Minggu, 31 Juli 2016

LENA, ETALASE, DAN PEMBUNUHAN -- Sebuah Cerpen





Sekonyong-konyong Lena menjerit ketakutan di hadapan etalase itu. Orang-orang lain yang juga memenuhi Toko Dapur Rupa pun terkejut, mematung sejenak, sebelum kemudian mengerumuni dirinya.
            
“Ada apa, Nona?” tanya seorang pria paruh baya. “Kenapa Nona menjerit?”
            
Gadis itu tiada menjawab. Napasnya berat, matanya membelalak, dan wajahnya mendadak pucat.
            
“Nona kenapa?” tanya si Satpam dengan cemas setelah berhasil masuk ke bagian terdalam kerumunan. “Apa ada yang menyakiti Nona?”
            
Lena tiada menyahut lagi.
            
“Tidak kedua-duanya, Pak,” jawab seseorang. “Saya melihatnya sedari tadi hanya berdiri menghadap etalase itu, lalu sekonyong-konyong menjerit.”
            
Si Satpam pun memerhatikan etalase yang dimaksud. Di dalam etalase tersebut terpajang berbagai macam pisau dapur. Satu-satunya yang mencolok di sana adalah sebilah pisau dapur yang gagangnya terbuat dari emas asli, dipajang di tengah pisau-pisau yang lain.
            
“Cuma pisau-pisau yang dipajang,” kata si Satpam pada Lena. “Apa pisau-pisau itu yang membuatmu menjerit, Nona?”
            
Sebetulnya Lena ingin sekali menjawab. Namun ketakutan yang mendekapnya erat menyebabkan kekakuan pada lidahnya. Akhirnya, ketakutan itu pun membuatnya pingsan di tempat.

***

Lena siuman tatkala pagi menyajikan suhu rendah serta hujan yang berisik. Entah siapa yang mengangkutnya dari toko itu ke kamar tidurnya.
            
Mendadak benak Lena disusupi oleh citra itu lagi; citra yang diperolehnya begitu saja ketika menatap pisau bergagang emas—di dalam sebuah etalase di Toko Dapur Rupa—itu. Citra tersebut berjalan bagai adegan film: Seseorang mengambil pisau bergagang emas itu dari dalam etalase dan menggunakannya untuk menebas leher orang lain.
            
Lena tak tahu siapakah si Pelaku pun si Korban sebab wajah mereka berdua sungguh tak jelas, macam kena sensor-buram di layar televisi.

***

“Satpam di toko itu menghubungi ponsel Ibu dengan ponselmu. Pastilah ia menemukan nomor ponsel Ibu di daftar kontakmu,” kata ibunya ketika mereka berdua duduk menghadap meja makan. “Langsung saja Ayah dan Ibu berangkat ke toko itu dengan mobil buat mengangkut kamu ke rumah.”
            
Lena mengoleskan selai nanas ke selembar roti tawar di tangannya.
            
“Omong-omong,” kata ibunya lagi, “kamu itu pingsan karena apa, sih?”
           
“Mungkin saya hanya kelelahan,” jawab Lena.
            
“Hanya kelelahan? Tapi, kata si Satpam, sebelum pingsan, kamu sempat menjerit.”
            
“Saya baik-baik saja, Bu.”
            
“Jujurlah pada Ibu, Lena.”
            
“Oh ya, kemarin saya pingsan sebelum kelar memilih pisau dapur untuk dibeli. Apa Ibu sekalian memilih dan membeli pisau dapur baru di toko itu waktu menjemput saya?”
            
Ibu Lena mengangguk.
            
“Baguslah kalau begitu.” Kemudian segeralah Lena menghabiskan sarapannya yang berupa selembar roti tawar itu, lalu pergi ke salon tempatnya bekerja, tanpa memberikan ibunya kesempatan untuk menanyainya lebih perihal kejadian yang kemarin.

***

Saat Lena bekerja, citra itu muncul lagi di benaknya, sungguh mengganggunya.
            
“Kenapa wajah Mbak agak pucat?” tanya Sita, wanita yang sedang dilayani Lena. “Sakit?”
            
“Agak pucat?” Lena tertawa kecil. “Tidak, kok.”
            
“Coba lihat di cermin.”
            
Lena tak mau menatap cermin. Ia tetap menunduk, memotong rambut Sita.
            
Mendadak Sita menjerit nyaring; Lena tak sengaja memotong daun telinga kanannya. Daun telinga itu terpisah dari tempatnya, pertama-tama mendarat di pundak Sita, kemudian jatuh ke lantai karena pundak itu berguncang hebat. Sudah tentu darah mengucur deras dari lukanya.
            
“Maaf! Maaf!” Lena memekik panik. “Saya tidak sengaja!”
            
Dalam hati, Lena langsung memaki-maki dan mengutuki dirinya sendiri karena telah kehilangan “fokus” gara-gara citra yang mengerikan itu.
            
Lena-lah yang kemudian mengantarkan Sita ke rumah sakit, juga membayar seluruh ongkos pengobatannya. Bagaimanapun besarnya usaha Lena untuk membantu Sita, hari itu juga ia dipecat tanpa hormat, tanpa pesangon, dari salon tempatnya bekerja—dan ia tak memberitahukan soal pemecatan itu pada orangtuanya.

***

Lena berdiri di hadapan etalase itu lagi, menatap lekat-lekat pisau bergagang emas yang kemarin telah memunculkan citra mengerikan itu di benaknya. Lena menduga bahwa citra tersebut adalah pertanda bahwa pisau bergagang emas itu akan berperan dalam sebuah pembunuhan.
            
Aku harus mengamankannya agar tak ada pembunuhan yang terjadi, batin Lena.
            
Sayangnya, Lena tak punya cukup uang buat membelinya.

***

Pada tengah malam, Lena mengendap-endap keluar dari rumahnya demi pergi ke Toko Dapur Rupa yang telah tutup. Seutas kawat yang ujungnya ditekuk digunakannya untuk “mencurangi” lubang kunci pada pintu—dan rupanya berhasil. Di dalam toko, tampaklah dua butir bohlam yang menyala. Lena pun masuk dan menutup pintu dari dalam. Berdebar-debar hebat jantung gadis itu sebab baru sekali ini ia hendak mencuri.
            
Entah siapa yang dengan bodohnya membiarkan etalase yang satu itu tak terkunci, sehingga beberapa detik kemudian pisau bergagang emas itu telah berada di genggaman Lena.
            
Sekarang, harus kuapakan pisau ini?
            
Tiba-tiba ada yang menyentuh pundak Lena dari belakang. Lena sontak memekik dan berbalik seraya mengayunkan tangannya yang menggenggam pisau.
            
Si Satpam pun megap-megap dan terbelalak. Darah mengucur deras dari luka tebas di lehernya. Sesaat sebelum tumbang, ia muntah darah.
            
Lena hanya bisa memekik lagi. Senyaring-nyaringnya.



*) Cerpen ini dimuat di Bali Post pada tanggal 31 Juli 2016.

Minggu, 24 Juli 2016

JANGAN MEMEDULIKAN KEDUA PUISI INI

SINOPSIS SEBUAH BUKU

ia memoles dadamu dengan satu dendam
dan seribu rindu. ia hendak melihat kanak-
kanak yang tertutup kelambu kehendak di
pusat pikiranmu. ia menyingkap pakaian
yang menghalangi aroma karatmu di tengah
belukar senja, lantas mencuri kulit serta
keringatmu yang mudah dipuja. ia pun
memilih racun dan secangkir kopi untuk
menemaninya di beranda, menghadapi
malam bersama satu rindu dan seribu
dendam yang ajaib.

(Denpasar, 2016)


UJIAN TERTAWA

kita tersesat. di rimba ini, kebahagiaan
adalah jebakan. bilah-bilah suhu tak lain
pengkhianat nomor satu yang ingin kita
terlelap. luka-luka angin dan senandung
remuk dedaunan menjelma perasaanmu
yang dibakar rindu juga amarah.
kita tersesat—kutegaskan sekali lagi.

(Denpasar, 2016)



*) Puisi-puisi ini dimuat di Sudut Aksara pada tanggal 18 Juli 2016.

Minggu, 17 Juli 2016

PIDATO MENJELANG HARI TUA


Ilustrasi oleh: Surya Gemilang






Pidato Menjelang Hari Tua



berikan aku satu mayat

kan kuguncang kematian



berikan aku satu mayat

kan kuremukkan musim duka

berikan aku satu mayat …
asal bukan badan wadagku!

(Denpasar, 2016)


Akhir Puisi di Singgasana


araklah “singgasana”-ku
jangan biarkan upacara ngaben*
memanen tangis

araklah “singgasana”-ku
menuju api liang pembebasan
antakarana sarira**

anggaplah aku hanya tertidur;
kelak terbangun sebagai sebongkah
bayi—milik salah satu dari kalian

anggaplah aku hanya tertidur;
kelak, barangkali, hanya
menjelma “kosong”

sibaklah jalanku dengan sukacita
—dengan sukacita saja—
sebab kefanaan adalah dermaga:
jangan jadikan tangismu
tali penambat!

(Denpasar, 2016)

*) Upacara pembakaran mayat yang dilakukan oleh para pemeluk  Agama Hindu di Bali.
**) Tubuh halus atau atma.


Negeri Penantian


kepurbaan saya membayi
di kamar ini.

kaca jendela diketuk dari luar
(dengkur ibu, lullaby-anestesi)
bukan oleh kata-kata dari
rongga dada

tapi, bukankah kematian bisa
hadir dari mana saja, bu?

lelap ibu memperbolehkan jejarum jam
melangkah mundur
(desing kipas angin
memanggil para pekerja mimpi)
dan ada yang mengetuk
pintu kamar saya
dari dalam kepala

bukankah kematian boleh
bertamu kapan saja, bu?

dan, lelap ibu tetaplah lelap.
kaca jendela dan pintu
seperempat ketukan.
kepurbaan saya teruslah membayi.
tiba-tiba kelambu disibak:

sekarang pukul berapa, kematian?

(Denpasar, 2016)


Di Atas Altar


debu jalanan bukan perjalanan yang
memarut belulang. risau pisau kata-kata

adalah segerombolan truk yang menjadi
badai rezim. di kemacetan lalu lintas

lompatan demi lompatan kegeraman
menawarkan tempat tidur yang nyaman.

“apakah ada yang abadi dalam jagamu?”
tanya kristus kepadaku. mulai besok

kerisauan boleh menumpah darahku
di atas altar.

(Denpasar, 2016)



-) Puisi-puisi ini telah dimuat di Riau Pos pada tanggal 16 Juli 2016.

Minggu, 10 Juli 2016

PUISI "ELYSIUM" VERSI BAHASA INGGRIS


*Ilustrasi oleh: Surya Gemilang


BEBERAPA menit sebelum menulis tulisan ini, saya iseng mengunjungi website Poetry Praire. Dan, saya terkejut begitu mendapati puisi "Elysium" karya saya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh pihak Poetry Prairie. Jadi, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Poetry Prairie karena telah mengapresiasi puisi saya dengan harga tinggi, yakni menerjemahkannya ke bahasa Inggris.

Kalau Anda mau membaca puisi "Elysium" berbahasa Indonesia dan Inggris dari website Poetry Prairie, sila klik di sini. Tapi, kalau Anda tak mau repot-repot mengklik, sila dibaca (yang versi bahasa Inggris saja) di bawah ini:



Elysium

our quay is getting more reluctant
incarnates into moors of a ship.
that ship is our cruise
that someday would lost among the haze
ocean, seagulls, and
love poems that plow
the ocean.

-round window: for you-

we looked at the quay
through a window
without angle: hatch of an egg that
flourishing the expectation.
do you believe in the woods
that made love lost?
it might be waiting
until the factory behind the window
starts issuing a poem
that will lead the way.

you know, our complexity
which is ancient, is a labyrinth that
has lost its walls.
our longing is getting older
unwilling to be dried: eternal
storm that kiss the deck
of the ship.

-rain of prayers: for mother-

I always get lost, every night,
in your dream that is
so faraway. I’m afraid my steps
soon will be eroded before
you can put the distance into
your pocket. and we, by
far, celebrating love between
the silence that had lived since the ancient
days.

your prayer is a myriad of expectations
which secretly possessed me.
and remains silent like a soundly sleep
that embraces the drizzles of rain, or
lazy fireplace that sings
the crackles of the fire.

-the land of bones: for father-

your bones are drifting on
my gastric acid. not even one
memory will question
how your body’s still upright: a
coda that forgot to fulfill its duty.
or, your composition is indeed without
coda.

on a different computer, you
drew me, I wrote you.
under the same umbrella, you
tamed the rain, I was just
spelling the drizzles that weren’t
wanting to go back home into the sky.

I think, you are celebrating love
in the most complicated way.

-the prince of wind: for my brother-

your part is the most difficult
for me to carve. we are the same fruit of
hope, and yet the hope itself.
but believe me, you are in this ship
to be entangled with the same
cruise and love celebration, which are,
based on our father’s composition, not having a coda.