujuh mayat mengambang di kali
delapan orang perempuan menangis
*
tak ada yang sia-sia dalam perhitungan
tak ada yang berlebihan dalam kematian
tak ada yang akan berakhir jika tanpa permulaan
(Denpasar, 2016)

DI HADAPAN LAYAR KOMPUTER
kau tak bisa menghilang
puisi menjeratmu
menikam jantung katamu:
kau tak bisa menemukan
jasadmu sendiri di baris-
baris sajak ini
lantas, apa yang akan kautangisi?
“jasadku kausembunyikan di
sajakmu yang lain!”
(tapi diam-diam ada rindu
yang menjelma jadi malam.
tapi diam-diam ada sejarah
yang mengalir dari pangkal
pahamu. tapi diam-diam ada
cinta dan luka yang kehilangan
diamnya.)
“tapi diam-diam …”
(Denpasar, 2016)

PERMAINAN BULAN
apa yang membikinmu
lupa bertandang ke
pucuk bulan?
“bulan hilang dari jendela
kamarku. bulan hilang dari
pucuk kelaminku. bulan
hilang dari rimba benakku.
bulan hilang dari riuh kotaku!”
bukankah bulan ya bulan,
ya orang yang mengatakan
bulan? bukankah lelaki
yang bulan ya bulannya
bulan yang hilangnya bulan?
bukankah bulan adalah pucuk
rindu yang kepada bulan ya
bukan orang yang bulan?
“tapi aku bukan permainan kata-
kata,” bulan menjawab.
lantas, apa yang membikinmu
lupa jalan pulang
dari bualan bulan?
(Denpasar, 2016)


*) Puisi-puisi ini pernah dimuat di Tatkala.co pada tanggal 13 Mei 2017.

ACHEMAR

Achemar

cermin hanyalah sebatang jarum penghubung
lazuardi dengan mata seorang pria yang
terperangkap di sebuah rumah makan. musik
jazz adalah jas hitamnya yang menyimpan
seekor belatung di bagian saku. pria itu
melamun seperti hendak menjelma pagi di
atasnya, sementara si pelayan rumah makan
bertanya, “anda ingin mati tanggal berapa,
tuan?” kepadanya yang lantas menjawab
dengan keheningan musim kemarau.


Permainan Anak-anak

aku mengutukmu sebab temaram matamu.
segala yang redup membelenggu riak
darahku. di kulit leherku ada nama dari
setiap embus napasmu, ada seluruh mantra
yang terkikis pada tiap lenguhmu kepada
purnama. di kemudian hari, kita sama-sama
menyulut ribuan kitab yang tak lagi suci.

kita menamatkan permainan anak-anak
lalu menyombongkan diri sebagai raja
dan ratu. belakangan, seorang anak yang
kalah menduduki bayang-bayang kursi
yang perlahan jadi nyata. dan kita masih
terperangkap dalam permainan anak-anak:
kita tak lagi saling mengenal, tak lagi
memuja bayang-bayang dan logika.

debur keringat di lehermu memandikan
luka sayat di kedua pahaku; jeram liurmu
menggerayangi luka tembak di mata
kiriku; desis air matamu padamkan luka
bakar di sekujur punggungku. dan kita
akan melanjutkan permainan anak-anak itu.


Sajak di Dalam Pesawat

bocah kecil yang duduk di sampingku
masihlah tertawa. pun ibunya.
mereka tak tahu
bahwa sebentar lagi pesawat ini
akan
jatuh.
mungkin meledak terlebih dahulu.

dan mereka hanya tidak tahu.
barangkali tidak mau tahu,
sebab ketidaktahuan begitu sederhana

dan membahagiakan.

Denpasar, 2016


*) Puisi-puisi ini pernah dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 7 Mei 2017.