Minggu, 18 Februari 2024

VIRAL! -- Sebuah Cerpen




Orang bodoh adalah orang yang mati dengan cara bodoh dan gentayangan atas alasan bodoh.

Bintang bunuh diri tanpa wasiat. Sepulangnya aku dari kafe pada malam Minggu, lelaki bertubuh gagang sapu itu telah tergeletak di lantai, pucat, pisau dapur menancap di lehernya; darah meresap ke karpet bulu putih yang tergelar di antara kasurku dan kasurnya, karpet bulu yang kubeli secara daring karena dipromosikan selebriti di TikTok yang tahu betul cara menggoyangkan payudara dan bokong. Itu adalah cara bunuh diri yang bodohBintang mesti berkelejotan penuh derita sebelum mati—dan orang pintar pasti memilih cara mati tanpa sakit. Setidaknya, bunuh diri itu membuat si Sutradara, si Editor, dan si Videografer yang tidur di sebelah kamar kami langsung pindah dari mes ini ke indekos—dan aku menyukai keheningan, meski benci membuang karpet buluku.

Sebodoh-bodohnya cara Bintang bunuh diri, lebih bodoh lagi adalah alasannya gentayangan.

Tujuh hari setelah Bintang mati, sepulangnya aku dari kantor pukul delapan malam, setelah dua belas jam kepalaku terbakar akibat menyelesaikan empat skrip kampanye sabun wajah, saat aku menyalakan lampu kamar, tampaklah temanku itu duduk di tepi kasurnya. Aku memekik. Tapi aku segera menenangkan diri; Bintang sebagai hantu tak seberapa seram. Ia mengenakan celana panjang kain hitam dan kaus putih sebagaimana sehari-hari di kantor. Ekspresi dungunya masih sama: jika sedang tak berbicara, mulutnya terus setengah terbuka, menampakkan gigi tonggos penuh noda kopi dan rokok. Ketiaknya pun masih menyebarkan bau sandal gosong. Apa yang membedakannya kini dengan manusia hidup hanyalah kulit pucatnya plus bekas tusukan di leher—yang untungnya tak lagi mengucurkan darah. Aku bertanya kenapa ia bergentayangan, dan ia menjawab, “Aku ingin melihat kontenku viral.”

Aku langsung memaki si Sutradara dan si Editor dan si Videografer dalam hati. Di ruang kerja tim kreatif, mereka sering mengolok-olok Bintang, dan sekarang ia bergentayangan di depan mataku.

Sejak delapan bulan lalu, Bintang bekerja sebagai penulis skrip pertama di perusahaan kami, dan belum satu pun konten kampanye dari skripnya yang viral. Tim kreatif menjadi samsak tinju atasan. Nama baik tim kreatif terselamatkan dua bulan kemudian, ketika aku bergabung sebagai penulis skrip kedua, dan konten kampanye dari skrip pertamaku langsung viral di TikTok. Waktu itu perusahaan baru mengeluarkan krim pemutih ketiak, dan aku mengonsepkan eksperimen sosial: kamera tersembunyi menangkap reaksi orang-orang begitu melihat seorang wanita berketiak mulus, berkaus tanpa lengan, mengikat rambut di tempat umum.

Tidak semua skrip kampanyeku sukses. Malah lima puluh persen lebih tak mampu menyerap banyak penonton. Tapi tetap saja aku dipuji-puji para rekanku, karena Bintang tak kunjung menghasilkan skrip kampanye yang viral.

 

***

 

Dua hari sebelum Bintang mati, masing-masing kami menulis satu skrip kampanye krim antijerawat dan pelembap bibir. Dan kemarin, konten kampanye krim antijerawatku diunggah ke TikTok, dan per hari ini memperolah lima jutaan penonton. “Sial,” hantu Bintang  menggumam begitu aku memberitahunya soal itu.

Tadi sore konten kampanye krim antijerawat Bintang diunggah ke TikTok. Saat ia bertanya berapa jumlah penontonnya, aku tak tega untuk jujur.

“Di akhirat tidak ada internet, eh?” tanyaku.

“Kau tidak menjawab pertanyaanku,” balas Bintang.

Mengembuskan napas pasrah, aku membuka TikTok dan menunjukkan langsung padanya: tiga jam setelah diunggah, konten baru ditonton sekitar enam ribu orang—angka yang layak dihina, karena kontenku minimal ditonton lima puluh ribu orang dalam sejam.

Bintang pun menutup wajah dengan tangan dan tersedu-sedu. Apakah keviralan konten menentukan layak-tidaknya seseorang masuk ke surga? Aku ingin menepuk-nepuk pundaknya, tapi gagasan menyentuh hantu sontak memberdirikan bulu kudukku. Pasti tak bijak untuk sembarang menyentuh entitas tak dikenal. Jadi aku hanya duduk di kasurku. Aku mengantuk, tapi keberadaan hantu yang menangis bukanlah situasi ideal untuk tidur. Aku ingin menyarankannya kembali ke akhirat dan melupakan urusan konten duniawi, tapi aku takut melukai perasaannya; kita tak tahu apa yang bisa hantu perbuat jika terluka.

Tiba-tiba, entah atas dasar apa, mulutku melontarkan kalimat bodoh: “Aku akan memeriksa skrip kampanye pelembap bibirmu. Skrip itu akan disyutingkan lusa.”

Bintang mendongak ke arahku.

“Maksudku, ayo kita bedah skrip itu. Jika perlu revisi, aku bersedia membantu.”

Mata Bintang berbinar.

Tim kreatif memiliki Google Drive bersama; aku membuka laptop di meja belajar dan membuka fail skrip Bintang. Membaca skrip itu, aku semakin yakin si Sutradara selalu “pasrah” menerima skrip: ide konten ini tak akan viral sampai kiamat!

Beginilah isi skripnya: Tokoh Utama Perempuan berjalan sendiri di mall, tak sengaja bertemu teman-temannya semasa SMA, bertukar kabar, dan tibalah momen bodoh itu, ketika tiba-tiba salah seorang teman bertanya bagaimana bisa bibir si Tokoh Utama Perempuan selalu lembap, dan si Tokoh Utama Perempuan mempromosikan pelembap bibir. Demi seluruh arwah di akhirat, aku berani bertaruh bahwa sembilan puluh persen penonton berhenti menyaksikan iklan ini di tiga detik pertama.

Sebagai tahap awal pembedahan skrip, tentu aku harus menyatakan penilaianku sejujur-jujurnya. Tapi, begitu aku menoleh ke Bintang yang berdiri di sampingku, dengan tatapan berbunyi, “Selamat! Kau baru saja membaca mahakarya!” rasanya aku harus melompati tahap awal ini. Aku takut mengecewakan hantu; kita tak tahu apa yang bisa hantu perbuat jika dikecewakan.

“Bagus,” komentarku akhirnya. Tersenyum tak pernah sesulit ini. Saran terbaikku adalah lupakan skrip ini dan tulis skrip baru—tapi aku malah berkata, “Ada sedikit bagian yang sebaiknya kita revisi.”

Binar di mata Bintang seketika berganti menjadi … percikan api neraka? Ia seolah ingin merasukiku, membuatku melompat dari atap gedung.

“Baik,” balasnya, “bagian mana yang harus aku revisi?”

“Bukan harus, tapi sebaiknya.” Aku berdeham sebelum menjabarkan pendapatku dengan nada seorang dokter yang, kepada sepasang suami-istri, mengabarkan bahwa bayi mereka tak mungkin selamat. Aku menyarankan Bintang menghapus seluruh basa-basi di pembuka, dan memulai adegan langsung saat salah seorang teman SMA bertanya tentang lembapnya bibir si Tokoh Utama Perempuan.

Bintang tersenyum mencemooh. “Kau tak paham seni.”

Setan alas. Jika ia bukan hantu, akan kubuat ia menjadi hantu.

Dengan tatapan merendahkan, Bintang menjabarkan definisi seni padaku, berkali-kali menitikberatkan klausa seni adalah representasi realitas. “Sekumpulan orang bertukar kabar adalah realitas. Realitas akan membuat penonton teridentifikasi. Identifikasi akan membuat penonton ingin membeli produk. Sesimpel itu.

“Penonton bosan pada realitasmu.”

“Kau benar-benar tak paham seni.”

Singkat cerita: Bintang hanya menyetujui penghapusan bagian awal di mana si Tokoh Utama Perempuan berjalan sendiri. Jadi, adegan dibuka langsung saat ia bertemu teman-temannya dan berbasa-basi.

“Kau yang harus menghapusnya,” kata Bintang. “Jika kontenku gagal viral karena bagian itu dihapus, kau akan merasa bersalah.”

Aku memblok bagian itu dan, seperti penjagal yang tak sabar membantai seekor sapi, telunjukku menghunjam backspace.

Bintang pun mengucapkan selamat tinggal dan lenyap seketika.

 

***

 

Selama seminggu hantu Bintang tak pernah muncul. Si Sutradara menyetujui revisi yang kulakukan pada skrip Bintang, dan syuting berjalan lancar. Hidupku damai-damai saja, sampai pada hari ketika konten itu akan diunggah, pada Minggu sore yang mendung dan membosankan. Bintang mendadak muncul dari kekosongan saat aku sedang berbaring di kasur, menonton seorang selebriti menggoyangkan payudara dan bokong dan menarik sepuluh juta penonton di TikTok.

“Semoga aku bisa tenang hari ini,” kata Bintang.

Pukul 16.55. Lima menit lagi konten Bintang akan diunggah. Dan Bintang tak akan tenang hari ini: kontennya yang “realis” pasti tak viral.

Berapa lama lagi aku harus menghadapi hantu bodoh ini?

Tiba-tiba, sebuah portal terbuka di lantai tengah ruangan. Portal memancarkan cahaya kemerahan dan menaikkan suhu ruangan secara drastis. Ujung lidah-lidah api menjilat keluar. Asap dan bau yang sepuluh kali lebih busuk dari selokan hampir meledakkan hidungku. Kemudian, memanjat keluarlah sesosok pria botak dan kekar dan telanjang bulat, kulitnya berminyak dan semerah darah, kepalanya hampir menyentuh langit-langit. Dari ekspresi Bintang, hantu itu jelas tak ingin menemui si Pria Merah. Jantungku berdentam-dentam.

“Jangan kabur lagi, Anak Muda,” desis si Pria Merah.

Ia mencengkeram ubun-ubun Bintang, mengangkatnya tanpa beban, mengarahkannya ke atas portal. Bintang menjerit sejadi-jadinya, mencakar-cakar tangan si Pria Merah yang tetap bergeming. Suhu ruangan terus meningkat sampai kulitku memerah dan berkeringat total, asap dan bau busuk yang memekat membuat mataku penuh air dan kesadaranku hampir melayang. Bagaimanapun, kejadian begini tak akan terulang: aku mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan kamera: kejadian ini pasti viral!

Namun, mereka berdua dan portal itu tak tertangkap kamera. Di layar ponsel hanya tampak kamarku sebagaimana adanya, kamarku tanpa kejadian apa pun—bahkan asap yang hampir sepenuhnya memutihkan pandangan juga tak tampak.

Bajingan!!!” Bintang memekik.

Si Pria Merah pun menjatuhkan Bintang ke portal, lantas ikut terjun ke sana dan portal menutup. Udara kamarku seketika bersih dari asap dan bau busuk, suhu menurun ke titik normal. Detak jantungku memelan. Minggu kembali membosankan.

Sayang sekali, aku gagal mendapatkan video yang pasti viral. Tapi untung saja si Pria Merah muncul: Bintang jadi tak perlu melihat kontennya terunggah dengan jumlah penonton sesepi kuburan.

Aku merebahkan diri di kasur dan membuka TikTok. Di FYP, seorang selebriti berjoget, hanya mengenakan tanktop hitam dan celana pendek, dan ia melingkarkan karpet bulu putih ke tubuhnya seperti kemban. Aku perlu membeli karpet bulu baru.




*) Cerpen ini dimuat di Bacapetra.co pada 7 Januari 2024.

ORANG-ORANG DI BUNGKUS ROKOK; dan Puisi-Puisi Lainnya


*Sumber Gambar: Basabasi.co



Orang-Orang di Bungkus Rokok

 

semua pergi ke tempat yang sama:

si penderita kanker paru-paru

si penderita kanker mulut dan tenggorokan

juga seorang ayah yang merokok

seraya menggendong bayinya

—mereka semua, setelah aib terpajang

di bungkus-bungkus rokok

dan hampir tak membuat siapa pun takut,

akhirnya pergi ke surga yang sama,

kerajaan di dalam sebungkus rokok,

di mana batang-batang rokok

tak lain pilar-pilar istana olimpus,

dan bayi itu, yang kini beranjak dewasa,

menyulut sesajen di sela bibirnya

dan para penghuni surga

duduk santai bersandar di pilar

mengembuskan asap ke langit-langit

tak takut pada ujung-ujung cakar cukai

 

(Jakarta, Agustus 2023)




Sekumpulan Ikan


mungkin kau manusia

tapi bagian-bagian tubuhmu

tak lain sekumpulan ikan

yang tak pernah belajar

untuk tak melahap kail


matamu melahap kail

yang menjulur dari layar ponselmu

telingamu melahap kail

yang menjulur dari mulut para tetangga

kakimu melahap kail

yang menjulur dari etalase toko sepatu

di sebuah mall pada minggu yang membosankan


dan tak jarang di minggu lain

yang sama saja membosankannya

jari-jarimu melahap kail dari

pesan whatsapp atasanmu

dan otakmu melahap kail dari

bayang-bayang tentang sederet angka

yang tiap hari memasukkan tangan dinginnya

ke saku celanamu


dan kail-kail lain tak berhenti menjulur:

semua merampas perutmu, pahamu,

dadamu, detak jantungmu,

kuku-kukumu, ketiak basahmu,

hingga pada akhirnya

sekumpulan ikan yang menjadikanmu manusia

berakhir di piring-piring berbeda


dan di tengah hiruk-pikuk yang gelap

tersisa sendiri hatimu

mungil dan menjijikkan

di mata merahnya terpantul

mata kail berlumur darah


(Jakarta, September 2023)




Film Rekomendasimu


hanya berisi lesatan-lesatan peluru

dan hero meninggalkan

bangunan meledak

seperti seribu satu film yang lalu

dan aku menguap di depan laptop

tapi bayanganmu

selama satu jam empat puluh menit

mendekapku seerat rompi antipeluru

ketika to do list hari esok

mengintip dari jendela kantor

membidik jendel kamarku


(Denpasar, April 2023)




Bahasa Dalam Lapisan Termosfer


mereka yang hidup dalam termosfer adalah

para penjarah, selalu melompat ke atap

setiap kata yang berlalu lalang

dan mengoyaknya sedemikian rupa

untuk turun ke ruang utama

dan mencuri apa pun yang kata-kata bawa.


beberapa penjarah kabur dengan membiarkan

kata-kata kembali melintas dalam keadaan kosong;

beberapa penjarah mengganti emas dengan tahi

atau kelopak-kelopak mawar dengan darah

sebelum kabur.


mereka yang hidup dalam termosfer adalah

para penjarah, yang membuatmu semakin membenciku

dan aku semakin membencimu

sebab kata-kata tak lagi berbunyi

atau membuat kita bergidik jijik.


maka baiknya kita banting ponsel masing-masing

dan tidur

atau habisi jarak sialan ini

dengan pesawat atau apa pun

lalu sembunyi 

dalam selimut yang sama

dan biarkan kata-kata melompat

dari mulutmu

langsung ke kupingku.


(Jakarta, Mei 2023)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Basabasi.co pada 9 Januari 2024.

Minggu, 04 Februari 2024

MENGGANTI NAMA DENGAN MESIN WAKTU -- Sebuah Cerpen




Bermasalah dengan orang kaya akan membuatmu gila—atau minimal kewarasanmu dipertanyakan. Di pangkalan ojek daring, kami mempertanyakan kewarasan salah satu rekan kami: Budi Jaya—yang dari dulu kami kenal sebagai Budi Jaya, tapi ia mengaku, “Beberapa saat lalu, namaku Surya Jaya! Kalian benar-benar tak ingat?”

Ia  bersikeras bahwa kami melupakan nama aslinya gara-gara perjalanan lintas waktu yang ia alami beberapa saat lalu. Cerita tentang perjalanan lintas waktu tersebut, tentu saja, membuat kami semakin mempertanyakan kewarasannya—terlebih ia menceritakan kisah-tak-bernalar itu tanpa menampakkan intensi bercanda.


***


Pagi tadi Budi Jaya—maksudku semasih namanya Surya Jaya (menurutnya)—mengantarkan seporsi soto ayam tujuh puluh ribu Rupiah ke sebuah kompleks perumahan elit, yang portal depannya dijaga dua pria berseragam biru gelap dengan pistol terselip di pinggang. Suara kepadatan lalu lintas tak menembus kompleks itu; hanya terdengar suara motor Surya Jaya yang melintasi barisan rumah bertingkat tiga sampai empat, dengan pos satpam di setiap gerbangnya, plus satpam-satpam yang menatapnya curiga. Surya Jaya berhenti di hadapan rumah paling ujung, rumah bertingkat empat dengan gerbang hitam berkilau setinggi dua kali tubuhnya. Di gerbang itu tertulis, dengan cat emas dan huruf-huruf sebesar dada orang dewasa, sebuah nama: Surya Kencana: persis nama pemilik akun yang memesan soto ayam tujuh puluh ribu Rupiah.

Gerbang terbuka sedikit, menjauhkan Surya dari Kencana beberapa sentimeter, dan dari celah gerbang mengintip sepasang mata. “Jaya?” tanya seorang satpam. 

Tak pernah ada yang memanggilnya Jaya; orang-orang memanggilnya Surya—setidaknya ia merasa begitu, walau seingat kami panggilannya selalu Budi. Bagaimanapun, karena Jaya adalah bagian dari namanya, ia mengiyakan pertanyaan si Satpam, yang segera membuka gerbang lebih lebar dan berkata, “Silakan parkir motor di dalam. Tuan Surya ingin bercakap-cakap.”

Surya Jaya terdiam sesaat. Belum pernah ada pemesan yang ingin bercakap-cakap terlebih dahulu dengannya. Mungkin Surya Kencana ingin sekadar berbasa-basi sebagai sesama Surya.

Surya Jaya pun memarkir motor di halaman rumah Surya Kencana, halaman dengan permukaan batu sikat bermotif bunga-bunga. Setelah Surya Jaya menurunkan standar motor, dari pintu beranda keluar seorang wanita berjas dengan rambut pirang bondol. “Jaya?” tanya si Bondol, formal, dan Surya Jaya mengangguk. Wanita itu mengambil soto ayam dari cantolan motor Surya Jaya dan memintanya ikut ke ruang dalam karena, “Tuan Surya ingin menemuimu.”

Ruang depan dipenuhi lukisan-lukisan seorang pria yang sama—bertubuh gempal pendek dan tersenyum miring dan bertatapan menghina—dengan pose berbeda-beda: dari duduk di sofa dengan satu kaki di atas kaki lain, duduk di balik meja kerja seraya menghitung uang, hingga duduk di atas tumpukan uang. Dari segi hal-hal lain, ruang depan membuat Surya Jaya merasa begitu miskin hingga tak layak bernapas. Bagaimanapun ia terus mengikuti si Bondol; ruapan aroma melati dari lantai membuatnya membayangkan kuburan; mereka menaiki tangga tiga kali hingga lututnya berdenyut-denyut, dan tibalah mereka di depan sebuah pintu ganda hitam mengilap, dan si Bondol mengetuk sebelum membukanya—aroma cerutu menyerbu keluar bersama dingin pendingin ruangan.

Di dalam sana, di ruang temaram yang hanya diterangi cahaya kuning lampu berdiri, duduklah seorang pria berjas hitam yang lukisannya memenuhi ruang depan, kedua kakinya bertumpu di meja jati, cerutu di sela bibirnya menyala. Apa yang membedakan wajahnya dengan lukisan-lukisan itu adalah tak ada senyum menghina di sana—jelas ia menahan kemarahan hingga sesekali terdengar dengus napasnya. Mudah ditebak: ialah Surya Kencana.

“Silakan masuk,” kata si Bondol. Kemudian, kepada sang tuan, si Bondol berkata, “Soto ayamnya akan saya siapkan di ruang makan, Tuan. Terima kasih.”

Surya Kencana tak berkata apa-apa. Surya Jaya pun ragu-ragu memasuki ruangan; si Bondol mengunci pintu di belakangnya. Tak ada kursi lain selain yang pria gempal itu duduki, sehingga Surya Jaya hanya berdiri canggung di hadapan meja jatinya.

“Kau tahu arti dari Surya?” tanya Surya Kencana, berat dan serak dan dingin.

Surya Jaya baru akan menjawab, tapi Surya Kencana menyambung, “Matahari. Aku diberi nama Surya karena aku adalah ‘matahari’, alias sosok yang sangat penting di dunia. Apa kau sosok penting?”

“Tidak,” Surya Jaya terbata. “Orang tua saya hanya berharap saya menjadi sosok penting, mungkin …?”

Pendingin ruangan berderak; udara dingin menggigilkan Surya Jaya. Jendela tertutup gorden marun tebal, segala hal yang menempel memenuhi dinding—hingga hampir menyentuh lantai dan langit-langit—agak sulit dikenali sebelum penglihatannya terbiasa dengan keremangan: ada medali-medali dan foto-foto Surya Kencana, semua berukuran variatif dan dipasang secara tak berpola. Salah satu foto seukuran orang dewasa memperlihatkan Surya Kencana berseragam tentara, memberi hormat ke arah kamera; pigura foto itu tergeser sedikit ke samping, menampakkan celah tipis di mana laras senapan mencuat, membidik Surya Jaya hingga tungkainya gemetar.

“Sebagai Surya,” ucap Surya Kencana, “aku agak tersinggung. Aku benci jika orang lain bernama Surya dan ia bukan sosok penting. Jadi, dengan rendah hati …” Surya Kencana menurunkan kaki dari meja dan berdiri, sepucuk pistol terselip di pinggangnya, “aku harap kau menghilangkan Surya dari namamu.”

Urusan mengganti nama tak pernah terlintas di kepala Surya Jaya. Lagi pula, apa pentingnya nama? Nama sering kali menjadi doa omong kosong para orang tua: seorang anak bernama Muhammad tumbuh menjadi pembunuh; Ayu tumbuh menjadi gadis buruk rupa; Lanang tumbuh menjadi perempuan transgender—sudah terlalu sering nama tak menentukan identitas seseorang. 

“Maaf, saya punya beberapa pertanyaan,” balas Surya Jaya. “Pertama, bagaimana cara mengganti nama? Kedua, apa nama baru yang bagus buat saya?”

“Untuk pertanyaan kedua … mungkin Budi? Budi Jaya? Kau sudah cukup berbudi dengan bersedia mengganti nama. Dan untuk Jaya, masa bodoh, itu bukan namaku. Untuk pertanyaan pertama ....” Surya Kencana mematikan cerutu ke asbak, melangkah ke belakang Surya Jaya, dan membelitkan lengan kiri ke lehernya. Lengan kemejanya lembap, meruapkan aroma keringat seperti sepatu basah; jam tangan digital melingkari pergelangan tangan kirinya. “Kapan kau lahir?”

Terbata dan parau, Surya Jaya mengucapkan tanggal dan tahun lahirnya.

“Bagus. Kalau begitu, sehari setelah kau dilahirkan.”

Surya Kencana mengatur tanggal dan bulan dan tahun di jam tangan digitalnya, lalu menekan salah satu tombol dan mendadak cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan—Surya Jaya refleks memejam, tapi cahaya putih tetap menerobos kelopak mata.

Sesaat kemudian, Surya Kencana melepaskan belitan lengan kirinya di leher Surya Jaya; di balik mata tertutup terasa cahaya putih menghilang; Surya Jaya membuka mata. Mereka telah berada di kamar rumah sakit. Ibu duduk bersandar di kasur seraya menyusui bayi, Ayah berdiri di sampingnya—Ibu dan Ayah sontak menoleh ke mereka berdua.

“Siapa kalian?” tanya Ayah, waspada.

“Bayi itu Surya Jaya, betul?” kata Surya Kencana.

“Kami berencana menamainya begitu ....” balas Ibu.

“Sekarang,” bisik Surya Kencana pada Surya Jaya, “bujuk mereka untuk mengganti namamu. Bicara baik-baik tentu lebih baik ketimbang menodongkan pistol.”

Surya Jaya mengangguk, keringat dingin melengketkan baju ke tubuhnya. Ia pun berdeham, menarik perhatian Ibu dan Ayah. “Sebetulnya, Surya Jaya kurang bagus. Budi Jaya lebih bagus ....”

“Maaf …?” balas Ayah.

“Kau tidak pandai bicara,” bisik Surya Kencana. “Omong-omong, aku ada rapat penting sembilan menit lagi. Aku harus mempercepat urusan ini.” Tiba-tiba ia menarik pistol dari pinggang dan menembak kasur beberapa milimeter di samping mata kaki Ibu; Ayah dan Ibu refleks memekik; Surya Jaya yang masih bayi—dan belum resmi bernama—menangis. “Jangan pakai nama Surya, paham? Aku sangat berbakat melubangi dahi orang.”

Dari koridor terdengar orang-orang berlari mendekat. Tangan Surya Kencana sama sekali tak gemetar selama menodongkan pistol; ia pasti benar-benar berbakat melubangi dahi orang. Apa jadinya jika Surya Jaya bayi tumbuh besar tanpa orang tua? Seperti kisah perjalanan lintas waktu di film-film Hollywood, masa depan akan berubah ketika ada yang mengubah masa lalu secara signifikan. Mungkin Surya Jaya akan menjadi jauh lebih menyedihkan ketimbang tukang ojek daring yang bermasalah dengan orang kaya. Mungkin Surya Jaya tak akan menikah dengan istrinya sekarang. Mungkin Surya Jaya tak akan ada di masa depan.

Surya Jaya bisa saja merebut pistol di tangan Surya Kencana dan membunuhnya—tapi ia tak akan bisa kembali ke masa depan, atau minimal terlambat mencari tahu bagaimana cara mengoperasikan jam tangan ajaibnya, sehingga orang-orang yang berlari dari koridor akan keburu menghajarnya.

Ia harus memaksa Ayah dan Ibu mengganti namanya tanpa mengubah masa depan secara signifikan.

Mendadak Surya Jaya merebut pistol Surya Kencana, berlari mendekati Ayah, menempelkan moncong pistol ke kemaluannya, dan menarik pelatuk! Ayah tumbang dengan jerit pemecah telinga; Ibu pingsan; tangisan Surya Jaya bayi semakin nyaring.

“Pokoknya Budi Jaya, Budi Jaya, Budi Jaya!” pekik Surya Jaya.

Pintu kamar didobrak: para perawat berkerumun di balik pintu. Surya Kencana langsung mengoperasikan jam tangan, Surya Jaya memeluknya—cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan—sesaat kemudian mereka telah kembali ke ruangan Surya Kencana.

Surya Kencana menyambar pistolnya dari Surya Jaya; tukang ojek daring itu segera mengeluarkan dompet dan memeriksa KTP: Budi Jaya. Seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat, Budi segera meneleponku dan bertanya, “Kau ingat siapa nama lengkapku?” dan kujawab, “Tentu Budi Jaya .... Ada apa?” Tak puas dengan jawabanku, ia menelepon beberapa orang lagi dan mendapat jawaban serupa.

Surya Kencana tersenyum puas. Ia duduk di balik meja jati, membuka laptop, dan berkata, “Sekarang, aku harus bersiap-siap untuk rapat.” Ia menoleh si Penodong Senapan yang mengintip dari celah di balik pigura. “Antarkan dia keluar.”

Seseorang itu menggeser pigura lebih lebar dan memanjat keluar dari persembunyian, membiarkan senapannya tetap di sana. Ternyata, ia adalah si Bondol. 

“Omong-omong,” ucap Surya Kencana, “aku tidak jadi ingin soto. Buang saja.”

Selama Budi Jaya mengendarai motor menuju pangkalan, ia merenungkan apa yang mungkin berubah-secara-signifikan selain namanya. Masalah kemaluan Ayah, ia tak pusing: tiga hari setelah kelahiran Surya Jaya, Ayah mengalami kecelakaan lalu lintas yang menghancurkan kemaluannya—mestinya tak ada perubahan signifikan akibat kemaluan yang hancur tiga hari lebih cepat. Tapi, soal perubahan nama: Apakah itu termasuk perubahan signifikan? Apakah nama Surya dan Budi memberikan kesan berbeda di mata orang-orang, yang berpengaruh pada bagaimana mereka memperlakukannya? Apakah nama hanyalah doa omong kosong?

Satu-satunya perubahan signifikan yang Budi Jaya relatif cepat sadari adalah: semenjak bermasalah dengan orang kaya, tiap malam ia tak lagi hanya memikirkan makan apa keluarganya besok.



*) Cerpen ini dimuat di Jawa Pos pada Sabtu, 3 Februari 2024.