Senin, 08 Agustus 2016

DUA TOKOH, DUA CERITA RAKYAT -- Sebuah Cerpen


Ilustrasi oleh: IB Pandit Parastu
Cerpen ini dimuat di tatkala.co pada tanggal 7 Agustus 2016




Para pengunjung Taman Palakosa dibuat menganga pada sore itu oleh kehadiran seorang pria bertubuh kekar yang wajahnya abnormal; ia bermata tiga—mata ketiganya terletak di tengah dahi—tak berhidung, dan tak bermulut—pada area di mana seharusnya hidung dan mulut berada, hanyalah terdapat permukaan kulit yang rata.
            
Pria itu amatlah terkenal di provinsi yang bernama Gopakopa ini. Namun tak ada yang tahu bahwa dirinya ada di dunia nyata, sebab orang-orang hanya mengenalinya melalui salah satu cerita rakyat Gopakopa.
            
“Jong Arong!” salah seorang gadis yang berada di Taman Palakosa sontak memekikkan nama tokoh cerita rakyat itu ketika Jong Arong melintas beberapa sentimeter di depannya. Namun Jong Arong tak menanggapi pekikan itu; ia terus berjalan lurus.
            
Lensa-lensa kamera para pengunjung taman begitu liar menelan gambaran dirinya, sementara angin sibuk mengibarkan rambut hitamnya yang lurus, yang panjangnya hampir mencapai pantat. Beberapa pengunjung Taman Palakosa menduga kuat bahwa pria itu adalah salah seorang anggota suatu kelompok seni yang ingin membuat “pertunjukan kejutan”.
            
Jong Arong pun sampai di titik tengah Taman Palakosa dan berhenti melangkah, kemudian duduk bersila dan memejamkan ketiga matanya—bermeditasi. Orang-orang lalu pada mengerubunginya. Menjauhlah kalian semua dariku! hardik Jong Arong. Karena ia tak mempunyai mulut—dan sering lupa bahwa dirinya tak bermulut—kalimat itu hanya terdengar di batok kepalanya. Dan, ia semakin panas sebab siraman cahaya dari kamera para pengunjung taman semakin liar menyerbunya, mengganggu konsentrasinya dalam bermeditasi. Mendadak ketiga matanya membelalak. Dengan gerakan cepat, ia berdiri dan menangkap lengan seorang wanita pengunjung taman yang memotretnya dengan kamera ponsel dari jarak yang paling dekat. Ia lantas melempar wanita itu ke atas hingga menembus awan-gemawan dan tak kunjung turun kembali*, seakan gravitasi sudah kadaluarsa.
            
Orang-orang yang mengerubungi Jong Arong pun menjerit-jerit ketakutan dan berlari menjauhinya secepat mungkin.

***

“Pada suatu hari, di sebuah desa di bagian barat Gopakopa, hiduplah seorang wanita kaya yang bernama Pon Arong. Wanita itu acap menghina orang-orang yang fisiknya cacat, alih-alih membantu mereka dengan kekayaannya.” Kurang lebih seperti itulah kalimat pembuka yang terlontar dari mulut para pencerita yang sedang menceritakan cerita rakyat Jong Arong. Dilanjutkan dengan, “Suaminya yang bernama Ger Arong pun tak berbeda. Karena ketidakterpujian sifat mereka, maka ketika Pon Arong melahirkan, yang keluar dari rahimnya adalah bayi abnormal. Bayi itu bermata tiga—mata ketiganya terletak di tengah dahi—serta tak memiliki hidung dan mulut. Bayi itu diberi nama Jong Arong.”
            
Sungguh aneh sebab belum pernah ada seorang pendengar cerita rakyat Jong Arong pun yang menanyakan bagaimana cara sang tokoh makan jika tak mempunyai mulut. Seandainya ada yang bertanya seperti itu, pastilah sang pencerita tak bisa menjawab. Jadi, tak perlulah kau menanyakannya.

***

Berita mengenai Jong Arong yang kini berada di Taman Palakosa—dan sempat melempar seorang wanita ke langit hingga tak kunjung turun kembali—sungguhlah menggegerkan masyarakat Gopakopa.
            
Apakah berita itu membuat semua orang jadi tak berani berkunjung ke Taman Palakosa? Rupanya tidak. Ada beberapa orang yang malah memutuskan untuk datang ke Taman Palakosa demi melihat Jong Arong secara langsung. Dan, orang-orang itu tidak akan dilempar ke langit—hingga tak kunjung turun kembali—oleh Jong Arong kalau saja mereka menjaga jarak dan tidak mengganggunya dengan siraman cahaya putih dari kamera masing-masing.
            
Apakah setelah kejadian itu tak ada lagi yang berani berkunjung ke Taman Palakosa? Tidak juga. Pada suatu pagi, aparat keamanan dikerahkan untuk mengamankan Jong Arong—yang sedang bermeditasi. Kemudian, mereka yang hendak mengamankan Jong Arong pun pada dilempar ke langit, hingga tak kunjung turun kembali pula.

***

Tak jauh dari desa tempat Jong Arong dan keluarganya tinggal, terdapat sebuah gunung yang dinamai Kabut oleh masyarakat setempat, tiada lain karena gunung itu diselimuti oleh kabut mahatebal. Jangankan puncaknya, kakinya pun sulit untuk dijelajahi karena adanya kabut itu. Belum ada seorang pendaki pun yang pulang setelah menembus tirai kabut di Gunung Kabut; entah mereka mati atau …
            
Ketika masih anak-anak, Jong Arong selalu diusili oleh anak-anak yang lain karena dirinya tampak begitu buruk, melebihi para penderita cacat. Pon Arong dan Ger Arong tak pernah membelanya, bahkan memedulikannya pun tidak, sebab sepasang suami-istri itu sesungguhnya merasa malu akan anak mereka dan sebisa mungkin menunjukkan kepada orang-orang bahwa Jong Arong bukanlah bagian dari keluarga mereka—meski orang-orang sudah (terlanjur) mengetahui kenyataannya.
            
Suatu malam, Jong Arong mendapat bisikan dari kekosongan. Kekosongan menyuruhnya pergi ke puncak Gunung Kabut. Ia merasa bisikan itu harus diikuti sebab tiap kali ia mencoba untuk mengabaikannya, mendadak kepalanya terasa amat sakit.
            
Ketika Jong Arong mengintip ke luar melalui jendela kamarnya, betapa terkejutnya ia karena dirinya dapat melihat keseluruhan Gunung Kabut dengan amat jelas, meski gunung itu diselimuti oleh kegelapan—selain kabut mahatebal. Konon, mata ketiganya—yang terdapat di tengah dahinya—itu mendadak sakti sehingga dapat melihat menembus kabut dan kegelapan. Maka, malam itu pula, Jong Arong berangkat ke puncak Gunung Kabut. Sesampainya ia di puncak Gunung Kabut, kekosongan membisikinya lagi, menyuruhnya bertapa selama puluhan tahun. Jong Arong menurut; itulah kenapa ia tak pulang selama puluhan tahun—toh, kedua orangtuanya bahagia dengan kepergiannya, sementara yang lainnya pada tak peduli.
            
Alih-alih mengurus, tubuh Jong Arong malah mengekar. Bahkan rambutnya tidak menjadi gimbal, melainkan lurus, sehitam malam, dan halus. Selain itu, Jong Arong diberikan kekuatan fisik yang sangat dahsyat oleh dewa yang berkenan dengan tapanya!
            
Ketika Jong Arong kembali ke desa tempat dirinya dilahirkan, ia langsung menghancurkan sekujur desa itu beserta para penduduknya demi melampiaskan rasa sakit hati yang lama terpendam, lantas menghilang entah ke mana.
            
Kini, tempat di mana seharusnya desa itu berada telah menjadi sebuah danau angker.

***

Senja itu, seorang lelaki bertubuh kerempeng terlihat menghampiri Jong Arong yang masih bermeditasi.
           
“Wah! Berani sekali orang itu!” seru seseorang.
            
“Dia sedang cari mati!”
            
“Hei! Hati-hati!”
            
“Mundur! Mundur!”
            
“Jangan gegabah!”
            
“Awas!!!”
            
Lelaki kerempeng itu berhenti empat meter di depan Jong Arong, lalu membusungkan dadanya. Orang-orang semakin heboh ketika tiba-tiba saja sekujur tubuh sang lelaki kerempeng diliputi kobaran api, namun ia maupun pakaiannya tak kunjung gosong. Sadarlah orang-orang bahwa ia adalah …
            
“Kon Tenga!” seorang wanita memekik.
            
“Si Manusia Api ternyata benar-benar ada di dunia nyata, sebagaimana Jong Arong!” seorang pria tua berseru.

***

Selain cerita rakyat Jong Arong, ada pula cerita rakyat Kon Tenga yang tak kalah populernya di Provinsi Gopakopa.
            
Kedua orangtua Kon Tenga adalah penyihir jahat yang menumbalkan Kon Tenga bayi dalam sebuah ritual; ia dilemparkan ke sebuah sumur yang penuh oleh kobaran api. Sayang, ritual tersebut gagal; kedua orangtua Kon Tenga mati, sebagaimana api yang berkobar-kobar di dalam sumur itu, tetapi tidak dengan Kon Tenga bayi. Keesokan harinya, ia dipungut oleh dua orang petani—sepasang suami-istri—miskin yang kebetulan lewat dan mendengar tangisannya yang berasal dari dasar sumur.
            
Kon Tenga diketahui memiliki kekuatan istimewa—memunculkan kobaran api dari tubuhnya—ketika ia berusia 7 tahun.
            
Di akhir cerita, Kon Tenga, yang sudah hampir dewasa, membakar ayah dan ibu tirinya karena ia marah akibat sedari kecil diperintahkan terus untuk membakar ladang milik petani-petani lain sehingga jumlah segala hasil ladang di pasar menipis drastis, dan kedua orangtua tirinya dapat menjual hasil ladang mereka dengan harga selangit—dan pasti laku.

***

“Pergilah dari sini, Jong Arong!” bentak Kon Tenga. “Aku juga ingin bermeditasi di titik tengah taman ini! Kalau kau tidak mau pergi, ayo kita bertarung!”
            
Mendadak ketiga mata Jong Arong membelalak.

***

Aku adalah seorang astronaut. Hari ini, dari ruang angkasa, aku menyaksikan Bumi meledak laksana balon pecah!



Catatan:
*) Meminjam salah satu adegan di novel Kitab Omong Kosong (Bentang Pustaka, 2004) karya Seno Gumira Ajidarma.